Politisisasi Jenazah Bikin Nenek Hindun ''Hidup Lagi''
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta telah memasuki babak baru yang menyesakkan Pertarungan antar kandidat dan tim sukses sudah malampaui batas-batas normal. Segala cara dilakukan untuk meraih kemenangan. Tidak hanya melibatkan mereka yang masih hidup dan punya suara, tapi juga mereka yang sudah mati.
Jenazah pun menjadi isu politik. Ibu Hindun, 78 tahun, yang meninggal Selasa (7/3) lalu, seakan masih hidup sampai sekarang. Ini gara-gara namanya menjadi sumber fabrikasi isu politik di DKI. Ibu tua miskin yang tinggal di gang kecil Jalan Karet Karya II, Setia Budi Jakarta ini menjadi viral dan bahasan nitizen hanya karena disalatkan di rumah. Tidak di mushalla.
Mulanya adalah pemberitaan Tabloidbintang.com. Tabloid entertainment itu memberitakan dengan judul ''Jenazah Nenek 78 Tahun Ini Dilarang Dishalatkan di Mushala Karena Semasa Hidupnya Mendukung Ahok''. Berita itu terbit Jumat, 10 Maret 2017, jam 05.45,08 WIB.
Melalui akun facebooknya, Redpel Tabloidbintang.com Tubagus Guritno mengakui dialah yang pertama kali mengangkat kasus nenek Hindun. ''Nenek Hindun adalah nenek dari kakak ipar saya,'' kata pria yang juga dikenal pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot ini.
Sambil mengatakan bahwa berita itu bukan isu, bukan fitnah, bukan profokasi, tapi fakta, ia meminta agar polemik tentang janazah nenek Hindun ini dihentikan. ''RT, RW, Ustad...Semua ngeles setelah isu ini diangkat media mainstream dan media sosial,'' tulisanya dalam huruf kapital di FB-nya.
Sejak sepekan isu ini memang menggelinding bak arus banjir. Tidak hanya orang biasa yang ikut andil memviralkan berita tersebut. Seorang tokoh media sekelas Gunawan Muhammad ikut menshare berita itu lewat twitternya. Juga diikuti para aktifis dari berbagai kalangan, terutama para pendukung calon gubernur petahana ini.
SALING BALAS
Tiada asap tanpa ada api. Pepatah ini cocok untuk menggabarkan sumber polemik tersebut. Sejak putaran kedua Pilkada DKI yang menyisakan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Ahok-Djarot, pertarungan memperebutkan DKI satu itu terasa makin liar. Segala amunisi seakan digunakan untuk menjatuhkan lawan.
Isu Ahok sebagai penista agama terus mewarnai berbagai lapak medsos dan media online. Juga dalam bentuk spanduk-spanduk. Saat putaran kedua, spanduk larangan menshalatkan jenazah penista agama pun bertebaran di kampung-kampung Jakarta. Juga di beberapa mushala.
Karena itu, ketika nenek Hindun meninggal dan hanya disalatkan di rumahnya, seakan menjadi peluru baru untuk menyerang penentang Ahok. Kebetulan, musala dekat rumah nenek Hindun juga ada spanduk larangan tersebut. Inilah yang kemudian menjadi penyulut sekam yang sudah terbakar.
Tapi betulkah nenek Hindun tidak dishalatkan? Tentu tidak. Sebab, dalam Islam mengurus jenazah hukumnya fardu kifayah. Yakni kewajiban kolektif yang kalau tidak ada yang melakukan, seluruh umat Islam berdosa. Pasti, jenazah nenek Hindun diurus oleh ummat Islam.
Ustad Syafi'i yang mengurus jenazah nenek Hindun mengakui kalau jenazah memang tidak dishalatkan di Musala. Alasannya karena waktunya sore setelah ashar. Dan kondisi Jakarta sedang dalam mendung tebal mau hujan. Juga waktunya mepet karena harus dikuburkan.
