Hari Santri dan Makna Perjuangan Para Kiai
Malam puncak peringatan Hari Santri Nasional 2018, akan diselenggaran di lapangan Gasibo Bandung, Minggu 21 Oktober 2018 malam nanti.
Presiden Joko Widodo, menurut rencana akan hadir bersama beberapa menteri anggota Kabinet Kerja, pimpinan lembaga negara, serta perwakilan negara-negara sahabat.
Hari Santri Nasional ini ditetapkan melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015.
Dalam menyambut Hari Santri Nasional 2018, Ngopibareng.id sempat berbincang dengan KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU, sehubungan dengan kiprah santri.
Menurut Said, keputusan hari santri merupakan bukti pengakuan negara atas jasa para ulama dan santri dalam perjuangan merebut, mengawal, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. "Itulah mengapa keluarga besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia saat ini mengekspresikan rasa syukur dengan memperingati Hari Santri," kata Said.
Pengakuan terhadap kiprah ulama dan santri, tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober 1945. Di hadapan konsul-konsul Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura, di Kantor Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama, Jalan Buburan VI/2 Surabaya, Fatwa Resolusi Jihad NU digaungkan hadratussyaikh dengan pidato yang menggetarkan.
Teks naskah pidato hadratussyaikh berbunyi: "Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…)".
Tanpa Resolusi Jihad NU dan pidato teks naskah pidato hadratussyaikh itu, tidak akan pernah ada peristiwa heroik perlawanan rakyat tanggal 10 November di Surabaya yang lantas dikenal dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Seiring dengan perjalanan waktu, kiprah santri teruji dalam mengokohkan pilar-pilar NKRI berdasarkan Pancasila dan bersendikan Bhinneka Tunggal Ika. Santri berdiri di garda depan membentengi NKRI dari berbagai ancaman. Tahun 1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Darussalam. Pernyataan ini adalah legitimasi fiqih berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila. Tahun 1945, demi persatuan dan kesatuan bangsa kaum santri setuju menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Tahun 1953, kaum santri memberi gelar Presiden Indonesia Ir. Soekarno sebagai Waliyyul Amri ad-Dlaruri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak DI/TII sebagai bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme.
Pada tahun 1983/1984, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus nasional (muahadah wathaniyyah). Selepas Reformasi, kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI adalah negara-bangsa, bukan negara agama, bukan negara suku, yang mengakui seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan konstitusi, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan.
Untuk menginsafkan semua pihak dan mengingatkan kita sendiri selaku kaum santri, kenyataan itu perlu diungkapkan: betapa besar saham kaum santri dalam proses berdiri dan tegaknya NKRI. Tanpa kiprah kaum santri, dengan sikap sosialnya yang moderat (tawassuth), toleran (tasâmuh), proporsional (tawazun), lurus (i'tidal), dan wajar (iqtishad), NKRI belum tentu eksis hingga hari ini.
Negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika sekarang remuk dan porak poranda karena ekstremisme dan ketiadaan komunitas penyangga aliran Islam wasathiyyah. "Tragedi ini harus menjadi pelajaran umat Islam seluruh dunia, utamanya Indonesia". (asm/man)