Hangat Dibincangkan, Ini Pendapat Pakar Hukum Unair Terkait Aborsi Korban Rudapaksa
Perkembangan hukum di Indonesia bergerak dinamis menyusul negara-negara lainnya di dunia, khususnya mengenai peraturan hukum dan ketentuan yang mengatur mengenai tindakan aborsi.
Pakar Hukum Pidana Kesehatan Universitas Airlangga Dr. Riza Alfianto menjelaskan, dalam Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 telah mengatur mengenai tindakan aborsi, tetapi pengaturan aborsi bagi korban pemerkosaan atau rudapaksa belum diatur secara khusus di dalamnya.
"Tindakan aborsi dapat dilakukan dengan alasan kedaruratan medis, bahwa kondisi ini berarti terdapat benturan antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum, sehingga dapat menjadi alasan penghapus pidana,” ucapnya, Rabu 7 Agustus 2024.
Riza menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah mengatur perubahan mengenai tindakan aborsi bagi korban pemerkosaan atau rudapaksa.
Dalam Pasal 60 Ayat (2) huruf c Undang-Undang Kesehatan 17/2023, disebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan persetujuan dari perempuan hamil yang bersangkutan dan disertai juga persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.
“Maksud dari kecuali korban perkosaan yakni Undang-Undang hanya memperbolehkan aborsi apabila wanita hamil tersebut adalah korban tindak perkosaan, sesuai dengan syarat yang diatur Undang-Undang,” paparnya.
Dirinya juga menjelaskan, ketentuan mengenai persyaratan usia kehamilan yang dapat menerima tindakan aborsi terhadap korban perkosaan sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 463 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2023.
"Bahwa tindakan aborsi telah diatur ketentuannya bagi korban perkosaan dan dapat dilakukan ketika usia kehamilan tidak lebih dari empat belas minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis” terangnya.
Untuk dapat membuktikan tindakan aborsi sehingga dapat dipidana, peraih gelar magister hukum University Wollongong Australia tersebut menjelaskan, harus terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku aborsi dan matinya janin.
Bahwa dalam Pasal 428 Ayat (1) UU kesehatan 17/2023 membagi menjadi dua konsep yang berbeda, yakni tindakan aborsi dengan persetujuan korban dan tanpa persetujuan korban, keduanya dikenakan hukuman penjara.
“Tenaga medis yang melakukan tindakan aborsi di luar ketentuan undang-undang, akan mendapatkan hukuman yang lebih berat. Dijelaskan dalam Pasal 429 Ayat (1) UU Kesehatan bahwa tenaga medis dapat dihukum satu pertiga lebih berat dan dapat dikenakan sanksi pelanggaran etik profesi,” ungkapnya.
Oleh sebab itu sebagai akademi, Riza berharap pengaturan mengenai tindakan aborsi secara ilegal di Indonesia tetap dikategorikan sebagai tindak pidana.
“Aborsi secara ilegal merupakan tindak pidana, sehingga pelakunya harus dihukum sesuai tindakannya karena aborsi merupakan kategori dari tindak pidana pembunuhan,” jelasnya.