Harmoko, Dalam Arus Reformasi Desak "Petunjuk" Soeharto Mundur
’’Menurut petunjuk Bapak Presiden…’’ Demikian kalimat khas yang keluar dari bibir Harmoko, ketika menjadi Menteri Penerangan di era Presiden Soeharto. Setiap Rabu malam, ia tampil di layar TVRI mengabarkan hasil rapat terbatas Kabinet Pembangunan bersama Presiden Soeharto.
Pada malam ketika itu, Harmoko bukan hanya mengumumkan hasil-hasil rapat, melainkan juga mengantarkan informasi soal stabilitas ekonomi dan harga kebutuhan pokok di pasar rakyat. Acara "Layar Emas" yang ditunggu penonton di Tanah Air pun harus ditunda karena "Laporan Khusus" itu. Belum ada menteri di masa itu hingga kini, yang sepopuler Harmoko. Harmoko adalah Menteri Penerangan tiga periode (Kabinet Pembangunan IV–VI).
Harmoko dihormati kalangan petani kecil, lewat acara "Klompencapir" (Kelompok Pendengar Pembaca dan Pemirsa) di Radio dan Televisi, sekaligus dicibir para aktivis. Tapi, begitulah kepribadian yang kerap kontroversi karena dikenal sebagai "penjilat" kekuasaan Soeharto, tapi sekaligus yang tampil mendesak sang penguasa Orde Baru itu turun di kursi kekuasaan yang dinikmatinya selama 32 tahun.
’’Alhamdulillah, baik,’’ demikian ucapan yang sering keluar dari mulut Harmoko. Dia pun lantas tersenyum dan membalas uluran tangan untuk bersalaman setiap orang yang menyapanya.
Harmoko dicaci karena berada di balik pembredelan tiga media menjelang kejatuhan Soeharto: Majalah Berita Mingguan Tempo, Tabloid Detik dan Majalah Editor pada 1994. Di ujung karir politiknya, setelah tak lagi di panggung politik (terakhir sebagai Ketua MPR RI hingga Presiden BJ Habibie jatuh 1999 digantikan Abdurrahman Wahid), Harmoko masih terus menulis. Di balik sosok kejam di mata insan pers yang menganut "kebebasan menyatakan pendapat", Harmoko adalah figur suka ngobrol dengan tawa lepas yang khas.
Akhir Hayatnya
Di masa-masa pandemi Covid-19, Harmoko meninggal dunia. Ya, H Harmoko bin Asmoprawiro mengembuskan nafas terakhir, di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Minggu, 4 Juli 2021, pk 20.22 WIB. Menteri Penerangan legendaris di masa Orde Baru, selalu "minta petunjuk Bapak Presiden Soeharto" ini, mengembuskan nafas terakhir karena sakit.
"Semoga husnul khotimah dan bagi Ibu Sri Harmoko dan keluarga agar diberikan ketabahan dan keikhlasan lahir batin," ujar Ully Hermono, seorang penulis, memberikan respon terhadpa kabar duka tersebut.
Beberapa tahun terakhir, Harmoko memang kerap dirawat di rumah sakit. Seperti pada 2018, Harmoko dirawat di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan. Pria yang juga pernah menjabat Ketua MPR/DPR itu beberapa hari dirawat pada 5 September 2018. Ketika itu, Harmoko mengalami Infeksi di paru-paru. Harmoko sudah tiga hari berada di RS Medistra.
Belakangan meski sering keluar masuk rumah sakit dan dalam perawatan intensif, Harmoko masih tampak jernih pemikirannya. Terbukti, dalam kondisi dirawat di atas kursi roda, Harmoko beberapa kali masih menulis kolom di suratkabar yang didirikannya, Pos Kota Jakarta. Dalam tahun 2021, renungan-renungan Harmoko soal kehidupan sehari-hari menunjukkan kegelisahan intelektualnya masih normal dan sebagai pejuang di bidang jurnalistik.
Harmoko menjabat sebagai Menteri Penerangan Orde Baru selama 14 tahun. Harmoko juga pernah menduduki kursi Ketua Umum Golkar. Selanjutnya, ia juga menjabat Ketua MPR/DPR di penghujung era Soeharto.
Saat jadi Ketua MPR/DPR Harmoko juga yang meminta Soeharto mundur sebagai presiden di awal Mei 1998, yang kemudian digantikan BJ Habibie.
Harmoko lahir 7 Februari 1939 (usia 82 tahun), di Kecamatan Patianrowo, Kertosono, Nganjuk. Pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, dan kemudian menjadi Menteri Penerangan di bawah pemerintahan Soeharto, meningglakan seorang istri, Sri Romadhiyati, yang dinikahi pada 1972.
Karir Sang Aktor Politik
Harmoko. Menteri dengan karir cemerlang di era Orde Baru, sangat dekat Presiden Soeharto, dan berani mendesak Pak Harto mengundurkan diri.
Sosok Harmoko, menjadi Ketua DPR/MPR RI di pengujung rezim Soeharto selama 32 tahun. Harmoko dikenal sebagai sosok Orang Dekat sekaligus tokoh yang meminta Soeharto agar mundur dari jabatan presiden pada masa krisis moneter 1998.
