Harlah ke-95 NU, Berkah Gus Baha Viral
Bicara “kekeramatan” NU, pada tulisan kali ini, saya akan bicara fenomena Gus Baha. Menurut saya, fenomena Gus Baha yang booming di media sosial sekarang ini, adalah bagian dari kekeramatan NU dalam hal keluasan ilmu.
Sebelum Gus Baha menggemparkan medsos, NU seakan berada pada “titik nadir”. Khususnya di dunia maya (medsos). Beberapa tahun, NU di-bully habis-habisan oleh para ustadz medsos. Melalui berbagai saluran, termasuk televisi, mereka memborbardir NU bertubi-tubi.
Amalan-amalan warga NU yang merupakan persenyawaan antara budaya Nusantra-Islam, dihabisi dengan lebel syirik, bid’ah dan sesat. Para pengurus NU, khususnya ketua umum PB NU KH Said Aqiel Siradj didelegitimasi keulamaannya. Kiai Said yang alumni pesantren Lirboyo dan doktor dari Universitas Umul Qura, Makkah itu, dianggap kalah ilmu dengan para ustadz medsos itu.
Beberapa tahun sebelumnya, yang menjadi objek bulliyan adalah Gus Dur. Berbagai persepsi negatif disematkan ke mantan presiden ini.
Menghadapi gempuran ustadz medsos yang begitu masif itu, NU seperti tidak berdaya. Beberapa ulama muda NU, mencoba melawan serangan itu lewat medsos. Namun, belum membuahkan hasil signifikan. Opini masih di tangan penyerang. Televisi pun masih dikuasai ustadz medsos. Pengajian yang tersaji di layar kaca, mayoritas tidak sejalan dengan amaliyah NU.
Seiring dengan itu, khususnya 10 tahun di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, kelompok Islam formalis mendapatkan momentum untuk berkembang. Oleh SBY mereka dirangkul masuk di pemerintahan. Momentum ini, menjadikan mereka mengalami perkembangan sangat pesat. Khususnya di bidang IT dan ekonomi.
Melalui penguasaan IT dan ekonomi ini, mereka menawarkan corak keislaman baru yang diklaimnya lebih murni. Lebih islami. Budaya-budaya Timur Tengah seperti berjenggot, berjubah, bercadar, dll. secara massif dikampanyekan. Bersamaan dengan itu, mereka menggugat amalan-amalan keislaman yang merupakan persenyawaan budaya lokal-Islam.
Gerakan ini menjadi trand baru. Para pesohor ibu kota, khususnya artis banyak yang “berhijrah”. Artis cowok yang awalnya klimis, mendadak berjenggot lebat. Baju ketat dan celana casual yang sebelumnya akrab dengan tubuhnya, mendadak diganti jubah. Nama yang semula bernuansa nusantara, diganti menjadi kearab-araban.
Begitu juga dengan artis ceweknya. Mereka yang semula rajin memamerkan tubuh, mendadak berhijab. Sebagian malah bercadar.
Ini yang menggelikan. Beberapa artis yang sedikit-sedikit bisa baca al-Qur’an mendadak menyandang predikat ustadz/ustadzah. Mereka berdakwah ke mana-mana. Laris bagai kacang rebus. Banyak yang mengundang mereka berceramah.
Materi yang mereka ceramahkan selalu seputar soal Islam kaffah (berislam yang sempurna). Versi mereka, Islam kaffah itu salah satu caranya dengan memboyong kultur Arab ke tanah air. Mereka membungkusnya dengan sunah nabi. Corak keislaman yang menyelaraskan budaya lokal dan Islam, dinarasikan sebagai kesesatan.
Kaum muslimin pun, terutama yang di perkotaan, terkesima dengan gerakan ini. Mereka berbondong-bondong mendukung gerakan itu. Bentuk negara pun mulai dipersoalkan. Dinilai tidak Islami. Mereka pun mulai mengibarkan berdera yang bertuliskan kalimat tauhid.
NU seperti terkepung. Tersudut. Ulama-ulama NU seperti kehilangan legitimasi untuk bicara Islam.
Nah, di tengah-tengah situasi “kritis” itu, sayup-sayup suara Gus Baha terdengar di medsos. Saat itu, belum ada gambarnya. Hanya suara dengan durasi yang sangat panjang. Itu rekaman utuh pengajian Gus Baha di Bedukan, Bantul, Jogjakarta. Pembacaan kitab klasik (kuning) itu, mulai diadakan pada 2003. Sejak Gus Baha merantau ke Jogja.
Suasana pengajian itu, benar-benar sederhana ala pesantren. Dilaksanakan di sebuah rumah kontrakan di Bedukan. Tidak ada podium. Hanya meja kecil. Duduk di atas karpet lusuh dan tikar. Peserta pengajian, awalnya hanya 5-7 orang saja. Kemudian, lama kelamaan berjubel, banyak orang.
Komunikasi yang dibangun dalam pengajian itu sangat akrab. Penuh gelak tawa. Berkali-kali derai tawa memenuhi ruangan. Gus Baha memperlakukan peserta pengajiannya bagaikan teman ngobrol. Kang Rukin dan Kang Mustofa yang sejak perdana mengikuti penghajian, selalu menjadi mitra bicara Gus Baha. Keduanya sering menjadi objek gojlokan.
Kenaifan-kenaifan cara beragama masyarakat dibicarakan dengan nada guyon. Kang Rukin dan Kang Mustofa acap kali diposisikan sebagai “tertuduh” dari pelaku kenaifan itu. “Mareni ngono iku Mus. Bocah kok angel men dikandani.” Kalimat itu beberapa kali diucapkan Gus Baha. Seakan-akan, Kang Mustofa melakukanya. Padahal, ya tidak.
