‘Hantu’ CIA Dimunculkan Lagi, Ada Apa Ya..???
Belakangan ini, ramai beredar di media sosial telaah petinggi lembaga intelijen negara (semoga bukan HOAKS) yang intens menyalakan ‘lampu kuning’. Dinyalakannya ‘lampu kuning’ ini dimaksud sebagai peringatan dini adanya ancaman bahaya yang serius terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Digambarkan dengan cukup rinci bahwa sekarang ini tengah berlangsung intervensi negara asing terhadap kedaulatan kita sebagai bangsa yang merdeka. Hal mana terkait erat dengan pelaksanaan pesta demokrasi 2024.
Benarkah demikian adanya? Jawabannya bisa YA dan bisa TIDAK. Karena penggelontoran isu sensitif ini bisa dibaca hanya merupakan bagian dari ekspresi ketidakyakinan diri bahwa Pemilu-Pilpres 2024 akan berjalan sesuai harapan. Dengan kata lain, calon yang dijagokan berada dalam kondisi masih belum pasti 100% bakal keluar sebagai pemenang (???). Sebaliknya, bisa sangat masuk akal juga bila sikap negara Uncle Sam yang sangat anti Cina, via lembaga CIA-nya melakukan manuver politik. Tujuannya agar Calon Presiden yang diusung partai dan pemimpin negara yang di mata Amerika terindikasi sangat pro Cina, wajib dihadang jangan sampai keluar sebagai pemenang dalam Pilpres 2024.
Dalam kesimpangsiuran teori konspirasi di atas, entah mengapa dalam perenungan panjang yang saya lakukan, justru rangkaian peristiwa Gerakan Reformasi yang terjadi di tahun 1998, secara flashback kembali hadir memenuhi benak yang cukup menyesakkan dada ini. Ada rasa trauma yang begitu tajam menghujam pikiran. Perasaan tak nyaman ini dipicu oleh campur aduk hadirnya teori konspirasi di atas dengan perilaku para petinggi negara pengelola perekonomian nasional yang belakangan ini sangat aktif menebar berita gembira seputar prestasi capaian ekonomi nasional. Justru dalam situasi Indonesia yang sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Akan hal ini, saya jadi teringat kenangan sebuah percakapan dengan almarhum Om Cum, begawan ekonomi Indonesia, Profesor Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto. Beliau sempat berpesan menjelang terjadinya pergantian rezim Orde Baru ke rezim Reformasi…"Jangan pernah melupakan bahwa penilaian terhadap kualitas kehidupan nyata mayoritas rakyat sehari-hari, harus menjadi acuan utama. Bukan deretan angka-angka statistik yang digelontorkan oleh para petinggi pengelola perekonomian negara belakangan ini…” Pesan ini disampaikan kepada saya, ketika saat itu Indonesia dalam keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Nah, belakangan ini pun, di saat Indonesia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja, para menteri dan menko perekonomian, bahkan Presiden sendiri, begitu gencar dan seringnya membanggakan capaian kerja pemerintah di sektor ekonomi yang serba prima dan membanggakan. Dengan gencarnya cerita sukses versi pemerintah ini, bermodalkan pesan Om Cum, saya jadi malah terdorong untuk lebih menukik mengamati realita kehidupan mayoritas rakyat dalam mengelola perekonomiannya.
Mengamati kehidupan nyata mayoritas rakyat di wilayah urban kota, perkampungan dan desa, kondisi perekonomian mereka ternyata tidak selalu berjalan paralel dengan cerita sukses ekonomi versi penguasa. Yang kasat mata justru kian melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Keluhan hidup makin susah pun, mulai terdengar cukup ramai di lingkar kehidupan mayoritas rakyat papan bawah.
Di sisi lain, capaian prima ekonomi nasional versi penguasa ini justru sangat terlihat nyata dan benar adanya dalam kehidupan masyarakat papan atas (kaum the have). Dapat dilihat dalam pola dan gaya hidup keluarga para pengendali perekonomian nasional. Lewat unggahan aktivitas mereka di media sosial, secara kasatmata dapat disaksikan pameran gaya hidup keluarga para taipan, para konglomerat hitam, para saudagar kelas kakap, dan keluarga para pejabat (terindikasi) korup yang ekstra serba ‘wah’.
