Hari Tani Nasional, Petani Kita Miskin di Atas Lahannya Sendiri
Hari Tani Nasional yang diperingati rutin pada 24 September, memberikan gamban khusus terhadap nasib hajat hidup warga masyarakat di Indonesia. Kesejahteraan petani Indonesia masih jauh panggang dari api. Khususnya petani tanaman pangan nasibnya masih seperti sebelum-sebelumnya, mereka miskin di atas lahannya sendiri.
Pengentasan persoalan pertanian tidak bisa hanya datang, memberi bantuan, kemudian pergi menghilang. Sebab pemberdayaan petani harus dilakukan berkelanjutan/simultan. Pemberdayaan juga harus melibatkan local heroes. Sebab fasilitator harus day to day membersamai petani.
Syafi’i Latuconsina, Konsultan Ahli pertanian Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, dalam keterangan Jumat 23 September 2021, menyebut banyak petani Indonesia berubah menjadi buruh tani akibat ketidakberdayaan mempertahankan lahan yang mereka miliki.
“Bahkan tadinya punya lahan mereka sebagai petani, itu perlahan-lahan pasti berubah menjadi buruh tani. Mereka miskin di atas lahannya sendiri, dan itu tidak hanya terjadi di Jawa,” ungkapnya.
Selain persoalan teknologi pertanian, petani Indonesia juga terjerat pada praktik monopoli dagang. Di beberapa tempat, Syafi’i menemukan fakta miris, di mana hutang petani yang menumpuk di pedagang pupuk tidak terbayar, kemudian lahan yang dimiliki terpaksa digunakan untuk melunasi hutang.
Soal Kepemilikan Tanah
“Perlahan-lahan lahan itu akan beralih kepemilikan, itulah petani Indonesia saat ini, dulu, dan sekarang,” sambungnya.
Berangkat dari pengalaman selama melakukan pendampingan petani secara langsung, Syafi’i menyarankan supaya kebijakan yang dibuat untuk petani tidak memaksakan kehendak dari atas, dengan menekankan untuk menanam jenis-jenis bibit yang telah dibantukan oleh pemerintah.
Sebab, pemberdayaan tidak bisa dilakukan dengan program-program yang ditentukan dari atas (top down), melainkan program yang akan dilakukan harus berdasar pada assessment lapangan (bottom up), sehingga program sesuai dengan yang mereka butuhkan, bukan berdasar atas apa yang pemberdaya inginkan.
Model Kebijakan Pemerintah
Ia khawatir, model kebijakan tersebut hanya untuk menggugurkan kewajiban tanpa dilandasi dengan keseriusan untuk menyejahterakan nasib petani Indonesia. Dia mewanti-wanti jangan sampai program pengentasan kemiskinan menjadi proyek pemiskinan masyarakat.
“Contoh mereka paksa tanam jagung pemerintah kasih benih. Benih yang dikasih itu potensi produksinya hanya 2,5 ton. Potensi produksi 2,5 ton dia punya biaya operasional itu lebih dari Rp. 5 juta. Pada saat dia panen, harga jagung cuma di harga Rp. 2.500 sampai Rp. 3.200,”ungkapnya.
Syafi’i meminta kepada pemerintah untuk menyediakan fasilitas pinjaman (kredit Usaha Rakyat (KUR), ia memperkirakan fasilitas tersebut dampaknya lebih positif, daripada pemerintah memaksakan bantuan dalam bentuk barang yang kerap tidak sesuai dengan kebutuhan petani.