Hari Buruh, AJI Surabaya Minta Jurnalis Sadar Kelas
Massa buruh memadati depan Gedung Negara Grahadi, di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya. Sebanyak ribuan buruh itu memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, yang jatuh tiap 1 Mei.
Sejumlah buruh itu berasal dari beragam aliansi, salah satunya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Kontras Surabaya, serta serikat buruh lainnya.
Mereka tiba sekira pukul 11.00 WIB, Rabu, 1 Mei 2019, diawali long march dari Jalan Basuki Rahmat, dengan membwa spanduk dan poster bernada protes.
Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl dalam orasinya mengingatkan bahwa jurnalis juga buruh. Sebab ada hubungan industrial di dalamnya.
"Kawan-kawan saya sesama jurnalis, harus sadar kelas bahwa kalian juga adalah buruh, ada UU 13 No 2003 yang mengikat kita sebagai buruh," kata dia.
Faridl menambahkan, bahwa jurnalis bukan hanya diikat dengan Undang-Undang profesi tapi juga diikat dengan Undang-Undang ketenagakerjaan. Saat ini, kesejahteraan dan perlindungan untuk pekerja media pun masih jauh dari kata ideal.
"Kalau kemudian kelas ini tidak segera dibentuk, maka jangan kaget banyak jurnalis yang dipecat, tidak segera bergerak," ungkap Faridl.
Tak hanya itu, Faridl juga menyebut, realitanya masih banyak jurnalis di Surabaya yang digaji di bawah upah minimum regional (UMR). Banyak yang digaji hanya Rp 2 juta saja. Padahal UMR saat ini Rp 3.871 juta.
"Kalau menurut peraturan sesuai dengan (yang ditetapkan) Pemkot Surabaya, gaji wartawan harus UMR+20 persen," tandas Faridl.
Menurut Faridl, kini masih banyak jurnalis yang tak sadar akan kelasnya, banyak di antara jurnalis yang pongah, dan malu dikatakan sebagai kelas pekerja, karena menganggap dirinya sebagai karyawan.
Tak sadar akan kelasnya, justru membuat jurnalis tersebut lemah, dan mudah sekali menjadi korban penindasan hubungan industrial. Maka lewat momen hari buruh inilah ia berharap jurnalis segera sadar.
"Akar kesalahan sebagai kelas pekerja, isu soal kesejahteraan, isu soal kesehatan, isu perlindungan, isu soal apa pun yang berhubungan dengan hajat hidup kita, tidak akan pernah bisa kita perjuangkan, tanpa ada kesadaran kelas," ujarnya.
Momen ini, juga digunakan AJI untuk meruntuhkan kesombongan, bersatu, turun aksi bersatu, untuk turut merayakan hari besar bersama para buruh. Sebab perjuangan buruh adalah perjuangan jurnalis pula.
"Suka tidak suka, saya pun merasakan ketika perjuangan kawan-kawan (buruh) menunaikan bahwa upah harus naik, jurnalis juga merasakan hasilnya, maka munafik ketika mereka (jurnalis) mencibir," ujarnya. (frd)