Itulah cara ngaji Gus Baha. Beliau tidak pernah menyebut atau menuding kelompok mana pun yang telah melakukan kenaifan itu.
Kajian Gus Baha fokus ke teks-teks kitab klasik (kitab kuning) yang dibacanya. Di antara kitab yang dibaca adalah Tafsir Jalalain dan Nashoihul ‘Ibad. Namun ketika menjelaskan, Gus Baha bisa merujuk ke puluhan kitab klasik lainnya. Di situlah samudra keilmuan Gus Baha terlihat.
Dari kajian rutin itu, Gus Baha banyak mengupas soal kesalahan-kesalahan orang dalam memahami teks agama. Dengan logika yang sangat kuat, Gus Baha menghadirkan hujah-hujah yang sulit terbantahkan. Gus Baha juga menjelaskan, dasar (dalil) mengapa para ulama pesantren (terdahulu) bisa menerima budaya nusantara untuk disandingkan dengan ajaran Islam.
Runtut, jelas, detail dan logis. Rujukan kitabnya jelas. Saya pun sering terbelalak mendengarkan kajian Gus Baha. Saya yang pernah di pesantren dan kuliah di perguruan tinggi agama pun, sering merasa terkoreksi. Banyak perspektif baru yang saya dengan. Geniun. Tidak banyak diungkap oleh ulama lain.
Gus Baha banyak meruntuhkan, “memporak-porandakan” kekeliruan-keleliruan yang ada. Namun, kritikan itu tidak pernah secara spesifik diarahkan ke pihak tertentu. Gus Baha juga tidak pernah merespon atau membahas peristiwa yang sedang viral. Pihak-pihak yang melakukan kesalahan seperti thema kajian, dengan sendirinya merasa kena sentilan. Kebetulan saja kena. Tidak pandang bulu. Bisa internal warga NU, maupun non NU.
Pedas dan menohok! Namun, tidak ada yang tersinggung. Tunduk kepada aura keluasan ilmu Gus Baha. Beliau memiliki otoritas keilmuan sangat tinggi. Hafal Qur’an, hafal kitab-kitab hadist utama (Bukhori-Muslim), hafal sejumlah riwayat, serta sanad keilmuannya jelas. Gus Baha juga memiliki nasab dari para ulama besar tanah Jawa yang tersambung kepada Rasulullah SAW.
Pelan-pelan, pengajian Gus Baha menjadi viral. Berbagai chanel Yourtube memuat pengajian Gus Baha. Model pengajian deso yang renyah itu, ternyata menggoda selera banyak pihak untuk mencicipinya. Termasuk para artis ibu dan pesohor lainnya. Dari sekedar mencicipi, mereka menjadi ketagihan. Mereka pun akhirnya menjadi muhibbin (pecinta) Gus Baha.
Setelah rutin mengikuti pengajian Gus Baha, banyak pihak merasa terbelalak. Tercerahkan. Khususnya umat Islam kelas menengah perkotaan. Mereka tersadarkan. Ternyata, pemahaman-pemahaman keislaman yang mereka ikuti selama ini, banyak yang kurang pas.
Para “artis hijrah” yang sempat mereka nobatkan sebagai ustadz/ustadzah, ternyata minim referensi. Mereka memahami teks agama hanya sampai ke permukaannya saja. Mereka memahami al-Qur’an hanya bermodalkan al-Qur’an terjemahan Kementerian Agama. Sama sekali tidak memiliki perangkat yang cukup untuk menggali ajaran agama yang sifatnya tersurat.
Walhasil, akhirnya banyak pihak merasa perlu ngaji dengan Gus Baha. Pengajian yang diadakan di Sleman maupun di Narukan Rembang, tidak hanya dihadiri warga NU. Warga Muhammadiyah pun banyak yang hadir.
Sejumlah instansi, baik pemerintah maupun swasta mengajukan diri untuk bisa ngaji ke Gus Baha. Sejumlah perguruan tinggi ternama, salah satunya UGM, juga kepincut untuk ngaji. Yang sepektakuler, jajaran rektorat dan dosen Unmuh Malang, juga tidak segan untuk menggelar ngaji dengan Gus Baha.
Mereka yang berminat ngaji dengan, harus rela datang ke Narukan. “Yang mau ngaji silahkan datang. Timba harus mendatangi sumur. Bukan sumur yang mendatangi. Kalau kebalik, bisa kuwalat,” kata Gus Baha dalam berbagai kesempatan. Meski yang berminat antre, Gus Baha tetap membatasi diri. Belum semua mendapatkan kesempatan.
Di NU, saya yakin ulama sealim alamah Gus Baha seabrek jumlahnya. Jika ternyata Gus Baha yang saat ini melambung, saya rasa itulah rahasia yang di Atas. Sulit dilogikakan. Namun yang pasti, menurut saya, kemunculan Gus Baha ini menjadikan kekeramatan NU kembali muncul. Pemahaman keagamaan NU yang pernah disudutkan dan hendak ditenggelamkan, sekarang kembali dicari orang.
Masyarakat butuh cara keberagaam yang rileks. Menyenangkan. Suasana batin yang damai. Hidup bertetangga yang penuh prasangka baik. Rasa cinta yang bertabur bunga. Bukan rasa cinta di bawah ancaman. (bersambung)
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban, Jawa Timur
Advertisement