Hari Sumpah Pemuda, Mengingatkan Lahirnya KH Maimun Zubair
Hari Sumpah Pemuda dideklarasikan pada 28 Oktober 1928 silam. Namun, siapa sangka, saat para pemuda penggerak bangsa menggelar kongres, seorang bayi lahir di di sebuah perkampungan kecil, di jalur pantai utara, di Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, bernama Maimun Zubair. Kelak, sosok bayi inilah yang menjadi panutan para santri-santriwatinya dari Kabupaten Rembang dan Indonesia.
Almarhum KH Maimun Zubair, lahir pada 28 Oktober 1928 dan meninggal pada 6 Agustus 2019 silam di Makkah, saat hendak sholat tahajut. Beliau adalah putra dari ulama terkenal di Rembang, yaitu KH Zubair Dahlan. Kiai teduh ini jadi panutan, tak hanya di lingkungan pesantren, kolega, keluarga, tetapi juga para politisi dan pejabat di tanah air.
Dalam kariernya, selain sebagai pemangku di Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang, Mbah Moen, begitu kerap disapa, juga ikut terlibat dalam dunia politik. Dia tercatat pernah menjadi Ketua Majelis Syariag Partai Persatuan Pembangunan.
Selain itu, Mbah Moen, juga pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama tujuh tahun lamanya, bahkan pernah menjadi anggota MPR RI mewakili Jawa Tengah, selama tiga periode lamanya. Setelah malang melintang di dunia politik, Mbah Moen, kembali berkonsentrasi mengurus dan memimpin Pesantren Al Anwar.
Terlahir di lingkungan pesantren, Mbah Moen, banyak dikenal sebagai pria cerdas, santun dan juga punya pendalaman ilmu yang tinggi. Oleh orang tuanya, KH Zubair Dahlan, Maimun remaja diberangkatkan belajar ke sejumlah pesantren di Jawa Timur. Di antaranya di Pesantren Lirboyo, Kediri, yang ketika itu diasuh oleh Kiai Abdul Karim. Selain itu, pesantren-pesantren tua di di Lasem Rembang, juga di Mranggen Demak, di Cirebon, dan Senori Tuban, disinggahi untuk menuntut ilmu agama.
Hingga genap usia 21, tahun, Maimun remaja diminta orang tuanya belajar ke Makkah. Di Kota Makkah, Maimun remaja belajar dengan sejumlah ulama tersohor. Di antaranya dengan Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Qutuhbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly, dan juga ulama terkenal lainnya.
Usai menuntut ilmu agama di Makkah, diminta orang tuanya untuk mengembangkan Pesantren Al Anwar, di Kecamatan Sarang, Rembang, tepatnya tahun 1965 silam. Kedalaman ilmu agamanya, membuat pesantren yang berada di ujung timur Kota Rembang ini, mulai banyak dikenal dan didatangi para psantri untuk belajar agama sekaligus menuntut ilmu. Di antaranya kitab kuning, yang selama bertahun-tahun menjadi rujukan para santri-santriwati di pesantren.
Menurut KH Nur Chamid, santri dan juga ajudan KH Maimun Zubair, adalah sosok ulama peneduh. Kedalaman ilmunya nyegoro (seperti Samudra). Sosoknya yang tawadlu, tidak sombong, rendah hati dan tidak merasa lebih baik dari pada orang lain. “Mbah Mun Ilmunya tinggi, tetapi bisa membuat yang diajak bicara tidak merasa digurui. Itulah kehebatan beliau,” ujar KH Chamid, pada Ngopibareng.id, pekan lalu.
Disebutkan, KH Chamid, selama menemani dan mendampingi Mbah Moen lebih dari 15 tahun lamanya, banyak hal-hal yang tidak terduga. Misalnya, saat berada di tanah suci Makkah, atau saat berada di bandara, hal-hal kecil seperti, surat-surat kelengkapan, dipermudah.
“Ini yang saya alami sendiri. Saya tidak tahu dan kadang tak masuk diakal, mungkin ini karena sosok beliau,” imbuh pria yang kini menetap di Kecamatan Bangilan, Tuban ini.
Besok, tepatnya Minggu 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Dan pada hari yang sama, juga sekaligus memperingati lahirnya KH Maimun Subar, sosok teduh ulama panutan.