Hannyjul: Kopi pun Perlu Sentuhan
Jangan dikira hanya yang bernyawa yang memerlukan sentuhan. Yang terlihat tak bernyawa pun memerlukan itu. Sen tu han! Percaya tidak? (Harus percaya dong agar tulisan ini juga nikmat dibaca laiknya menyeruput kopi, red).
Biji kopi misalnya. Dia seperti benda mati. Manut saja dia mau diapakan. Namun, sebuah sentuhan, akan menentukan dan mengubah biji kopi itu memiliki citarasa mendunia atau hanya sekadar partikel biji-bijian yang dihasilkan oleh pohon kopi.
Hannyjul orangnya. Bagi dia, biji kopi itu bukan benda mati. Bukan sekadar biji-bijian biasa. Dimasukkan mesin pemanas, dipanggang beberapa saat, dibiarkan matang, dikeluarkan dari mesin, lalu disuguhkan, selesai. Tidak demikian adanya!
Menurut Hannyjul, biji kopi itu biji istimewa. Bila mendapatkan sentuhan pas dan tepat, biji yang satu ini akan menjadi super istimewa. Sebagai minuman (jika itu dibuat minuman) tidak saja menawarkan aroma yang begitu menggoda, tetapi juga bercitarasa yang tiada duanya.
"Secara teknis, ketika biji kopi masuk ke dalam mesin penyangrai kopi, banyak variabel yang harus dicapai. Butuh kesabaran, ketelatenan, jam terbang, hingga analisis menyeluruh terkait obyek yang hendak disangrai. Bila semua tahapan ini sudah dilalui, 99 persen kopi akan sesuai selera," kata Hannyjul yang sehari-hari sebagai penjaga gawang sekaligus seorang Roaster di Mokhabika Coffee, di kawasan Ngagel, Surabaya.
Selera dalam kopi itu, kata Roaster ganteng ini, cukup identik dengan kopi enak. Jadi, 1 persennya, yang tertinggal dari 99 persen saat proses sangrai kopi, adalah subyektivitas para penikmat seduhan kopinya.
Kenapa terdapat subyektif dalam citarasa kopi? Bagaimanapun, lidah masing-masing orang tidak bisa diseragamkan. Tetap akan selalu berbeda untuk urusan citarasa kopi.
Sejauh ini, peran seorang roaster kopi tidak begitu nampak. Khalayak memahami kopi yang enak itu asalnya dari racikan tangan yang andal. Tangan yang andal itu identiknya adalah seorang barista kopi. Bukan dari tangan seorang roaster kopi.
"Boleh jadi, pandangan umum ini mengacu pada sistem bekerja masing-masing. Roaster kopi lebih banyak berada di belakang. Dalam ruangan khusus dan bergelut dengan mesin sangrai dan karung-karung kopi. Sementara barista setiap saat selalu di depan, di garis depan, saat pelanggan, penikmat kopi, pecinta kopi, datang ke tempat ngopi, coffee shop, atau apalah namanya untuk minta diseduhkan kopi," kata Hannyjul.
Seiring waktu pandangan umum ini juga akan bergeser. Bagi Hannyjul, andainya pandangan umum ini tidak bergeser, juga tidak menjadi masalah. Toh masyarakat makin hari tanpa sadar, atau bahkan secara sadar, sudah mencari kopi enak dengan sendirinya.
"Indikasi sederhana saja, serapan kopi produk Mokhabika makin hari juga main naik tinggi. Itu belum digabungkan dengan penjualan online yang membuat angka penjualan roasted bean Mokhabika terserap pasar secara luar biasa," kata Hannyjul.
Menjelang sore saat Ngopibareng.id bertandang di "dapur" sangrai Mokhabika, Senin, 8 Januari 2018, Hannyjul sedang menyangrai 15 kilogram biji kopi Aceh Gayo. Puluhan kilogram biji kopi jenis lain sudah tersangrai sebelumnya. Menunggu masa resting dengan ditempatkan di tong-tong khusus di dapur istimewa yang di dalamnya terdapat mesin sangrai Froco berkapasitas besar.
Semerbak khas aroma kopi yang terpanggang pada suhu tertentu membuat cuping hidung kembang kempis secara otomatis. Sementara Hannyjul tampak mondar-mondir antara komputer pengontrol yang terkoneksi dengan mesin sangrai.
Kali itu dia mengecek perubahan warna dan aroma pada kopi. Penuh rasa, penuh sentuhan. Bisa saja semua proses sudah otomatisasi, mesin canggih nan komputerisasi. Namun sentuhan berjiwa tetap miliki porsi besar agar kopi pun memiliki citarasa yang bermakna. (*)
Advertisement