Hari Film Nasional Diawali Darah & Doa Karya Usmar Ismail
Hari Film Nasional diperingati setiap tanggal 30 Maret. Ironisnya, tahun ini, Hari Film Nasional diperingati bersamaan wabah virus corona. Sejumlah bioskop di Indonesia, terutama yang berada di wilayah zona merah virus corona terpaksa ditutup untuk sementara waktu mengikuti anjuran pemerintah. Selain itu, aktivitas syuting film juga dihentikan sesuai imbauan social distancing dan physical distancing.
Melalui akun media sosial masing-masing, para pembuat film memberikan ucapan selamat Hari Film Nasional dan berharap agar industri film Indonesia semakin maju dan kreatif.
Selamat Hari Film Nasional, teman-teman! Terima kasih untuk para pekerja film yang selalu bikin film dengan dedikasi, skill, dan hati. Terima kasih buat penonton yang selalu merayakan film dan pencapaian film Indonesia!
— Joko Anwar (@jokoanwar) March 30, 2020
Sutradara Mira Lesmana memilih mengunggah cuplikan film Petualangan Sherina sembari mengajak pengikutnya untuk tetap di rumah selama masa pandemi global virus corona.
Sementara, sutradara Riri Riza mengenang peristiwa 70 tahun silam yakni 30 Maret 1950, hari pertama syuting film Darah dan Doa karya Usmar Ismail yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Film Nasional.
Sejarah Hari Film Nasional
Sejarah Hari Film Nasional dimulai dari film Darah & Doa atau Long March Siliwangi yang merupakan film besutan sutradara Usmar Ismail. Pengambilan gambar film tersebut pertama kali dilakukan pada 30 Maret 1950.
Darah & Doa begitu spesial karena menjadi film pertama yang disutradarai oleh orang pribumi dan produksi perusahaan film Indonesia, Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang didirikan oleh Usmar Ismail.
Karena itulah, Konferensi Dewan Film Nasional dengan Organisasi Perfilman pada 11 Oktober 1962 menetapkan bahwa 30 Maret menjadi Hari Film Nasional.
Ketetapan itu diperkuat dengan munculnya Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional pada masa Presiden BJ Habibie.
Setelah perfilman Indonesia terkekang karena dominasi penjajahan Belanda dan Jepang, tahun 1950 dianggap sebagai kebangkitan film nasional. Disusul dengan peresmian bioskop termegah, Metropole pada 1951 dan meningkatnya jumlah bioskop.
Kemudian pada 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).