Perjalanan Karir Politik
Berkarir sebagai jurnalis hingga menjadi politikus terkenal bangsa Indonesia. Sejak pergulatannya di dunia wartawan selama 23 tahun mengantarkannya menjadi menteri penerangan zaman Presiden Soeharto.
Bukan hanya itu, ia juga menjadi politikus dan Ketua MPR RI yang sekaligus meminta Soeharto mundur dari jabatan presiden karena desakan rakyat Indonesia kala krisis ekonomi moneter.
Harmoko menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia pada era Orde Baru selama 3 periode berturut-turut dari tahun 1983 hingga tahun 1997.
Selain itu, pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 7 Februari 1939 itu juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar dari tahun 1993 selama 5 tahun.
Karir Dunia Jurnalistik
Karirnya sebelum terjun di dunia politik, pada awalnya Harmoko merupakan seorang wartawan dan kartunis di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka setelah lulus dari sekolah menengah.
Kemudian pada tahun 1964 mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini juga pernah menjadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata.
Satu tahun berselang, kariernya semakin menanjak. Selain menjadi wartawan di Harian API, Harmoko juga dipercayakan sebagai Pemimpin Redaksi surat kabar berbahasa Jawa, Merdiko.
Pada tahun 1966 hingga 1968, Beliau pun menjadi penanggung jawab Harian Mimbar Kita. Tepat pada 16 April 1970 bersama rekan-rekannya, Harmoko mendirikan Harian Pos Kota. Dalam masa kepemimpinannya, oplah Post Kota meningkat hingga mencapai 200.000 eksemplar pada tahun 1983.
Kredibelitas Harmoko membuatnya dilirik Presiden Soeharto hingga akhirnya ia berhasil menjabat sebagai Menteri Penerangan RI selama 14 tahun sejak 1983.
Orang Kepercayaan Soeharto
Selama menjabat sebagai Menteri, dapat dikatakan Harmoko menjadi salah satu orang kepercayaan ke-2 Presiden Soeharto. Harmoko dianggap mampu menerjemahkan gagasan-gagasan Soeharto kala itu. Bahkan, Ia juga pencetus ide Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) yang berfungsi untuk menyampaikan informasi dari pemerintah ke publik.
Desak Mundur Soeharto
Sebagai sosok yang bergelut dengan pers, sebetulnya ia paham pembredelan sangat menyakitkan. Namun, apa boleh buat itu adalah perintah. Menjelan Pemilihan tahun 1998, Presiden Soeharto sebetulnya sudah berniat mundur. Tapi, Harmoko tetap mendukungnya untuk melanjutkan pemerintahan.
Setelah kembali terpilih, ternyata gejolak akibat krisis moneter semakin menjadi hingga terjadi kerusuhan Mei 1998. Hal tak terduga terjadi tanggal 18 Mei 1998. Harmoko mengeluarkan keterangan pers dan meminta supaya Presiden Soeharto mundur.
“Demi persatuan dan kesatuan Bangsa pimpinan DPR baik Ketua maupun Wakil Ketua, mengharapkan presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana,” ujar Harmoko. Hal itulah yang membuat ketegangan antara keluarga Cendana Soeharto dan Harmoko.
Mereka pun tidak pernah bertatap muka lagi hingga tahun 2008, Harmoko menjenguk Soeharto di RSPP dan menjadi pertemuan yang terakhir sebelum Soeharto meninggal.
Setelah tumbangnya Orde Baru (Orba) dan lahirnya Era Reformasi nama Harmoko tak muncul lagi dalam aktivitas politik. Tak lama muncul, Harmoko mulai aktif kembali dengan dunia lamanya yakni tulis menulis.
Harmoko sesekali menulis di kolom "Ngopi" Pos Kota. Pada tahun 2016, Harmoko mengalami penurunan kesehatan karena kerusakan saraf motorik otak belakang. Harmoko berjuang untuk memulihkan kesehatannya saat memasuki usianya ke-77 tahun.
Terakhir ketika memimpin Golkar, Harmoko-lah yang mengalami romantisme di masa Revolusi Indenesia, dengan memintanya dipanggil: Bung Harmoko.
Selamat jalan, Bung Harmoko. Semoga Allah Ta'ala menerima dan menempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya. Alfatihah. Amiin. (Riadi Ngasiran)
Biodata Harmoko:
Lahir: di Patianrowo, Kertosono Nganjuk, 7 Februari 1939
Meninggal Dunia: Jakarta, Minggu 4 Juli 2021
Wartawan dan Kartunis Harian Merdeka (1960)
Wartawan Harian Angkatan Bersenjata (1964)
Wartawan Harian API (1965)
Pemimpin Redaksi Harian Merdiko (1965)
Pendiri Harian Pos Kota (1970)
Pemimpin dan Penanggung Jawab Harian Mimbar Kita (1966-1968)
Menteri Penerangan Indonesia (1983-1997)
Ketua Umum Golkar (1993-1998)
Ketua DPR RI (1997-1999)
Ketua MPR RI (1997-1999)
Aktif menulis kolom di Pos Kota (2000-2021)