HAMKA tak Pernah Mati, Ini Penjelasannya
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA) merupakan sosok berumur panjang. Keabadian itu terwujud karena karya-karyanya. Ia terus dikenang orang, meskipun umurnya hanya 73 tahun. Ratusan karya telah ditelurkan oleh ulama kelahiran Nagari Sungai Batang, pada 17 Februari 1908.
Demikian kenang Nasir Tamara, yang dikuatkan Ahmad Syafii Maarif dalam acara Bedah Buku Adicerita HAMKA; Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern. Buku karya James R. Rush ini dibedah di Auditorium Masjid Ahmad Dahlan, Kompleks Islamic Center UAD pada Kamis (28/12/2017), dalam rangkaian acara Majelis Tabligh PWM Daerah Istimewa Yogyakarta bekerjasama dengan Majelis Pustaka dan Informasi PWM DIY serta Perpustakaan UAD. Selain Syafii Maarif dan Nasir Tamara, turut hadir Yunahar Ilyas sebagai pembicara.
Buya Syafii menyebut, Hamka merupakan sosok yang memberi pengaruh besar di dunia Melayu. Tafsirnya, Al-Azhar menjadi karya yang dinikmati jutaan orang. Melalui karyanya ini, Hamka memahamkan orang tentang Islam yang membebaskan, maju, ramah dan modern.
“Hamka seorang pemikir bebas,” kata Buya Syafii. Sejak kecil telah terbiasa dengan hidup yang keras. Buya Syafii bercerita tentang Hamka yang nakal, tidak menyelesaikan sekolah SD dan Tsanawiyahnya. Ketika di sekolah Thawalib, kata Buya Syafii, Hamka masuk kelas seenaknya. Namun, Hamka merupakan sosok pembelajar sejati. Secara otodidak, dia belajar dari kehidupan bahkan hingga ke Yogyakarta, Pekalongan, Medan, hingga ke Mekkah.
Hamka merupakan sosok yang hanya tunduk pada kebenaran dan akal sehat. Karena itu, Hamka membaca apa saja dan mempelajari pemikiran siapa pun. “Hamka membaca Nietzche, Sartre. Dia orang yang percaya diri, membaca apa saja,” ulasnya. Orang yang percaya diri dengan keyakinannya, tidak khawatir untuk mempelajari hal berbeda. “Hamka juga seorang pembela demokrasi,” ujar Syafii Maarif.
Buya Hamka merupakan sosok yang hormat dengan ayahny, Abdul Karim Amrullah, meskipun banyak berbeda pendapat dan mengkritiknya. Hal itu dikuatkan oleh Yunahar Ilyas. Menurutnya, Buya Hamka merupakan sosok yang awalnya kecewa dengan ayahnya, namun setelah pulang dari Mekah, Hamka menjadi dekat dan disayangi oleh ayahnya. Bahkan diberikan jubah khusus sebagai tanda pengakuan ayahnya terhadap Hamka yang dianggap sudah memiliki ilmu mumpuni.
Menurut Yunahar, kekecewaan Hamka muda dimulai karena ayahnya beberapa kali menceraikan istrinya dan menikah lagi. Selain juga karena sikap ayahnya terhadap Hamka. “Bapaknya keras terhadap anaknya dan Hamka kurang mendapat perhatian dari bapaknya,” katanya. Sehingga Hamka lebih dekat dengan sang kakek dari pihak ibunya.
Pada usia 16 tahun, kata Yunahar, Hamka merantau ke Yogyakarta dan di kota inilah wawasannya terbuka. Hamka kerap mengikuti ceramah-ceramah dari tokoh semisal Ki Bagus Hadikusumo hingga Cokroaminoto. Sosok lainnya yang sangat mempengaruhi Hamka adalah kakak iparnya di Pekalongan, AR Sutan Mansur. Buya AR Sutan Mansur pernah menasehati Hamka untuk teguh mempertahankan kebenaran, jika melanggar, maka akan disuapkan taik ke mulutnya.
Yunahar sempat menceritakan beberapa cerita anekdot tentang Hamka. Sebagai seorang anak yang belajar dari alam dan bergaul dengan siapa saja, Hamka memiliki sisi-sisi kemanusiaan yang humoris dan jarang diketahui orang. Terlebih sebagai penulis roman, kepekaan Hamka sangat terasah.
Dalam pandangan Yunahar, Hamka merupakan sosok penulis tafsir yang tidak lahir dari ruang hampa. Hamka lahir dari realitas, sehingga tafsirnya sangat hidup dan menyisipkan kisah-kisah kehidupan sehari-hari. “Hamka sebagai orang lapangan, bukan hanya penulis dari balik meja. Hamka paham realitas,” katanya. Hingga hari ini tafsirnya dibaca di seluruh dunia Melayu.(adi)
Advertisement