Hari Nugroho, Sehelai Daun yang Kembali
Oleh: S. Jai
aku menjadi rerontokan daun yang tak mungkin (kembali)
membangun instrumentalia bersama angin senjahari
aku telah sampai di sini. di tanah basah
tempat seribukali wajahku memaknai
belantara diam
….
(Notasi Daun-Daun yang Kembali, 1994)
Aku tahu, aku bukanlah satu-satunya orang yang terkejut menerima kabar kepulangan Hari ‘Mbah Jin’ Nugroho ke alam keabadian, Ahad 29 November 2020 pagi, dalam usia 51 tahun. Terlebih, sangat mungkin kabar yang kuterima terlambat.
Menerima kabar dari sebuah grup WhatsApp (WA) Bengkel Muda Surabaya tentu bukanlah yang pertama. Selain tak lengkap, kejutan malah membuat kabar yang kutrima berpusing dengan sekian banyak tanda tanya serta misteri.
Aku tahu, begitu banyak sahabat-sahabat Hari ‘Mbah Jin’ Nugroho yang kupastikan lebih banyak yang tak kukenal ketimbang yang kuakrabi. Tentu mereka semua tersentak, kaget. Begitu mendadak. Nyaris sulit dipercaya. Begitu dekat, seperti baru detik-detik belakangan cerita tentangnya.
Diantara sejumlah besar sahabat-sahabatnya, sangat mungkin tidak banyak yang kemudian dirinya gemetar begitu mendengar kabar kematiannya. Beberapa orang mengabarkan gemetar dirinya itu padaku melalui WA, utamanya kawan-kawan dari Bengkel Muda Surabaya (WA).
Beberapa malah menangis….
Terus terang, aku juga gemetar. Kabar yang susul menyusul dari telepon, media sosial, grup WA, makin menggetarkan saat aku menulis ini.
Ndindy, sambil tak bisa menyembunyikan kesedihannya, malah mengirimkan screenshoot guyonan dengan Hari Nugroho beberapa hari lalu. Aku makin gemetar, tersebab Hari Nugroho menyebut namaku.
Maafkan aku tak sampai hati merekam guyonan perihal kematian itu dalam rekaman tulisan ini.
Mungkinkah itu sasmita kegembiraannya dalam menghadapi banyak hal, termasuk kematian?
Aku tidak tahu persis mengapa demikian gemetarnya aku. Baiklah, aku tak akan menuliskan sesuatu yang tak kuyakini betul musabab dan alasannya. Mustahil juga aku membeberkan lukisan peristiwa kepulangannya yang hanya kuterima potong demi potong dari sirkuit lalu lintas media sosial.
Biarlah buatku tetap menjadi tanda tanya dan misteri…
Aku hanya bisa katakan yang terang bagiku: mestinya dalam minggu-minggu ini aku bertemu Hari Nugroho, sebagaimana dihasratkan salah seorang sahabat kami Dandik Adhisura. Jika itu benar terjadi tentu pertemuan yang sangat jarang, walau bukan berarti hampir tak pernah terjadi. Aku memang sangat jarang bertemu dengannya atas alasan yang tentu klasik: kesibukan, dan ruang yang sulit terkendali. Laku jurnalistik Hari Nugroho yang sudah mendarah daging membuatnya tak pernah berhenti menguasai ruang dan waktu, berita dan cerita, juga peristiwa.
Tak terkecuali, sampai dengan meninggalnya; info dari kawan sastrawan dan wartawan Leres Budi Santoso, Jenazah Hari Nugroho diketemukan di kamar Fave Hotel oleh Yuska, salah seorang aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik). Setelah itu Hari dibawa ke RSUD Tuban. Hari Nugroho ke Tuban dalam rangka syuting film dokumenter mengenai Herman Hendrawan, mahasiswa Fisip Unair yang hilang tahun 1998.
Puisi, Drama, Jurnalistik
Puisi karya Hari Nugroho di atas kukutip dari buku Kami di Depan Republik, antologi Puisi dan Cerpen, terbitan Kelompok Seni Rupa Bermain tahun 1995. Ada 4 puisi karya almarhum dalam buku setebal 55 halaman tersebut. Ada baiknya kukutip lengkap lanjutan puisinya…
ricik kesepian mataair belum usai kubaca
dengan apa kita harus menulisi langit?
sedang malam-malamku masih terlalu dangkal
untuk membenamkan batu-batu di keningmu
kalau hujan musti dilafadzkan
ingin kuhapus debu yang dirangkum kemarau
hingga menutupi rerumputan. sebab aku
begitu suntuk ingin mengisahkan matahari
pada tidurmu. meski kita
dipisah ranting-ranting
Sby, 1994
Aku mengutipnya, lantaran sublimasi puisi Hari ini tampak lain, dibandingkan dengan puisi yang liyan di buku itu (Telegram, Seusai Sarapan, Engkaulah Keheningan itu). Sublimasi atas nama suatu kehampaan. Sublimasi yang kiranya serupa ada dalam puisinya Engkaulah Keheningan itu. Berbeda dengan puisi lainnya, dan sangat mungkin sebagian besar puisi-puisinya berupa sublimasi kegetiran hidup, kemiskinan, masalah sosial, tragedi kemanusiaan.
