Hari Pangan Sedunia, Khofifah Beberkan Jurus Ketahanan Pangan
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengajak masyarakat berperan aktif mewujudkan ketahanan pangan di Jatim. Hal ini ia lakukan dalam memperingati World Food Day (Hari Pangan Sedunia) yang jatuh pada 16 Oktober setiap tahunnya.
Sebagaimana diketahui, tema yang diangkat oleh Food and Agriculture Organization dalam Hari Pangan Sedunia kali ini ialah 'Our Actions Are Our Future, Better Production, Better Nutrition, a Better Environment and a Better Life'.
Menilik tema tersebut, Khofifah menekankan perlunya peran serta masyarakat untuk berpartisipasi aktif mengupayakan penguatan ketahanan pangan. Salah satunya melalui 3 langkah sederhana yang bisa dilakukan untuk mewujudkan keinginan tersebut.
Ia menjelaskan hal pertama yang bisa dilakukan masyarakat ialah memilih makanan yang sehat, lokal dan musiman. Menurutnya, makanan sehat yang dimaksud adalah makanan yang bernutrisi cukup bagi individu untuk bergerak aktif dan dapat menghindari risiko penyakit.
"Alhamdulillah bahwa di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Timur pada khususnya memiliki kekayaan akan sumber daya alam dengan beragam jenis pangan yang melimpah. Ini menjadi syukur kita bersama," ujar Khofifah dalam keterangan tertulis, Minggu 17 Oktober 2021.
Selain itu, langkah sederhana yang perlu dilakukan adalah mendorong program diversifikasi pangan untuk mengembangkan potensi sumber pangan lokal. Serta mengajak masyarakat untuk memahami bahwa sumber karbohidrat sangat beragam, seperti umbi-umbian, sukun, jagung, dan lainnya yang nilai gizinya setara dengan beras ataupun tepung terigu. "Cara tersebut juga sebagai bagian untuk membantu masyarakat dalam mengakses makanan sehat," terangnya.
Kedua, berkebun atau bercocok tanam di lingkungan rumah sendiri. Menurut Khofifah cara ini sangat efektif mengingat ketahanan pangan bisa diraih jika masyarakat memulainya dari level yang terkecil, yaitu membangun ketahanan pangan keluarga.
"Diharapkan setiap rumah tangga bisa mengoptimalisasi sumber daya yang dimiliki, termasuk pekarangannya dalam menyediakan makanan bagi keluarga," jelas Khofifah.
Lalu ketiga, Khofifah berharap masyarakat dapat lebih menghargai makanan dan lingkungan dengan mengurangi untuk membuang makanan. Ia menyebutkan, langkah mengurangi sampah makanan adalah hal yang paling sederhana, tetapi memiliki dampak yang sangat besar.
"Food waste menurut FAO, mengacu kepada makanan yang dibuang, padahal produk makanan atau produk makanan alternatif tersebut masih aman dan bergizi untuk dikonsumsi. Misal, makanan yang tidak kita habiskan karena masalah rasa atau mengambil terlalu banyak," paparnya.
Ia menerangkan berdasarkan data yang ada Indonesia merupakan produsen sampah makanan terbesar ke-2 di dunia. Adapun 13 juta ton makanan yang terbuang diketahui sama dengan kebutuhan pangan 11 persen orang Indonesia atau setara dengan kebutuhan 28 juta jiwa. Padahal, menurut data Bappenas, perkiraan food waste Indonesia berkisar pada angka 23 juta-48 juta ton/tahunnya. Sementara makanan konsumsi yang terbuang di Indonesia bisa mencapai 115-184 kg per orang dalam setahun.
"Perhitungan angka 115-184 kg per orang per tahun itu termasuk perhitungan dari food loss, dari sisi produksi. Mulai dari beras ditanam sampai ke piring kita," urainya.
