Harlah ke-11, Unusa Kulik Sejarah Asli Resoloesi Djihad NU Perang Sabil di Surabaya 1945
Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan karena sejarahnya mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari kependudukan para penjajah di Surabaya. Namun, sejarah tersebut tidak tercacat penuh terkait kejadian faktual di Surabaya. Di mana, saat itu ada andil sangat besar dari para ulama melalui gerakan Resolusi Jihad yang digagas oleh KH Hasyim Asy'ari.
Hal tersebut membuat Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) untuk menggelar Focus Group Discussion (FGD) buku karya Riadi Ngasiran berjudul Resoloesi Djihad NU Perang Sabil di Surabaya 1945 dalam rangka peringatan Harlah ke-11 Unusa di Kampus B Unusa, Sabtu 27 Juli 2024.
Sebagai penulis, Riadi Ngasiran mengatakan, penulisan buku tersebut adalah gambaran keresahan para santri karena masih ada masyarakat yang tidak mengakui sejarah Resolusi Jihad.
"Karena tidak ada bukti otentik sehingga dianggap tidak penting sebagai jejak sejarah nasional kita," tutur jurnalis Ngopibareng.id itu.
Penulis yang concern terhadap kajian-kajian islam itu kemudian mencoba mencari jejak sejarah berupa dokumen otentik. Salah satunya adalah pemberitaan terkait perjalanan awal Resolusi Jihad dari penggemblengan Barisan Hisbullah hingga menjadi Laskar Hisbullah.
Riadi Ngasiran kemudian mencontohkan ada beberapa tempat bersejarah perjuangan para ulama melawan penjajah. Di antaranya Kantor PCNU Surabaya sebagai tempat berkumpulnya para ulama sebelum pertempuran, kemudian Masjid Kemayoran sebagai tempat latihan barisan Hisbullah dan banyak lagi.
Kemudian, ia pun mendapat langsung cerita dari sejumlah kiai yang sebelumnya selalu menyimpan cerita sejarahnya sendiri dengan alasan keikhlasan untuk kepentingan bangsa.
"Kami ingin bahwa bagian peran para ulama ini jadi penulisan sejarah nasional. Di Surabaya agak prihatin di Tugu Pahlawan belum ada meski kita tahu KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah itu tidak tercatat padahal jadi pahlawan nasional. Inilah kontribusi umat islam, kontribusi kiai, kontribusi masyarakat Indonesia," pungkasnya.
Sementara itu, salah satu pembahas Andrian Perkasa mengaku tertarik dengan apa yang telah diupayakan oleh Riadi Ngasiran yang sejalan dengan pikirannya. Bahwa, ia mengatakan, selama ini sejarah Resolusi Jihad hanya jadi bahan omong-omong tanpa ada sejarah catatan tertulis.
Hal tersebut kemudian sangat penting untuk dijadikan buku pembelajaran sejarah. "Motivasi ini penting untuk menyumbang ilmu, menjadi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya ditulis sendiri, dibaca sendiri dan dibahas sendiri. Sehingga buku ini sangat penting," ujar Andrian.
Pembicara lain, Ady Erlianto Setyawan mengaku menarik membaca buku tersebut. Pasalnya, selama ini memang sangat minim dokumen otentik dan ada perbedaan paham yang menyebabkan Resolusi Jihad ini tidak banyak dikenal masyarakat.
Ia bercerita, bahwa awalnya justru yang ada Resolusi Nahdlatul Ulama yang tujuannya adalah mendorong pemerintah bukan kepada masyarakat.
"Resolusi jihad kenapa tidak disebut karena pada dasarnya arsip awal bukan Resolusi Jihad tapi Resolusi Nahdlatul Ulama. Resolusi NU kenapa orang jarang terdengar atau tidak mencatat, tetapi Resolusi NU ini sifatnya ke atas bukan ke masyarakat. Jadi masyarakat tidak menerima itu," kata Ady.
Selain itu, ia juga menyebut Resolusi Jihad ini agak sulit diterima karena melihat timeline waktu dari catatan yang ada memiliki perbedaan. Ia menyebut, Resolusi Jihad seruan perang 22 Oktober, namun 25 Oktober baru musuh datang.
"Catatannya Inggris dari beberapa buku, antara 25-27 Oktober situasi itu damai tidak ada peperangan. Ini digambarkan bisa makan bareng bahkan di buku ini bisa mabuk-mabukan bareng tidak ada kekerasan fisik. Baru tanggal 28 ketika tanggal 27 Inggris melanggar perjanjian baru terjadi peperangan," ujarnya.
"Jadi resolusi NU itu ditujukan pada pemerintah dan jihad belum ditujukan pada warga negara tapi harapan NU kepada pemerintah beri kami perintah seperti itu. Ini kita perlu gali lebih dalam," imbuhnya.
Karena itu pula, Resolusi NU tidak terdengar oleh media asing saat itu. Justru, seruan peperangan yang terdengar pada saat perang 10 November
Dengan banyaknya perbedaan itu, ia pun mendorong penelitian lebih dalam, khususnya mencari bukti-bukti tambahan untuk memperkuat cerita sejarah Resolusi Jihad.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dr Akhmad Baso yang mengatakan perlu adanya kebersamaan untuk mencari jejak sejarah dukungan bukti primer dalam menceritakan secara utuh Resolusi Jihad. Sebab, yang selama ini terdengar tidak semuanya benar atau bahkan kurang lengkap.
Misalnya, dari artikel yang ia baca kisah Ashari perobek bendera yang mengungkapkan bahwa ia mendengar kabar bahwa banyak bendera Belanda yang berada di sejumlah titik di Surabaya. Selain di Hotel Yamato tempat perobekan yang fenomenal.
"Kelilinglah Cak Ari ini melihat Bendera Belanda di salah satu gedung di Tunjungan, lalu sebelah barat Hotel Yamato ini ada aksi. Yang monumental di Hotel Yamato ini," ucap Baso.