Harlah Ke-95: Ruh NU Ada di Pesantren
Keluasan ilmu ulama NU adalah salah satu sumber “kekeramatan” NU. Dalam konteks Indonesia, keluasan ilmu keislaman itu, hingga saat ini, muaranya masih di pesantren. Di lembaga yang oleh sebagian orang dipandang sebagai lembaga pendidikan tradisional itu.
Perguruan tinggi Islam seperti IAIN dan UIN, meski mengajarkan ilmu-ilmu yang sama dengan pesantren, namun sampai sejauh ini belum terbukti mampu melahirkan ulama. Bila ternyata ada alumni yang alim, pada umunya tetap berlatar belakang pesantren. Yang dari bawah murni belajar model “kurikulum kemenang” rasanya masih sulit.
Ini juga berlaku bagi perguruan tinggi Islam swasta yang dikelola NU sendiri. Plus minus tetap sama saja dengan alumni IAIN atau UIN.
Mengapa demikian? Karena memang tujuannya beda. Madrasah hingga perguruan tinggi yang mengacu kepada kurikulum kemenag, tujuan kuatnya adalah untuk menghasilkan teknokrat. Pekerja-pekerja atau pegawai yang akan mengisi pos yang ada di pemerintahan. Atau di lembaga swasta yang ruang kerjanya ada sangkut pautnya dengan agama.
Jadi, memang bukan untuk melahirkan ulama. Ini adalah karakter umum dari lembaga-lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga terdidik yang muncul seiring dengan kamajuan dunia industri.
Berangkat dari asumsi itu, maka pada bagian terakhir tulisan ini, saya mengharapkan warga NU mampu merawat dan melestarikan pesantren. Pesantren yang benar-benar berorientasi pada pelestarian ilmu agama (tafaqquh fiddin). Bukan pesantren yang lebih banyak fungsinya untuk menampung anak-anak yang belajar di sekolah formal.
Dengan berat hati harus saya katakan, karena perubahan jaman, saat ini banyak sekali pengelola pesantren tergoda. Menggeser fungsi pesantren yang dikelolanya, dari yang awalnya murni tafaqquh fiddin, menjadi asrama untuk anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan formal. Ini tidak jelek. Tetap diperlukan. Lumayan, anak-anak yang sekolah di lembaga formal, masih “mencium” bau pesantren. Namun, jangan semua pesantren berubah seperti itu.
Pesantren seperti Sarang, Langitan, Lirboyo, dan lainnya yang sejenis, saya berharap untuk kukuh pada pendiriannya: tafaqquh fiddin. Jangan tergoda untuk melengkapi diri dengan sekolah formal. Karena fakta membuktikan, pesantren yang mengelola lembaga formal, akhirnya sifat “salafnya” yang kalah.
Memang ini bukan hal yang mudah. Sebab, ini berbenturan dengan sifat materialistik manusia jaman sekarang yang menurut saya sudah keterlaluan (over). Namun, kalau NU tetap ingin “keramat”, warga NU harus gigih mempertahankan eksistensi pesantren. Asumsi saya, manusia yang hidupnya sudah dituntun oleh kepentingan materi, sulit muncul sifat keramatannya.
Benar ormas Islam di luar NU, memiliki lembaga-lembaga formal yang maju. Namun, itu tidak boleh menjadikan warga NU gentar. Terus sibuk mengejar “ketertinggalan” itu dengan melupakan pesantren yang sudah dimilikinya. Percayalah, mereka yang punya lembaga formal maju-maju itu, juga iri dengan NU yang masih memiliki pesantren-pesantren keramat.
Sawang sinawang. Intinya, warga NU harus tetap percaya diri bahwa keberadaan pesantren tetap diperlukan. Ruhnya NU ada di situ. Dalam konteks Indonesia saat ini yang sedang diuji oleh munculnya gerakan intoleran, maka keberadaan pesantren (NU) sangat diperlukan. Itu bisa dilihat dari kecenderungan belakang ini, di mana pemerintah/negara selalu minta tolong kepada NU.
Kebijakan Kapolri baru, Jenderal Listyo Sigit yang mengimbau jajarannya agar mendalami kitab kuning adalah bukti, bahwa mutiara yang kadang dilupakan itu, ternyata sangat dibutuhkan. Di internal NU sering muncul keluhan bahwa NU sering hanya difungsikan sebagai pendorong mobil mogok. NU dibutuhkan ketika problem besar menimpa bangsa ini. Kalau menurut saya, itu tidak masalah. No problem! Fungsi “jimat” memang seperti itu. Dan karena itulah, NU menjadi keramat.
Orang pesantren, pasti sering mendapatkan cerita soal perilaku para auliya. Para wali Allah itu, akan muncul, bejibaku dan turun gunung ketika kegentingan terjadi di masyarakat. Bila kondisi sudah membaik, maka seorang wali akan kembali “bermesraan” dengan Tuhannya. Karena tujuan hidupnya memang menuju Tuhan. Bukan menuju dunia.
Diceritakan juga, para wali pada umumnya tidak mengerti, apalagi memiliki “kalkulator”. Karena amalan yang dilakukannya bukan berdasarkan prinsip transaksional. Namun, lebih karena dorongan mahabbah. Cinta menggebu kepada Tuhannya. Menjalankan printah dari Dzat yang dirindukannya. Semua lillah!
