Hanya Dua di Dunia, Gereja Merah Masuk Cagar Budaya
Kaum Kristiani dari Jemaat Immanuel di Kota Probolinggo biasa melakukan ibadah di Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, termasuk saat Hari Raya Natal yang jatuh Selasa, 25 Desember 2018.
Bagi Anda yang bukan jemaat, jangan khawatir, di sela-sela liburan panjang akhir tahun 2018, juga bisa berkunjung ke GPIB Immanuel atau yang popular disebut Gereja Merah.
Tentu bukan untuk beribadah, tetapi sebagai wisatawan yang mengagumi bangunan gereja yang hanya ada dua di dunia. Yakni, gereja di Denhaag, Belanda dan satu lagi Gereja Merah di Jalan Suroyo: 32, Kota Probolinggo.
Apalagi Gereja Merah merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Kota Probolinggo. Sehingga wisatawan tidak sekadar berjalan-jalan tetapi juga belajar sejarah masa lalu.
Dinamakan Gereja Merah karena nyaris seluruh bagian bangunan dicat merah. Merah bagi jemaat gereja, kata Pendeta Gereja Merah, Ribka Yuneri Atalaka, bermakna filosofi darah Yesus Kristus, yang tumpah untuk menyelamatkan dosa-dosa manusia.
Gereja Merah di Kota Probolinggo ini sudah ada pada masa pendudukan VOC, di mana material bangunan didatangkan langsung dari Jerman. Hal itu tertera pada tulisan berbahasa Belanda di anak tangga pertama masuk gereja yakni, "Gebound Anno 1862" (Dibangun Tahun 1862).
Menurut catatan, Gereja Merah dibangun semasa Pendeta Patti Radjawane. Saat itu Walikota Probolinggo dijabat orang Belanda, Ferdinand Edmond Meyer.
Dibandingkan "saudara kembar"-nya di Belanda, Gereja Merah menjadi semakin langka karena masih difungsikan sebagai gereja (rumah ibadah). Sementara gereja serupa di Denhaag, Belanda sudah beralih fungsi menjadi sebuah bar.
Gereja peninggalan zaman Belanda ini, dibangun dengan gaya arsitektur Gotik. Hampir semua bagian gereja terbuat dari besi dan seng. Hanya beberapa bagian saja seperti pelapis dinding terbuat dari kayu.
Sedangkan kerangka bangunan yang memiliki luas sekitar 150 meter persegi dan tinggi 12 meter ini seluruhnya terbuat dari besi yang disambungkan dengan mur dan baut.
"Awalnya saat dibangun, warna cat gereja adalah putih. Bentuk bangunan yang segitiga merupakan gambaran Trinitas, yang berarti Allah Bapa, Allah Putra, dan Roh Kudus. Sementara fungsi menara sebagai tempat lonceng penanda waktu ibadah," ujar Pendeta Ribka.
Dalam perjalanan waktu, warna putih diganti menjadi merah sehingga kemudian gereja itu dipredikadi Gereja Merah. Cat merah itu selain untuk mencegah karatan (korosif) juga untuk mempercantik gereja.
Bagian dalam Gereja Merah tidak kalah menariknya. Terdiri atas tiga ruangan yakni, ruangan utama jemaat gereja, ruangan pastori gereja, dan ruangan penyimpanan barang bersejarah.
Gereja Merah menyimpan sejumlah benda bersejarah yang masih berfungsi hingga kini. Di antaranya, alat-alat Perjamuan Kudus, cawan, dan seloki dimana seluruhnya dibuat tahun 1868. Selain itu, ada juga Al Kitab yang masih menggunakan bahasa Belanda kuno dan ditulis pada tahun 1818 hingga 1819.
"Keunikan lain, Gereja Merah terletak pada konstruksinya yang bia dibongkar-pasang atau knocked down," ujar Pendeta Ribka. Dikatakan konstruksi bangunan gereja sengaja dipesan dari Jerman oleh negara Belanda, dengan biaya sekitar 15 ribu gulden.
Semasa pendudukan tentara Jepang, Gereja Merah pernah difungsikan sebagai gudang senjata. Setelah Indonesia Merdeka, gereja kembali difungsikan sebagai rumah ibadah.
Meski sering dikunjungi wisatawan, pihak Gereja Merah tidak pernah memasang tarif alias gratis. Sejumlah pengunjung bahkan biasa berswafoto di depan Gereja Merah.
"Gereja Merah benar-benar langka dan unik. Karena termasuk bangunan cagar budaya maka harus dijaga kelestariannya," ujar Kristiana, 23 tahun, pengunjung dari Surabaya.
Biasanya di Hari Raya Natal, kunjungan wisatawan ke gereja yang bisa menampung 200 jemaat itu meningkat tajam. Ratusan wisatawan lokal Probolinggo dan dari luar kota tampak mendatangi gereja yang berhadap-hadapan dengan Gedung DPRD Kota Probolinggo itu. (isa)
Advertisement