Haruskah Kembali Ganyang Malaysia?
INSIDEN gambar bendera Indonesia dicetak terbalik di brosur SEA Games, bisa saja dimaafkan. Karena boleh jadi hal tersebut terjadi bukan karena ada unsur kesengajaan.
Tetapi bisa juga insiden itu kita jadikan titik balik untuk membalikan hubungan kita dengan negara tetangg tersebut. Ke posisi yang tidak baik.
Sebutlah sampai hal yang terburuk – kita putuskan hubungan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Sebab insiden di dunia olahraga sudah terlalu sering diciptakan Malaysia. Selain di sepak takraw dan sepakbola, juga terjadi di dunia karate.
Donald, karateka Indonesia dianiaya oknum polisi Malaysia ketika dia menjadi wasit Kejuaraan Karate Asia (AKF) di Kota Nilai, Negeri Sembilan, Malaysia, 24-26 Agustus 2010 lalu.
Donald kala itu menjadi ketua wasit Indonesia dianiaya usai pulang dari pertemuan dengan wasit Indonesia menuju hotel tempat dia menginap di Malaysia
Jadi sangat mungkin hanya dengan pemutusan hubungan tersebut, satu-satunya pilihan.
Setidaknya rasa malu atas martabat 250 juta rakyat Indonesia, yang direndahkan, bisa terkompensasi.
Amerika Serikat dan Uni Sovyet, di era Perang Dingin (détente) walaupun tidak memutus hubungan diplomatik tetapi secara de facto, saling memnboikot melalui olahraga – Pesta Olimpik.
Dan mengapa harus diambil langkah ke pemutusan hubungan diplomatik?
Sebab kalau dilihat insiden-insiden yang terjadi dalam hubungan kedua negara, masalah bendera merah putih yang terbalik ini, hanyalah satu dari sejumlah insiden. Dan insiden itu, selalu dimulai oleh pihak Malayasia.
Beberapa tahun silam, Indonesia dikacaukan oleh dua teroris berkewarge negaraan Malaysia. Yakni Dr. Azahari dan Noordin Top.
Mereka merupakan otak dari peledakan Bom Bali – yang berakibat citra Pulau Dewata tersebut sebagai salah satu destinasi wisata dunia, tercoreng.
Sulit menuding bahwa pemerintah Malaysia terlibat dalam kegiatan terorisme Azahari dan Noordin Top. Tetapi kecurigaan muncul, sebab ketika jenasah kedua teroris tersebut mau diserahkan oleh Polri kepada keluarga korban, Kedubes Malaysia di Jakarta, tidak membantu secara maksimal prosesinya.
Pemerintah Malysia seolah-olah mau cuci tangan. Tidak mau peduli pada penanganan jenasah teroris tersebut.
Lalu muncul kecurigaan bahwa peledakan bom di Bali itu ada kaitan dengan persaingan bisnis di bidang turisme kedua negara.
Malaysia yang sudah mengembangkan Langkawi, sebagai destinasi turis, berkepentingan menjatuhkan Bali sebagai saingannya.
Maka Malaysia pun melakukan promosi secara besar-besaran atas Langkawi sembari mengganggu Bali dengan mengirim dua pentolan teroris : Azahari dan Noordin Top.
Sasaran akhirnya agar turis manca negara berpaling dari Bali ke Langkawi.
Tema kampanye pariwisata Malaysia sendiri adalah “the truly Asia”.
Jika dicermati secara cerdas, tema itu tidak lain untuk mengaburkan kata Indone-SIA. Prononsasi IndoneSIA, MalaySIA dan the truly ASIA, dibenturkan secara sematik. Untuk menempatkan Indonesia di bawah Malaysia di kawasan Asia.
Semua pemandangan alam di iklan “Malaysia The Truly Asia”, hampir semua spotnya mewakili alam Indonesia. Termasuk tarian tradisionalnya yang sangat mirip dengan tari-tarian rakyat di Indonesia.
Pasca Bom Bali, Malaysia kemudian membuka Knsulat di Bali.
Di bidang politik, Malaysia seakan sangat bangga bisa mengalahkan Indonesia dalam kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan.
