Harus Disusun Narasi Imajinatif-Populer untuk Borobudur
YOGYA – Borobudur memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi piluhan utama wisatawan. Tapi mengapa jumlah wisatawan asing di Borobudur kalah jauh dengan Angkor Wat di Kamboja? “Angkor Wat di Kamboja dikunjungi 2,6 juta wisatawan setiap tahun, sementara Borobudur hanya 330 ribu wisatawan asing dan 4,8 juta wisatawan Nusantara,” ungkap Menteri Pariwisata Arif Yahya dalam seminar Legenda Borobudur di Yogyakarta, Jumat (15/2).
Pertanyaan Arief Yahya yang disampaikan sebagai keynote itu menjadi rujukan seminar yang digelar Program Studi S2 dan S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM. Menteri asal Banguwangi ini lantas menyampaikan kondisi Angkor Wat dan Borobudur. Persamaannya maupun perbedaannya. Keunggulannya maupun kelemahannya.
“Angkor Wat yang selalu dicitrakan sebagai Lost City, Lost Civilization ; selalu memperoleh gemanya di film (10 film, paling populer Lara Croft-Tomb Raider, Indiana Jones, The Temple of Doom), novel, buku sejarah, games, puisi, arkeolog dan bersifat populer. Sementara Borobudur lebih bersifat klasik, sebagai sebuah mahakarya tunggal, lebih menarik untuk kalangan akademisi dan peneliti khusus,” papar Arief Yahya.
Arief Yahya pun berharap Seminar Legenda Borobudur ini, dapat menghasilkan kisah dan narasi yang lebih imajinatif (merupakan suatu kawasan Kutaraja), popular (melengkapi versi klasik) dan berorientasi ke masa depan (misalnya membuat games tentang kisah Gandayuha). Legenda yang segar dan kaya interpretasi. Yang cocok untuk kaum milenial.
Sejumlah langkah bisa dilakukan agar Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia Unesco yang memiliki fungsi destinasi wisata, media edukasi dan situs keagamaan bisa menjadi library of knowledge yang terus menginspirasi masyarakat dunia. Simpulan seminar yang dibacakan di akhir acara oleh Pimpinan Seminar Drs. Hendrie Adjie Kusworo, MSc., PhD. mengisyaratkan sejumlah agenda lanjutan.
Legenda merupakan basis dikembangkannya atraksi yang dapat menanggulangi ancaman terhadap pemanfaatan warisan budaya yang timbul sebagai akibat dari eksploitasi heritage site secara tidak hati-hati. Oleh karena itu, legenda harus digali, dieksplorasi, dan dikembangkan menjadi daya tarik wisata.
“Pengembangan produk dan pemasaran dapat dikemas dengan gaya budaya populer sehingga menarik untuk pangsa pasar millennial dengan memanfaatkan berbagai macam media, terutama media digital,” ujar Adjie Kusworo.
Sebagaimana yang disampaikan Menpar Arief Yahya, simpulan seminar juga menyebutkan pengembangan produk dan pemasaran melalui kreasi narasi dan audio visual bisa dilakukan. Di antaranya berupa kompetisi lomba penulisan mengenai legenda Borobudur, kompetisi TVC/Vlog, film, seni, tari, drama, multimedia games, yang memuat gambaran kekayaan kisah, sejarah, cerita dan legenda situs Candi Borobudur.
Wakil Gubernur DIY Paku Alam X, saat menyampaikan sambutannya juga memberikan pandangan arah pengembangan Borobudur. Paku Alam X mengajukan pemikiran untuk mengarahkan Borobudur sebagai eco-museum, yakni konservasi museum luar ruang yang menyatu dengan bentang alamnya, bukan museum mati yang dikagumi fisiknya semata.
Kemudian Mengubah paradigma “masyarakat untuk pariwisata” menjadi “pariwisata untuk masyarakat” sebagai basis membangun eco-wisata perdesaan dan mengenalkan destinasi baru sebagai alternatif kunjungan di bagian Kawasan Borobudur lain, yang bukan hanya candi.
“Ketiga, mengeliminasi spillover effects negatif atas kehadiran Kawasan Borobudur dengan mengembangkan juga potensi wisata DIY untuk keseimbangan jumlah kunjungan dan pendapatan di Kawasan Joglosemar,’’ tegas Paku Alam X.
Faktor penting kesuksesan pengembangan destinasi di Indonesia, terutama Borobudur, Jawa Tengah dan DIY adalah aksesibilitas. Adanya bandara baru New Yogyakarta Internasional Airport diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan jumlah wisatawan mancanegara ke Borobudur.
“Bandara kita di sini (Bandara Adisucipto) kurang lebih kapasitasnya hanya 1,5 juta. Jumlah penumpangnya sekitar 6 juta, empat kali lipat. Jadi sudah overloaded, sehingga kalau kita mau mendarat di sini holding time-nya bisa 30 menit,” jelas Arif Yahya.
Bandara Adisucipto, sebagai bandara terdekat ke Borobudur juga memiliki kendala landas pacu sehingga tak mampu didarati oleh pesawat berbadan besar. Di samping itu, lalu lintas yang padat memakan waktu perjalanan. Kendala ini tidak dapat diterima oleh wisatawan asing. Arief berharap lima tahun setelah bandara baru beroperasi, ada 2 juta wisatawan asing ke Borobudur.
Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen juga mengungkapkan pengalaman terkait akses ke Borobudur ini. Rombongan wisata kapal pesiar yang berlabuh di Semarang, sulit untuk diajak singgah ke Borobudur karena membutuhkan waktu tiga jam perjalanan. Dengan jalan tol, waktu tempuh bisa dikuragi separuhnya. “Dengan jalan tol Semarang-Yogya via Magelang yang akan segera dibangun, akan mempermudah akses ini,” kata Taj Yasin.
Soal aksesibilitas, konektivitas juga disoroti Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Herman Tony. Menurutnya, meskipun kita punya banyak destinasi istimewa, tetapi kalau aksesibilitas tidak ada, tentu akan sulit. Contoh yang paling nyata bandara. “Ibaratnya banyak orang mau datang ke sini, tetapi sangat terbatas aksesnya. Pembangunan bandara itu jalan keluar yang bagus. Kami dari pelaku pariwisata sudah lama minta supaya volume bandara itu ditingkatkan,” tandas Herman Tony. (erwan w)