Haru, Peringatan Maulid Nabi di Atas Puing-puing Pembongkaran Masjid Assakinah
Meski dalam situasi terbongkar dan cuaca yang memburuk, Ibadah Sholat Jumat tetap dilaksanakan di atas puing-puing Masjid Assakinah, Balai Pemuda Surabaya, untuk ke-lima kalinya.
Tercatat lebih dari 125 orang dari berbagai kalangan datang menghadiri Ibadah Sholat Jumat yang dilanjutkan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, Jumat 1 Desember 2017 itu.
Setelah prosesi maulid, para aktivis, seniman, budayawan, dan para pemuda pun melanjutkannya dengan diskusi dan tirakatan Budaya yang bertema "Ayo Rek Suroboyo Ditoto Maneh".
Beberapa tokoh budayawan juga hadir dalam diskusi ini, diantaranya; Dewan Pendidikan Jatim Sulistyanto Soejoso, Ekonom dan tokoh reformasi Dr. Tjuk Sukiadi, Guru besar Hukum Prof Sutanto Suphiady, Tokoh seniman Henry Nur Cahyo, Tokoh budayawan Didit HP, dan masih banyak lagi.
"Hari ini kita menyaksikan sesuatu yang luar biasa, kita Jumatan di sini kemudian memperingati Maulud Nabi, berlimpah, itu menunjukan bahwa sebetulnya dengan ketulusan dan keikhlasan kita bisa membangun kekuatan," ujar Sulistyanto.
Ia lalu menyampaikan keresahannya, menurutnya, para anggota dewan tak bisa semena-mena merobohkan Masjid dan menggunakan lahan di Balai Pemuda ini menjadi fasilitas perkantoran mereka.
"Masjid ini saat ini sudah bukan Assakinah namanya, tapi Assabongkar, maka ini harus didirikan kembali, Balai Pemuda ini adalah ruang yang terkuat mengembangkan atmosfer kebudayaan dan itu berlangsung puluhan tahun, tetapi ada upaya penyingkiran di sini," ujarnya.
Rencananya, Masjid Assakinah, gedung Dewan Kesenian Surabaya dan Bengkel Muda Surabaya yang berada tepat di belakang Assakinah ini bakal dibongkar, lahannya lalu difungsikan untuk kepentingan pembangunan gedung mewah 8 lantai bagi para anggota dewan.
"Masjid Assakinah harus berdiri kembali, kegiatan kesenian Dewan Kesenian Surabaya, dan Bengkel Muda Surabaya harus tetap berada di area ini," kata Sulistyanto yang juga ketua Padepokan Cokroaminoto ini.
Sementara itu, Prof Sutanto, dari segi hukum, Balai Pemuda ini adalah bagian dari Living Law, artinya hukum yang mengatur di sini adalah hukum kepatutan.
"Dasar hukumnya adalah, bagaimana ketika itu Balai Pemuda berhasil direbut oleh Pemuda Republik Indonesia yang dipimpin oleh Roeslan Abdulgani, pada 1945, artinya bahwa sebelum ada perda atau aturan itu, Pemuda sudah lebih dulu merebut tempat ini," ujarnya.
Guru besar hukum Universitas Airlangga ini mengatakan hukum sejatinya ada dua kutub, kognitif dan afektif.
"Hukum sejatinya ada dua, hukum tertulis berupa peraturan atau perundang-undangan, dan hukum kepatutan yakni hukum yang hidup di masyarakat. Jika terjadi benturan antara hukum tertulis dengan hukum kepatutan, maka hukum memenangkan kepatutan," ujar Sutanto.
Dalam kondisi semacam ini, kata Sutanto, tidak layak kalau bangunan oase kebudayaan ini, menjadi compang-camping, karena konsepsi kepatutan itu di dalam hukum mengalahkan apa yang tertulis, yang disebut peraturan perundang-undangan atau Perda.
"Dalam kasus ini, bahwa konsep, konteks yang ada di komplek Balai Pemuda ini adalah konsep living law, konsep kepatutan," ujarnya.
Meski acara kali ini diselenggarakan di puing pembongkaran masjid, tapi hadir pula pemuda, pelajar, dan masyarakat yang sebetulanya berasal dari berbagai agama selain Islam.
"Saya mengapresisasi, saya menyamapaikan bagi anda semua meski anda non muslim tapi anda tetap ikut, sekali lagi terima kasih," ujar Sulityanto. (frd)