Tapi, tak pelak, kebijakan ustad yang dilapangan ini telah menjadi amunisi untuk men-downgrade para penentang Ahok. Dan ini berarti juga mendown-grade pasangan Anies-Sandi. Maka yang terjadi adalah perang down-grade antar pendukung pasangan berlalu lalang di depan kita.
Maka, nenek Hindun seakan tetap hidup meski sepekan sudah meninggal. Ia jadi pembicaraan politik melampaui batas-batas wilayah Jakarta. Ada yang menyesalkan ada yang membela. Jenazah nenek Hindun pun jadi alat politik dalam pertarungan pemilihan gubernur di Jakarta.
Politisi nenek Hindun telah melengkapi model down-grade lawan yang mewarnai perjalanan Pilkada DKI. Mulai dari yang halus sampai dengan cara kasar lewat kriminalisasi kandidat maupun pendukungnya. Bisa ngelus dada menyaksikannya.
ADAB POLITIK
Menurut saya, tanpa harus memihak mana pun, politisasi jenazah merupakan perbuatan yang tidak beradab. Politik memang seni berebut kekuasaan. Dan setiap kontestasi selalu berusaha saling menjegal lawan. Namun karena politik itu juga menyangkut kepentingan publik, seharusnya ada batas-batas yang boleh dan tidak.
Lalu siapa yang bisa mengendalikan apa yang boleh dan tidak dalam pertarungan tersebut. Selain aturan-aturan formal, tentu norma-norma sosial yang berlaku di antara kita. Norma yang telah disepakati yang apabila berkelanjutan akan disebut kebudayaan. Budaya politik atau peradaban politik.
Mengurus jenazah telah menjadi norma agama bagi penganut Islam. Karena itu, wajib dilakukan oleh sebagian. Kalau sudah ada yang melakukan, maka gugurlah kewajiban bagi lainnya. Makanya, ketika Ustad Syafii dan tetangga nenk Hindun telah mengurusnya, maka kewajiban umat Islam lainnya menjadi gugur karenanya.
Soal mengurus jenazah ini sebetulnya merupakan kewajiban agama. Jika kemudian masalah itu dipolitisasi, maka artinya juga telah terjadi politisasi agama. Saya sadar bahwa sejak awal, Pilgub DKI memang kental dengan isu agama. Juga kental dengan isu SARA. Dengan politisasi ini, maka menjadi tidak jelas mana pihak yang tidak menggunakan isu SARA dan mana yang tidak. Faktanya, dalam kasus Hindun, jelas-jelas semua pihak menggunakannya.
Kenyataan ini jelas membuat miris kita semua yang masih mempunyai akal sehat. Kita semua yang masih waras. Kita semua yang ingin melihat Indonesia bersatu dengan kepentingan bersama. Bukan saling menjatuhkan demi kemenangan para jagoannya. Bukan terseret dengan cara barbar hanya untuk memilih gubernur.
Para kandidat punya kewajiban moral untuk mengendalikan barbarisasi permainan politik di Indonesia ini. Mereka sudah harus melihat kepentingan yang lebih besar yakni keutuhan bangsa dan peradaban politik masa depan. Kalau memang punya jiwa kepemimpinan, mereka harus mampu mengendalikan para pendukungnya.
Para tokoh dan cerdik pandai juga punya tanggungjawab moral. Bukan malah menjadi kompor bagi jagonya masing-masing. Bukan malah menjadi penyulut api konflik dalam masyarakat karena ingin membela jagoannya. Seharusnya, para cerdik pandai itu justru menjadi pengendali moral sehingga politik masih dalam koridor moral dan peradaban yang luhur.
Nah, kalau sudah seperti ini kenyataanya, dari mana kita memulai? Saya tak punya lagi jalan untuk bisa diusulkan. Hanya bisa berdoa semoga situasi yang dalam koridor peradaban sudah tak terkendali ini tidak makin liar dan tak bisa diakhiri. (Arif Afandi)