Terus terang tidak banyak yang kutahu seberapa besar jumlah puisi-puisi Hari, dan seberapa produktif berkarya. Selain terkumpul dalam antologi bersama Teater Puska Soliloqui (1994?), berpuluh tahun kemudian aku kehilangan jejak proses kreatifnya. Hanya memang sesekali menulis puisi pendek di laman Facebooknya. Hari yang kelahiran Jombang, 13 Agustus 1971 dan sempat terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, seingatku jurusan Perpajakan, kemudian lebih banyak dan memilih bergulat dalam jurnalistik.
Meski hari seorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, aku sendiri hampir tak pernah menyaksikan dia membacakan sendiri puisinya, walaupun dia seorang pembaca puisi yang ulung dan piawai. Beberapa kali menyabet juara. Tahun 1993 Hari Juara II baca puisi Jawa Modern se-Jawa Timur.
Dalam roadshow buku Kami di Depan Republik itu sendiri, Hari memilih tampil monolog. Hari memilih naskah dari cerita pendekku untuk dimainkannya. Judulnya Kopi Pahit Pak Su. Kami tampil bersama; Saiful Hadjar, Arief B Prasetyo, Karsono, Leres Budi Santoso, di lingkungan Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali. Naskah itu diadaptasinya sendiri menyesuaikan dengan isu-isu perlawanan terhadap diktator Orde Baru waktu itu. Tentu saja, akulah kawan diskusinya, kawan adu argumentasinya, kawan tidurnya—karena kami sesama penumpang gelap di rumah indekos atau kontrakan kawan kuliah.
Anehnya, satupun tak pernah kami dengar ada yang keberatan dengan gaya hidup kami. Kami sama-sama menikmati kemiskinan, tapi tidak pernah bicara perihal itu selain melalui karya. Rupanya, ini yang membuat tak pernah ada yang keberatan atas kami. Jelas, karena kawan-kawan kami adalah intelektual dan atau seniman. Atau setidaknya, kami semua maklum tengah belajar menjadi intelektual atau seniman.
Lebih dari itu Hari Nugroho memecahkan segala persoalan tetek mbengek keseharian dengan humor.
Kami belajar bersama di Universitas Airlangga, dan juga Teater Puska Fisip Unair begitu masuk kuliah tahun 1991. Hari jauh lebih berpengalaman dalam kesenian, bahkan sebelum masuk dan belajar bersama di Teater Puska. Hari sudah lebih dulu mencatatkan diri sebagai Sutradara Terbaik, Aktor Terbaik saat bersama Teater Swamitra di ajang Lomba Drama Lima Kota (LDLK) tahun 1991. Dan kukira tidak banyak yang tahu Hari pula yang menulis naskah pertunjukkan memukau itu. Judulnya Negosiasi. Tentang penggusuran pasar, dan kukira naskah itu melalui riset peristiwa pembakaran Pasar Wonokromo. Aku baru tahu tahu Negosiasi adalah karya Hari Nugroho, ketika dalam sebuah kesempatan kami bersama menonton teater di FISIP Unair sekitar tahun 1992 tanpa keterangan yang jelas. Hari mendadak nyletuk,”Lho iki lak naskahku?”
Celetukan Hari ini pukulan buatku. Ah, aku tak punya pencapaian apapun….
Mbah Jin dan Penggusuran Orang Miskin
Tak hanya di Swamitra, di Teater Puska Fisip Unair, Hari Nugroho membuka cakrawala kawan-kawan yang belajar, utamanya teater. Hari Nugroho memompa semangat pencarian dan penemuan kepribadian berkesenian di kalangan kawan-kawan mahasiswa, yang tentu saja sebelumnya lebih banyak didominasi oleh ‘anak mama.’
Kami menjadi terbuka wawasan. Bersama-sama dengan S. Yoga, M. Anshor Sja’roni, Susilo Masrudin, dkk Hari Nugroho seperti motor penggerak. Kami mementaskan lakon Demit, karya Heru Kesawamurti (Teater Gandrik). Hari banyak sekali mewarnai gagasan-gagasan pertunjukan. Itulah awal mula mengapa kemudian dan bertahun-tahun waktu selanjutnya Hari dijuluki Mbah Jin. Hari memerankan dengan luar biasa sebagai sesepuh para demit yang melawan penggusuran di pertunjukkan yang kemudian sempat mendapat undangan di Kementrian Pemuda dan Olahraga Senayan, Jakarta.
Bisa dikata aku dan Hari nyaris tak pernah berpisah dalam kesenian. Begitu Hari sering meninggalkan lingkungan Unair, aku segera menitip pesan; “Kalau latihan di luar, ajak aku!”