Khofifah menjelaskan limbah makanan ternyata dapat mengakibatkan dampak kerugian ekonomi sebesar Rp 213 triliun hingga Rp 551 triliun per tahunnya. Ia memaparkan bila jumlah penduduk Jawa Timur pada 2020 mencapai 40.665.700 jiwa (Jatim Dalam Angka/BPS 2021), potensi food waste di wilayah tersebut berkisar pada 4.676.555,5 - 7.482.488,8 ton per tahun atau sekitar 15,59 persen - 20,33 persen.
Menurutnya, tingginya angka food waste tersebut dapat berdampak pada perekonomian dan sektor lainnya. "Oleh karena itu diharapkan, masyarakat bisa mulai mengubah pola pikir dan kondisi saat ini dapat menyadarkan kita agar lebih bijak dalam mengelola makanan," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Khofifah juga meminta masyarakat dapat memperkirakan dengan baik jumlah makanan yang diperlukan. Selain itu, ia meminta masyarakat untuk lebih cermat dalam mengolah makanan dan membeli makanan sesuai kebutuhan.
"Agar apa? Agar tidak ada lagi yang terbuang sebagai bagian dalam upaya untuk mengurangi food waste. Misalnya dengan merencanakan menu makanan di rumah secara seksama, sehingga tidak ada makanan yang menjadi limbah," katanya.
Ia pun mengingatkan generasi muda agar dapat memilih bahan pangan yang sehat, aman, bergizi dan juga bermutu. "Generasi milenial dapat menjadi duta keamanan pangan dan mengajak lingkungan di sekitarnya untuk membeli penganan produk lokal. Atau melakukan inovasi menggunakan produk lokal misalnya porang yang saat ini banyak diminati negara tetangga," ujarnya.
Mantan Menteri Sosial ini pun mengajak generasi milenial untuk menjadi konsumen yang cerdas dan kritis dalam hal memilih pangan. Menurutnya, milenial adalah generasi emas yang harus menyadari pengetahuan terkait bahan pangan. Sebab, keamanan pangan adalah tanggung jawab bersama dan tanggung jawab generasi muda.
Lebih lanjut, Khofifah menjelaskan generasi milenial saat ini harus mampu mengajak masyarakat untuk menjaga daya tahan tubuh di masa pandemi Covid-19. Caranya, dengan mengkonsumsi pangan gizi seimbang dan cerdas kenali label gizi pada pangan.
"Generasi milenial harus proaktif menjadi agen perubahan. Selain mengkampanyekan kebiasaan baru, harus juga menebarkan semangat untuk membangun hidup sehat dan cerdas dalam memilih pangan yang aman, bermutu, dan bergizi," ungkapnya.
Khofifah juga berharap kebutuhan pangan masyarakat harus terpenuhi dan tidak ada lagi masyarakat yang tidak bisa memenuhi gizinya. "Apalagi saat ini Jatim sudah menjadi provinsi yang swasembada pangan dengan prestasi surplus baik komoditas beras atau jagung. Sebagai provinsi yang memiliki kawasan maritim dan agraris tropis dengan potensi produksi pangan yang sangat beragam dan besar, Jatim sejatinya berpeluang untuk menjadi provinsi besar yang maju dan makmur," terangnya.
Pada momentum HPS 2021 ini ia pun berpesan agar masyarakat dapat mengoptimalkan pengolahan lahan pertanian yang belum termanfaatkan dengan baik.
Menurutnya, ada sejumlah penyebab, mulai dari belum masuknya jalur irigasi, pemilik lahan tinggal di luar provinsi (perantau), atau ketiadaan modal untuk menggarap. Selain itu, ada pula lahan yang baru saja panen namun setelah itu cukup lama dibiarkan.
"Dalam pelaksanaannya, petani dan pemilik lahan bisa bekerja sama dengan berbagai pihak, misalnya kepada TNI yang selama ini sudah banyak berperan dalam menyukseskan program pemerintah. Pemilik lahan akan mendapat bagian dari hasil pengolahan lahannya. Tergantung kesepakatan kedua belah pihak," pungkasnya. (Dtk)