Pulau yang tadinya berada di dalam koodinat Indonesia itu, kemudian dicaplok Malaysia.
Sikap licik Malaysia terlihat dri caranya menjebak Indonesia. Melalui tawaran damai di meja pengadilan.
Indonesia sepakat dengan tawaran Malaysia untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan Spadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional. Dan keputusan Indonesia menerima tawaran itu, terkesan bahwa Malaysia takut terlibat perang langsung dengan Indonesia.
Padahal Malaysia sudah berhitung, di Mahkamah Internasinal tersebut dia akan menang. Terutama karena hukum yang digunakan merupakan turunan UU Negara Persemakmuran, dan Malaysia merupakan salah satu anggota negara-negara Persemakmuran, yang dipimpin Inggeris..
Hakim-hakimnya fasih berbahasa Inggeris, sementara kita harus menyewa pengacara yang mahir berbahasa Inggeris, berhubung kefasihan kita dalam berbahasa Inggeris, kalah jauh dengan Malaysia.
Hasilnya Indonesia kalah dalam kepemilikan dua buah pulau tersebut.
Malysia sangat sadar, kita sangat berhati-hati atau bahkan berusaha menghindari terjadinya konflik – sesakit apapun yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia.
Sebab saat ini di Malaysia terdapat lebih dari dua juta orang yang bekerja sebagai tenaga kasar – TKI.
Malaysia berhitung, pemerintah Indonesia pasti takut jika jutaan tenaga kerja diusir dari Malaysia. Pengusuiran merupakn resiko dari terjadinya pemutusan hubungan diplomatik.
Dan kenyataannya, perhitungan ini menjadi pertimbangan paling utama oleh Indonsia.
Indonesia khawatir jutaan tenaga kerja itu jika kembali ke tanah air, mereka akan meramaikan jumlah penganggur yamg sudah cukup banyak.
Selain itu, pemasukan devisa dari sektor tenaga kerja yang mencapai triliunan rupiah, pasti akan terganggu.
Namun sebetulnya jika pemerintah Indonesia mau mencari “musuh bersama”, maka inilah saatnya bagi bagi bangsa Indonesia bersatu – sekaligus mengganyang Malaysia.
Negara jiran inipun pasti akan tergoncang, jika jutaan tenaga kerja meninggalkan majikan mereka. Ibarat kita di Jakarta yang sudah terbiasa punya pembantu, tiba-tiba kehilangan pebantu dan harus mengurus rumah tanpa pembantu.
Jika terjadi konflik seperti perang, yang akan menderita kerugian, Malsysia juga.
Malaysia juga perwakilan Bank “Maybank”dan Bank “CIMBG” di Indonesia. Perwakilan ini mau tak mau hafris ditutup. Dan penutupan ini akan merugikan Malaysia. Berhubung nasabah dari kedua bank itu di Indonesia, juga lumayan banyaknya. Belum lagi dana yang disedot kedua bank tersebut dari Indonesia, yang cukup besar, akan terganggu.
Perususahan-perusahaan Malaysia lainnya yang bakal terganggu akibat pemutusan hubungan diplomatik kedua negara : tidak bisa eksisnya perusahaan otomotif Proton Saga dan perusahaan minyak Petronas di Indonesia.
Dalam lalu lintas perekonomian, jalur internasional, Malaysia pasti akan mengalami gangguan. Malaysia perlu berhitung dengan cermat bagaimana melewati Selat Malaka, terutama di bagian Utara Aceh, Pilau We, Sabang.
Artinya, kedua negara juga akan mengalami kerugian.
Tetapi jika hanya pemutusan hubungan diplomatik yang memang harus jadi pilihan, resiko apapun, harus kita tempuh. Karena jika sudah menyangkut harga diri bangsa. hitung-hitungan untung rugi itu, menjadi tidak terlalu penting lagi.
Melihat cara Malaysia menghadapi kita, seperti sengaja mencari gara-gara.
Sikap Malaysia cenderung seperti mau “menjual”, tantangan. Nah tantangan itu saatnya untuk kita “beli”.
Jadi jika memang kita harus “mengganyang” Malaysia, pemerintah terutama, tidak perlu ragu.
*) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta. (CaTeng = Catatan Tengah)