Maka kami nyaris selalu bersama, kecuali jam kuliah. Itu awal aku (tentu saja melalui Hari) bergabung dengan kawan-kawan di Balai Pemuda—Bengkel Muda Surabaya (BMS). BMS sedang geliat latihan menggarap teater Nyai Adipati, yang disadur dari novelet Mayon Sutrisno. Disutradari Zainuri. Bersama Arief B Prasetyo, Leres Budi Santoso, Saiful Hajar, Widodo Basuki, Heroe Budiarto, Farid Syamlan, Ndindy, Wally Sherdil dan sejumlah anak muda waktu itu. Kebersamaan proses penggarapan teater itu sampai di Temu Teater Indonesia 1993 di Solo.
Dengan kata lain, penggarapan teater Nyai Adipati itu sukses. Bagi kami sukses Nyai Adipati, mungkin awal dari arus balik dari kebersamaan kami. Bisa jadi terkait pencarian dan penemuan diri. Boleh jadi pula akibat karut marut ketegangan pendewasaan dan kedewasaan kami. Kami sering bersama malam-malam menyusuri rel kereta di sekitar Gubeng tanpa saling bicara. Kami nyaris tiap hari berjalan dari Dharmawangsa ke Balai Pemuda, melalui gang tikus. Sesekali bicara atau sering berbagi pembicaraan namun perihal lelucon-lelucon untuk mengundang tawa. Bahkan, yang cukup sulit kami percaya, kami sering berjoget suka-suka di gelap malam, di gang atau bantalan rel kereta.
Semata-mata untuk bisa saling tertawa dan menertawakan diri.
Hari Nugroho seorang yang humoris. Sudah barangtentu saat itu, guyonan-guyonan pahit lebih sering kami bagi bersama.
Sudah barangtentu termasuk dalam hal asmara. Entah, mungkin bagi kami yang masih belia waktu itu, sekadar bicara asmara-asmaraan. Pernah suatu ketika Hari naksir kawan sesama komunitas. Tentu saja, tanpa suara. Hari hanya bisa berbagi sanepa;
Godhong Gedang Kembange Manggis
Arek Malang ancene manis…
Sanepa itu karena kerap diceletukkan seorang Hari—panutan pada masanya—tentu menjadi demikian cepat merambat populernya. Sampai terdengar pada gadis yang dimaksud. Apa respon gadis yang dimaksud?
Tentu sebagaimana umumnya kisah cinta yang tak sampailah…
Selepas terlibat bersama penggarapan Nyai Adipati, kami lebih mirip saling menempatkan diri sebagai saudara ketimbang sebagai sesama yang belajar kesenian. Masih tetap sama-sama sebagai penumpang gelap kamar indekos atau kontrakan teman, nyaris tanpa tahu pencapaian dan perkembangan kesenian kami. Hanya saja, pergaulan Hari yang luas sering membuat pilihan langkahnya menurutku mengejutkan. Semisal pergaulannya dengan kawan-kawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bersama mereka Hari membikin kelompok musik. Kalau tak salah ingat sempat tampil di Malam Seni Luar Biasa, 100 hari pembredelan Tempo, Editor, Detik (1994).
Selepas itu hari melaju ke dunia jurnalistik. Lagi-lagi aku terhenyak takjub begitu mendapati kabar hari bergabung dengan majalah MATRA. Perlu anda tahu, jurnalistik adalah dunia yang mau nggak mau musti diam-diam ingin kuterjuni. Sejak itu Hari melesat sebagai calon seorang jurnalis tangguh. Hanya sesekali balik bermain drama. Seingatku kami sempat terlibat bersama saat menjelang reformasi. Bengkel Muda Surabaya menggelar Wayang Kentrung lakon (kalau tak salah) Banjir di acara ruwatan hari Bumi di Balai Pemuda. Pertunjukan-pertunjukkan wayang kentrung lainnya terlebih di luar kota, Hari Nugroho sudah absen karena kesibukannya sebagai jurnalis. Saat digelar di Hall Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta (1999) posisi Hari digantikan oleh alm. Rahmat Giryadi.
Sejak Hari Nugroho pindah ke Jakarta (Tangerang) praktis aku tak pernah bertemu, kecuali bila sedang benar-benar dipertemukan oleh takdir di Surabaya. Awal tahun 2019 ketika Bengkel Muda Surabaya menggelar Ruwatan Kota Pahlawan, kami bersua. Kemudian awal tahun 2020 lalu, kami bertemu pula tanpa sengaja. Dua tahun dua pertemuan. Mestinya, sekali lagi kami bersua….
Begitulah belakangan Hari lebih sering mengirimkan link-link video karya dokumentarnya. Setiap yang dikirimkan padaku senantiasa kubuka, kutonton dan tak jarang kukomentari, kukritik.
Sudah barangtentu karyamu yang belum kutonton akan kucari, Har…
Mestinya, sekali lagi kita bersua sambil membaca puisimu ini….
Engkaulah Keheningan itu
tiba-tiba aku tak mampu menulis puisi
ketika aku memahamimu
sebagai maha syair yang memberikan keheningan
bagi batu-batu
Sby, 1994
Selamat Jalan, Kawan.
* S. Jai, wartawan, satrawan, aktivis Bengkel Muda Surabaya.