Harmonikan Teks dan Konteks, Ini Sidang Munas Tarjih Muhammadiyah
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan, bahwa sidang Munas Tarjih merupakan penghayatan mendalam terhadap teks dan konteks.
“Teks merupakan sumber gagasan dan memberi pengarahan tingkah laku dalam menghadapi konteks di satu sisi, tetapi dalam waktu yang sama pada sisi lain, konteks menentukan bagaimana teks ditafsirkan dan dipahami,” terang Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini dalam acara penutupan Sidang Munas Tarjih ke-31 pada Minggu 20 Desember 2020.
Sidang Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah telah sukses dilaksanakan. Dalam proses persidangan, para peserta Munas terdiri dari ulama, cendekiawan, dan pemuka masyarakat telah berdiskusi bagaimana menegosiasikan idealisme syariah dan realitas sosial yang melingkupinya.
Menurutnya, dinamika dan dialektika antara teks dan konteks, kata Syamsul, berhasil memuat putusan-putusan yang diharapkan dapat memberi pencerahan baik dari sisi kemanusiaan, keislaman, dan kemuhammadiyahan.
Proses Tarjih ini pada sisi kajian akademik dapat menegasikan pandangan-pandangan tidak seimbang dalam memahami Islam, terutama dalam pandangan orientalisme klasik yang menggunakan pendekatan idealisme abstrak dengan fokus pada kajian suatu teks.
“Pandangan para orientalis itu kadang mereka melihat hukum Islam sebagai hukum idealistik yang tidak bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari. Hasil rekaan para fukaha yang terasing dari kebutuhan-kebutuhan praktis dan kenyataan-kenyataan riil serta bertolak belakang dengan realitas masyarakat,” jelas Syamsul.
Dengan adanya Munas Tarjih ini, setidaknya anggapan orientalis yang menganggap bahwa hukum Islam terlalu idealistik sedikit banyak telah terbantahkan. Kajian-kajian orientalis yang terfokus pada penelaahan teks sehingga menganggap fikih tidak membumi ternyata kurang tepat. Dengan beragama putusan Munas Tarjih menunjukkan bahwa teks-teks langit dapat menyapa konteks sosial masyarakat.
Di sisi lain, pemahaman agama (Islam) tidak dapat dicukupkan dengan pendekatan sosio-antropologis ansich yang reduktif. Syamsul kurang setuju bila agama hanya dilihat sebagai fenomena sosial belaka yang tercerabut dari inti yang memberikan ciri esensial kepadanya. Teks, sebagai sumber gagasan, tidak boleh diterjemahkan hanya sebagai pertarungan kelas sosial untuk merebut dominasi.
“Dalam Tarjih dialektika teks dan konteks, sebagaimana terlihat dalam dinamika persidangan Tarjih, menjadi bagian esensial dalam suatu manhaj ijtihad,” tutur Syamsul, seperti dilansir muhammadiyah.or.id.
Advertisement