Dengan realita ini, yang mengemuka dan sangat menyita konsentrasi pemikiran saya, justru malah masalah penegakan hukum yang berkeadilan dan kualitas penegakan keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, secara menyeluruh. Karena faktor inilah yang berdasarkan telaah saya berpotensi besar dapat mengundang hadirnya bencana nasional seperti kejadian di masa lalu.
Namun, walau belakangan ini keterhimpitan ekonomi sangat dirasakan mayoritas rakyat, situasinya sangat berbeda dengan kondisi menjelang jatuhnya rezim Orde Baru di tahun 1998. Saat itu Indonesia sebagai negara memang jatuh miskin, kehabisan persediaan dana. Sementara saat ini, negara cukup memiliki cadangan dana jauh di atas ‘garis merah’, alias tidak dalam kodisi yang perlu dikhawatirkan.
Setidaknya kebutuhan bahan pokok yang menjadi kebutuhan rakyat sehari-hari, tersedia cukup walau belum sepenuhnya memenuhi harapan rakyat secara maksimal. Sehingga menjadikan kondisi ekonomi sebagai pintu masuk terjadinya keresahan yang berpotensi mengundang kerusuhan, kemungkinan dan potensinya tidak terlalu signifikan. Economy ia not the main issue!
Kian melebarnya kesenjangan sosial antara masyarakat ekstrim kaya dan ekstrim miskinlah yang berpotensi sangat besar menjadi sumber terjadinya bencana nasional. Si miskin hidupnya semakin miskin, dan mereka yang sudah sangat kaya semakin bertambah kaya. Celakanya, si miskin tahu betul, bertambah kayanya mereka adalah hasil kolusi antara mereka sebagai pengusaha dan para punguasa korup.
Persekutuan jahat inilah yang menggerogoti hati dan pikiran. rakyat sebagai korban. Amarah terpendam pun menumpuk. Mereka semakin sadar, sistem politik, ekonomi, dan hukum, sepenuhnya tak berpihak pada mereka. Kemarahan rakyat pun kian membesar ketika menyaksikan dan merasakan langsung kejamnya praktik mafia para Oligark di segala bidang kehidupan. Paling terdepan adalah kemarahan massal terhadap praktik perampasan tanah, rumah, dan kebun milik rakyat oleh para mafia kepanjangan tangan para bos Oligarki. Mereka bekerjasama dengan lembaga dan individu penegak hukum di jajaran Kejaksaan, Kepolisian, dan Lembaga Peradilan. Setiap persoalan tanpa uang tak bakal ada penyelesaian.
Kedaulatan rakyat telah sepenuhnya digantikan oleh Kedaulatan Uang dan Daulat Tuanku. Rakyat pun telah sampai pada tahapan muak dan menjelang habis kesabarannya. Kondisi demikian inilah yang sebenarnya berpotensi sangat besar menjadi pemicu utama terjadinya kerusuhan (Amok) yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Jadi bukan seperti teori konspirasi yang digelontorkan oleh petinggi lembaga intelijen negara. Justru sistem politik, ekonomi, dan sosial yang salah dan yang kita pertahankan terus inilah faktor penyebab utamanya.
Misalnya; sistem Pemilu-Pilpres yang sangat sarat dengan ramuan politik perpecahan dan pemberangusann kedaulatan rakyat; sistem ekonomi yang hyper liberal kapitalistik; penegakan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas; dan semakin maraknya praktik mafia berikut kian kasat matanya penindasan aparat keamanan bayaran para cukong terhadap rakyat yang menuntut keadilan; dan lain-lain, masih banyak lagi!
Mungkin ada baiknya ikuti terus kasus Rempang! Untuk mengetahui realita sesungguhnya kualitas penyelenggaraan negara di wilayah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif selama ini, baik di tingkat pusat maupun daerah! Yah…sebenarnya, kita yang selama ini begini-begini terus inilah pemicu utama terbukanya pintu politik devide et impera-nya para pemecah belah rakyat, bangsa, dan negara. Sementara Amerika dan CIA-nya…ya memang begitulah adanya. Selama kita kuat dan bersatu, bisa apa mereka?!
Saran saya, sebaiknya sudahilah politik mencari kambing hitam dan upaya menciptakan ‘hantu’ di siang bolong! Hadirkan saja Clean government and Good governance…itu yang dituntut dan yang ditunggu rakyat. Rakyat sudah semakin cerdas mas, and my dear Lae… !
Dikutip sepenuhnya dari GBN.Top
*Erros Djarot, budayawan, tinggal di Jakarta.
Advertisement