Harga Kedelai Impor Naik, Perajin Tempe Blitar Perkecil Kemasan
Berbeda dengan perajin tempe di DKI Jakarta yang mogok produksi karena harga kedelai yang meningkat tajam sejak Covid 19 melanda Indonesia, perajin tempe di Kabupaten Blitar tetap bertahan dengan menurunkan volume produksi.
Kepada Ngopibareng.id, Sajian, perajin tempe di Desa Karangsono, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar menuturkan harga kedelai kini mencapai 9.500 rupiah per kilogramnya. Kenaikan ini sangat memukul perajin tempe. Ia harus mengurangi produksi dan keuntungan sampai 25 persen. Semula kebutuhan bahan baku kedelai perhari bisa mencapai 150 kilogram, sekarang hanya bisa memproduksi 110 kg hingga 125 kg per hari. Dan keuntunganya yang semula bisa mencapai 200 sampai 250 ribu rupiah, menyusut menjadi 150 ribu rupiah.
Ditanya bagaimana mengatasi permasalahan kenaikan bahan baku tersebut, Sajian menjelaskan “Kami lakukan pengurangan berat kemasan, yaitu dengan memperkecil kemasan walaupun harganya sama. Untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sebetulnya dari segi konsumen tidak ada penurunan, karena pasar kami sudah mempunyai segmen tersendiri”.
Ia mengaku perajin tempe sangat bergantung pada kedelai impor yang harganya terus merangkak naik. Ketika ditanya kenapa tidak memakai kedelai lokal? Sajian menjelaskan bahwa kedelai lokal kurang bagus kualitasnya untuk produksi tempe. “Tidak bisa bertahan lama, dan sering terjadi kecelakaan produksi. Produksi tempe cepat basi, dan rasanya cepat pahit. Kedelai Impor stoknya selalu tersedia, sedangkan kedelai lokal stoknya tidak selalu ada,” jelasnya.
Untuk kelangsungan produksi perajin tempe, Sajian berharap kepada pemerintah untuk membantu mengembalikan harga kedelai kembali ke harga 6.500 per kilogramnya.
Secara terpisah Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Blitar, Wawan Widianto mengatakan kepada Ngopibareng.id, budidaya kedelai akhir-akhir ini terus merosot baik dari luasan lahan pun produktivitasnya. Walau ada target dari kementerian pertanian, melalui program Pajale, yaitu padi, jagung dan kedelai, tetapi dari analisa usahanya, kedelai merupakan tanaman alternatif terakhir setelah tanaman padi dan jagung.
Sebab produksi yang rendah dan politik tataniaganya yang tidak menguntungkan petani. Di Kabupaten Blitar, untuk budidaya padi dengan luasan 1 hektare jika menghasilkan tujuh ton dengan harga gabah kering dengan harga per kilo 4 ribu rupiah, sudah bisa menghasilkan 28 juta rupiah, sedang kedelai di Kabupaten Blitar rata-rata produksi hanya mampu menghasilkan 1,3 ton sampai 2,5 ton per ha. Kalau harga petani 6.500 rupiah saja, maka sangat tidak menguntungkan bagi petani.
Diakui oleh kepala dinas, di Kabupaten Blitar, luasanya tanaman padi akhir-akhir ini terus menurun. Tahun kemarin 2020, luasannya hanya 5.000 ha, padahal dua tahun sebelumnya bisa mencapai 10 ha. Mereka masih bertahan karena pola budidayanya tumpang sari, seperti di daerah Kecamatan Binangun dan Kecamatan Wates.
Sementara beberapa tahun lalu, April sampai Juni, masih ada yang menanam kedelai seperti di Kecamaan Sutojayan, kini sudah tidak ada yang menanam lagi.
Keadaan seperti inilah yang mengakibatkan bahan baku tempe dan tahu 90 persen harus impor. Diakuinya, dari segi kualitas, kedelai impor memang lebih baik dari pada kedelai lokal. Sementara, secara keberadaan, kedelai impor tidak ada permasalahan. Hanya saja, kenaikan harganya tidak bisa dihindari. Terkait penyebab mengapa kualitas kedelai impor lebih baik dibanding lokal, Wawan Widianto belum mengetahui dan mempelajarinya.
Sementara, untuk mengatasi kualitas tanaman, ia berharap petani menggunakan pola tanaman organik. Selain biaya produksi lebih murah, kwalitasnya bisa lebih meningkat.