Hanya Pancasila, Sistem Bernegara yang Jamin Kedaulatan Rakyat
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai sistem bernegara yang berdasarkan Pancasila sangat luar biasa. Karena menjamin kedaulatan rakyat dan menjamin kesejahteraan rakyat.
Hanya saja, ia menyayangkan karena sistem tersebut telah bubar seiring dengan perubahan atau amandemen Undang-undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 lalu.
Hal itu disampaikan LaNyalla saat menjadi Keynote Speech Seminar Nasional Wawasan Kebangsaan, BEM Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Hasyim Asy’ary, Jombang, Sabtu 11 Maret 2023.
"Amandemen UUD 45 tahun 1999 sampai 2002 adalah kecelakaan konstitusi yang harus segera diakhiri dengan cara kembali kepada rumusan asli sistem bernegara dan sistem ekonomi Pancasila," kata LaNyalla yang saat ini sedang melaksanakan reses di Jawa Timur.
Menurut LaNyalla, konsepsi atau sistem bernegara Pancasila menempatkan para hikmat yang mewakili rakyat, baik dari unsur partai maupun non partai, termasuk utusan daerah dan utusan golongan berada di Lembaga Tertinggi Negara. Sehingga menjadi sistem yang berkecukupan. Kemudian Presiden berada di bawahnya atau disebut sebagai Mandataris MPR, alias petugas rakyat.
"Pada tanggal 18 Agustus 1945, para pendiri bangsa yang mayoritas adalah tokoh-tokoh agama dan ulama telah bersepakat, bahwa sistem politik yang paling cocok bagi Indonesia adalah sistem Demokrasi Pancasila. Yang merupakan sistem Syuro, dengan Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR, sebagai wadah penjelmaan seluruh elemen rakyat," paparnya lagi.
Begitu pula dengan sistem ekonomi Pancasila, yang pada hakikatnya adalah negara harus berkuasa penuh atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
"Ada pembagian yang tegas, antara wilayah public goods, yang mutlak harus dikuasai negara, dan wilayah commercial goods untuk swasta, serta irisan di antara keduanya yang menggabungkan kerja bersama. Sehingga terjadi proses usaha bersama atau yang sering saya sebut sebagai Public, Private, People, Partnership atau 4 P. Yaitu keterlibatan yang jelas antara negara, swasta dan masyarakat dalam aktivitas ekonomi," tuturnya.
Menurutnya, jelas bahwa air, hutan atau ladang, api atau energi, merupakan Infrastruktur penyangga kehidupan rakyat, yang tidak boleh dikomersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi perorangan yang kemudian menjadi bisnis pribadi.
"Namun yang terjadi saat ini, kedaulatan rakyat sudah diberikan menjadi kedaulatan Partai Politik di DPR RI, dan kedaulatan Presiden melalui Pilpres langsung. Sehingga rakyat Indonesia, sebagai pemilik negara ini tidak bisa berbuat apa-apa," ucapnya.
Lalu faktanya, kata LaNyalla, segelintir orang dapat menguasai dan menguras kekayaan alam Indonesia. Sementara ratusan juta rakyat hanya jadi penonton. Ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor penyumbang kemiskinan struktural.
"Belum lagi soal jumlah utang pemerintah yang meningkat jauh sejak awal tahun 2000 hingga sekarang. Bahkan tahun 2023 ini, pemerintah berencana menambah utang lagi sekitar 700 triliun rupiah. Artinya di akhir tahun 2023 nanti, akan menembus angka 8.000 triliun rupiah," bebernya.
Labih lanjut, LaNyalla meyebutkan bahwa semua ini terjadi karena hasil dari empat tahap perubahan UUD 45 telah mengubah 95 persen isi dari pasal-pasal UUD naskah asli yang dirumuskan para pendiri bangsa. Pasal-pasal dalam UUD hasil perubahan justru mencerminkan ideologi lain, yaitu Ideologi liberalisme dan individualisme. Sehingga ekonomi Indonesia perlahan tapi pasti menjadi kapitalistik.
"Oleh karena itu, mari kita kembali ke UUD 45 naskah asli. Kemudian kita adendum untuk perbaiki kelemahannya, agar kita tidak mengulang orde lama dan orde baru. Tetapi jangan kita mengubah total konstruksi bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa," paparnya.
Hadir dalam kesempatan itu Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH Abdul Hakim Mahfudz, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Muhadjir Effendy, Rektor Universitas Hasyim Asy’ary, Prof. Haris Supratno, Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol. Toni Harmanto, Presidium Nasional BEM PTNU, Wahyu Al Fajri dan segenap Civitas Akademika Universitas Hasyim Asy’ary.