Misi terpenting NU, menurut saya adalah menjaga agar Islam rahmatan lil alamin benar-benar terwujud di tengah-tengah masyarakat. Agar Islam yang penuh kedamaian itu terwujud, NU harus memperjuangkan agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang wasathiyah. Di mana, masyarakat punya perilaku yang tawasuth (tengah-tengah), tawazun (seimbang), I’tidal (tegak lurus) dan tasamuh (toleran).
Jika corak keagamaan di Indonesai sudah seperti itu, berarti misi NU berhasil. Sebaliknya, jika yang berkembang adalah sebaliknya, seperti gejala yang muncul belakangan ini, maka NU harus terpanggil untuk mengambil peran.
Maka dari itu, menurut saya ukuran keberhasilan atau eksistensi NU, bukan terletak kepada seberapa banyak aset yang dimiliki organisasi. Bukan seberapa banyak lembaga pendidikan atau perguruan tinggi yang dimiliki NU. Juga bukan berapa banyak orang yang memiliki kartanu. Yang lebih penting adalah, seberapa banyak umat Islam yang cara berpikir keagamaannya sama dengan yang diajarkan oleh para ulama NU.
Bila sudut pandang ini yang dipakai, maka terbentuknya jamaah-jamaah NU jauh lebih penting daripada Jam’iyah NU. Artinya, gerakan NU bukan terfokus untuk menjadikan umat Islam memiliki kartanu. Atau tercatat sebagai pengurus atau anggota NU. Atau bisa dimobilisir ketika ada pesta demokrasi. Namun, lebih kepada bagaimana amaliyah keislamannya bersifat washatiyah atau tidak?
Ini bukan berarti saya tidak memandang penting gerakan untuk menguatkan NU dari segi Jam’iyah. Hal ini tetap penting dan diperlukan. Karena dari sinilah perjuangan NU akan lebih bisa terorganisir. Namun, jangan sampai semangat untuk menertibkan organisasi itu menjadi menafikan pola kultural (jamaah) yang saya sebutkan tadi.
Hal ini perlu saya sampaikan. Mungkin karena sangking semangatnya untuk menertibkan jam’iyah NU, maka dimunculkan kreteria-kreteria yang mempersempit cakupan NU. Semisal, diakui sebagai warga NU kalau punya kartanu. Diakui sebagai warga NU, kalau aliran politiknya ikut partai A. Di luar itu, maka dianggap bukan NU.
Kalau cara berpikirnya seperti itu, apa bedanya dengan kelompok takfiri? Bedanya, kalau takfiri mengeluarkan umat Islam dari Islam. Kalau ini, mengeluarkan orang yang bermaliyah NU dari jam’iyah Nahdlatul Ulama. Kalau pola ini terus dikembangkan, maka status NU sebagai jam’iyah diniyah yang memiliki anggota terbesar di dunia bisa tergerus.
Ini sudah sering saya katakana, filosofi lambang NU yang berupa tali tampar tidak terikat kencang memberikan isyarat agar NU bersikap longgar. Begitu juga dengan keputusan Mukamar NU di Situbondo pada 1984 yang memutuskan NU kembali ke khittah 1984. Semuanya mengisyaratkan ke arah sana. Yakni, agar NU memperluas cakupan. Bukan terikat dengan tali kencang yang membatasi ruang gerak.
Dalam konteks apakah orang itu dikatagorikan muslim apa tidak, ahlussunah wal jamaah memiliki kreteria yang longgar. Yakni, ketika orang itu mengucapkan kalimat tauhid, berarti dia muslim. Dalam kehidupan sosial, kita harus memperlakukan orang itu sebagai seorang muslim. Termasuk, ketika yang bersangkutan meninggal. Umat Islam dikenai hukum fardlu kifayah untuk merawat jenazahnya.
Para wali yang mengembangkan Islam di kepulauan nusantara juga menggunakan pola yang longgar seperti itu. Sehingga, dakwah mereka sangat berhasil. Mungkin sisi negatif dari pola ini, umat Islam menonjol di kuantitas, tapi sedikit di kualitas. Menurut saya itu tidak masalah. Karena untuk meningkatkan kualitas, memang perlu waktu. Dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai kesempurnaan.
Semua ada plus minusnya. Fakta di lapangan, NU sampai sejauh ini memang lebih kuat di jamaahnya daripada di Jam’iyahnya. Nah menurut saya, kondisi itu tidak perlu dirisaukan. Itu adalah sebuah kewajaran memang simbul NU adalah tali tampar longgar tadi. Juga sama dengan prinsip ahlussunah waljamaah terkait dengan kreteria orang untuk diakui sebagai muslim atau tidak.
Nah, berbicara bahwa fakta di lapangan jamaah NU lebih kuat dari jam’iyahnya, maka keberadaan pesantren kembali terlihat urgensinya. Karena pesantrenlah yang terbukti sukses meluluskan alumni yang punya bekal cukup untuk mendampingi dan merawat jamaah. Bekal dalam arti ilmu agama, juga bekal dalam arti penguasaan media-media kultural, seperti tahlilah, dhibaan, manaqiban dan lain sebagainya. Wallahu a’lam bisshawab. (*)
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban, Jawa Timur.