Hari Santri Lebih Tepat Disebut Kebangkitan Santri dan Ulama
Kemerdekaan yang diraih Indonesia dan diproklamasikan 76 tahun yang lalu, tidak terlepas dari peran pesantren. Para ulama dan santri pada masa perjuangan telah membangun jaringan di tingkat lokal maupun internasional.
"Salah satunya adalah perjuangan para santri dan ulama sejak awal abad ke-19 untuk melawan penjajahan yang oleh ahli sejarah mendiang Prof. Sartono Kartodirjo disebut sebagai religious revival (kebangkitan agama)."
Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin Menegaskan peran santri tersebut pada acara webinar internasional dari Kediaman Jl Diponegoro Jakarta, Rabu 20 Oktober 2021. Acara ini terselenggara sehubungan Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober 2021.
Menurut Wapres, Hari Santri lebih tepat disebut Hari Kebangkitan Santri dan Ulama karena para pelakunya adalah para santri dan ulama. Kebangkitan santri dan ulama ini kemudian telah turut menginspirasi lahirnya kebangkitan nasional.
Selanjutnya pada masa perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI, para santri juga turut berperan dalam mencegah kembalinya penjajah setelah kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamirkan dua bulan sejak 17 Agustus 1945 dengan datangnya tentara NICA.
Dan pada saat itulah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad yang kemudian ditindaklanjuti oleh PBNU dengan menerbitkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya. Isi dari Resolusi Jihad itulah antara lain “melawan penjajah hukumnya adalah fardhu ‘ain”.
"Resolusi Jihad ini kemudian menginspirasi para ulama dan santri untuk ikut bertempur mengusir tentara NICA sehingga terjadi pertempuran 10 November di Surabaya yang akhirnya berhasil mengusir tentara NICA. Oleh karena itu, tanggal 22 Oktober oleh pemerintah ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional," kata Wapres.
Setelah kemerdekaan, pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan pesat, sehingga kini berjumlah lebih dari 34 ribu pesantren. Perubahan pola kehidupan sosial masyarakat, adanya reformasi pendidikan, dan terjadinya era disrupsi, telah menuntut pesantren untuk terus melakukan penyesuaian dan perubahan dengan tetap menjaga citra eksistensinya.
Hari Santri Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia merupakan momentum bagi para santri, ulama, dan juga pemimpin bangsa Indonesia, untuk kembali memupuk semangat nasionalisme, semangat kebangsaan, dan semangat cinta tanah air, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu bangsa.
Dengan memupuk semangat kebangsaan dan cinta tanah air (hubbul wathan), berarti akan menumbuhkan semangat persatuan, dan meminimalisir tumbuhnya eksklusivisme, intoleransi, dan radikalisme di Indonesia. Sikap seperti ini harus dibarengi dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghargai, saling membantu dan menjaga, serta menguatkan solidaritas sosial dan tali persaudaraan antar anak bangsa.
Kesungguhan dalam membangun bangsa seperti ini harus ditunjukkan dan dibuktikan oleh semua komponen bangsa, tidak hanya oleh para pemimpin bangsa namun juga pada setiap diri anak bangsa, termasuk khususnya para santri pondok pesantren.
"Para hadirin yang saya hormati, persepsi masyarakat terdahulu terhadap pesantren yang hanya merupakan pusat pendidikan keagamaan atau belajar kitab saja telah berubah.
"Kini pesantren telah bertransformasi menjadi lebih berdaya, tidak hanya mendalami agama tapi pesantren juga mampu menggerakkan perekonomian di lingkungan pesantren sendiri dan perekonomian masyarakat di sekitarnya."
Transformasi peran pesantren telah dikukuhkan dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2019, yang menegaskan tiga fungsi utama pesantren, yaitu sebagai pusat peng-kaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence) atau pesantren sebagai pusat penyiapan ahli agama (I’dadul mutafaqqihina fid-din), sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resources), dan sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan masyarakat (agent of development).
Melihat ketiga fungsi utama tersebut, maka kebangkitan perekonomian pesantren harus dimulai dari para santri.
Untuk mendukung program santripreneur dan menggerakan perekonomian pesantren, pemerintah juga memberikan dukungan berupa Kredit Usaha Rakyat Syariah (KUR Syariah) dan membentuk Bank Wakaf Mikro (BWM) untuk meningkatkan akses permodalan usaha di lingkungan pesantren. Pemerintah juga telah membangun lebih dari 1.000 Balai Latihan Kerja (BLK) untuk mengembangkan keterampilan para santri.
Selain upaya yang oleh pemerintah, beberapa Pondok Pesantren juga telah melakukan pengembangan usaha di bidang keuangan, pertanian, perikanan, dan pariwisata. Di bidang keuangan, pesantren telah mendirikan Baitul Mal wa Tamwil (BMT), di bidang pertanian berupa penanaman berbagai komoditi sayur mayur dan buah-buahan.
Sebagaimana diketahui bersama, santri yang mondok di pesantren pada era sekarang merupakan bagian dari generasi Z, dan beberapa tahun ke depan akan muncul generasi Alpha (A) di pondok-pondok pesantren. Para generasi Z dan A terlahir di dunia yang serba digital. Jika pesantren tidak dapat beradaptasi dan bertransformasi sejalan dengan perubahan zaman, maka eksistensi pesantren dapat terancam, dan lulusannya pun akan menjadi orang asing di zamannya.
Kondisi tersebut menuntut para santri generasi milenial untuk terus berupaya meningkatkan kualitas, baik dari sudut pendidikan formal, nonformal, kreatif dan inovatif, kompetitif dan ber-akhlakul karimah, sehingga dapat
Webinar internasional bertema "Santri Membangun Negeri: dari Sudut Pandang Politik, Ekonomi, Budaya dan Revolusi Teknologi",
diharapkan para narasumber dan peserta dapat saling berbagi ide dan informasi, mengeratkan persaudaraan, memperluas jaringan, serta cakrawala berpikir pesantren agar semakin luwes menghadapi perubahan zaman, dan mampu untuk tampil sebagai pemimpin masa depan yang berwawasan kebangsaan.
Para santri dari kalangan nahdliyin dalam menghadapi perubahan zaman sudah memiliki paradigma yang berbunyi: “almuhafazhah ‘alal qadimish shalih wal áhdu bil jadidil ashlah”, yang artinya senantiasa menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.
Dan untuk melengkapi paradigma itu saya tambahkan dengan paradigma yang berbunyi: “al-ishlah ilaa ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah”, yang artinya: melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara terus-menerus dan berkelanjutan atau continous improvement, pesan Wapres.
Advertisement