HAMKA Bagai Sumur Tak Habis Airnya Ditimba
Oleh : Ady Amar
Setelah Haji Abdul Karim Amrullah, atau biasa dipanggil dengan Haji Rasul selesai menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khotib al-Minangkabawy di Mekkah, selama kurang lebih dua tahun, ia balik ke tanah Minang. memimipin gerakan tajdid (pembaruan Islam). Menentang tradisi adat dan amalan tarekat.
Meski ayahnya sendiri, Haji Muhammad Amrullah, adalah seorang pimpinan Tarekat Naqsabandiyah. Sedang ibunya, Siti Tarsawa, seorang yang mengajarkan tari, nyanyian dan pencak silat.
Sang anak, Haji Rasul, memang "pemberontak" melawan tradisi yang dianggapnya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Sang ayah juga ibunya, tidak pula menentang ajaran pembaruan yang dibawa putranya. Ayahnya tetap dengan ajaran tarekat, dan tidak merasa terusik. Tampaknya mereka berdakwah bersamaan, meski tidak dalam satu perahu. Sejarah tidak mencatat adanya kisah persinggungan antara ayah dan anak dalam medan dakwah.
Sepulang dari Mekkah, menikahlah Abdul Karim Amrullah dengan Siti Shafiyah. Lahir anak lelaki pertamanya (17 Februari 1908), yang diberi nama Abdul Malik Karim Amrullah. Biasa dipanggil dengan nama kecilnya Abdul Malik, atau bahkan panggilan Malik saja.
Sebelumnya, Haji Rasul pernah menikah dengan perempuan bernama Raihana, yang meninggal saat ikut ke Mekkah bersamanya. Dari Raihana, Haji Rasul dikaruniai anak perempuan bernama Fatimah, yang kelak berjodoh dengan murid Haji Rasul sendiri bernama Sutan Mansur.
Aktivitas Haji Rasul dalam berdakwah tidak saja di desanya, tapi sampai ke Padang, bahkan sampai ke Padang Panjang. Itu bisa berhari-hari Haji Rasul meninggalkan anak dan istrinya.
Ketika Malik berumur 4 tahun, ia dititipkan pada kakek-neneknya di Tanah Sirah. Saat itu sang ayah, Haji Rasul, mengajak Siti Shafiyah, istrinya, ke Kota Padang. Di sana Haji Rasul di samping berdakwah, juga aktif menulis pada rubrik masalah-masalah seputar agama di majalah Al-Munir, yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1911. (Tim Historia, Hamka: Ulama Serba Bisa dalam Sejarah Indonesia, Jakarta 2018, Kompas Gramedia).
Kenakalan Malik Kecil
"Perasaan kepada Ayah jauh lebih banyak bercampur takut daripada kasih dan sayang," demikian pengakuan Hamka dalam buku memoarnya Kenang-Kenangan Hidup.
Dalam memoar yang ditulisnya itu kita bisa mengetahui kenakalan Abdul Malik kecil dengan tingkah polahnya yang di atas rata-rata anak-anak seusianya.
Saat dalam pengasuhan kakek-neneknya, Malik kecil dibebaskan bermain sesuka hati. Malik kecil merasa bebas "berekspresi" bermain sebebas-bebasnya. Acap didengungkannya syair-syair keindahan tanah Minangkabau pada Malik, juga cerita-cerita rakyat, seperti Cinduo Mato, Tupai Janjang, dan hikayat lainnya. Malik pun dikenalkan dengan seni pencak silat dan berpantun.
Tabiat Malik kecil adalah tabiat anak yang tidak mau mengalah saat bermain dengan teman-temannya. Semua teman harus mengikuti apa kehendaknya. Jika tidak, maka Malik akan mengganggunya, bahkan memukulnya, sampai sang teman mau ikuti apa yang dimauinya.
Saat usia Malik 6 tahun, saat ia sudah bisa memegang telinga dengan tangan yang dilingkarkan di atas kepala, Haji Rasul memboyongnya ke Padang Panjang. Malik dimasukkan ke Sekolah Desa. Ia berharap kenakalan Malik akan reda setelah bersekolah.
Harapan sang ayah tinggal harapan, bukannya Malik hilang nakalnya, tapi nakalnya justru makin menjadi-jadi. Bukannya rajin sekolah, tapi rajin bermain-main di sekolah. Akibatnya nilai pelajarannya jadi jeblok.
Sang ayah tidak putus asa menangani kenakalan sang anak. Agar fokus belajar dan tidak punya waktu bermain lagi, maka Malik dimasukkannya ke Diniyah School. Malik harus belajar di dua sekolah sekaligus setiap hari. Pagi sampai siang di Sekolah Desa, yang lebih menghususkan pada pelajaran umum, dan lanjut siang harinya sampai senja di Diniyah School mendalami ilmu agama.
Upaya Haji Rasul itu, tetaplah tidak "mujarab" untuk Malik, yang kenakalannya tidak bisa ditundukkan dengan kemauan sang ayah. Malik masuk sekolah sesuka hatinya. Dan jika masuk sekolah ulahnya mengganggu teman-temannya yang tengah belajar.
Malik acap menantang duel anak-anak yang usianya jauh lebih dari usianya, dan pastilah Malik kalah dan kadang mengucurkan darah, kalah dalam duel itu. Usahanya untuk mengalahkan anak-anak yang pernah mengalahkannya itu tidaklah pernah pupus. Malik terus menantang dan menantangnya.
Laku Malik itu buat orang sekampungnya jadi jengah. Buah-buahan, apa saja, milik tetangganya, selalu dijarahnya. Ulah Malik membuat Haji Rasul malu. Bagaimana tidak, sebagai ulama paling disegani banyak orang, tapi tampak sebagai orangtua yang gagal mendidik anak sendiri.
Haji Rasul dengan sabar tetap menasihati sang anak dengan "hati". Terkadang ia bercerita pada Malik, bahwa sejak anak-anak ia tidak pernah melakukan hal yang tidak disukai kakek-neneknya. Haji Rasul mengatakan, "Dirinya sudah jadi orang baik dan alim sejak masa kanak-kanak, kenapa engkau tak mencontoh Abuyamu untuk juga menjadi orang alim?"
Bukannya pertanyaan sang ayah dijawabnya, malah Malik balik bertanya, "Apakah di masa kanak-kanak Abuya tidak pernah bermain-main?"
Haji Rasul selalu mencoba menyabar-nyabarkan hati menghadapi ulah kenakalan Malik itu. Sampai pada batasnya ia tak mampu lagi mencegah untuk tidak memberi pelajaran sepantasnya. Inilah ceritanya.
Pada suatu hari di kampungnya datanglah seorang mantri kesehatan. Datang untuk mencacar anak-anak, agar tidak terjangkit penyakit menular. Mantri itu sudah sangat tua, memakai kacamata tebal, tanda matanya sudah agak rabun. Saat mencacar anak-anak, matanya dipicingkan dan mulutnya selalu mempeot-peotkan bibirnya. Malik memperhatikan dengan seksama sang mantri itu.
Keesokan harinya, Malik memanggil teman-temannya berbaris di depan halaman rumahnya. Hadir sekitar sepuluh anak. Dalam segi usia dan perawakan, tampaknya anak-anak itu lebih tua usianya dibanding Malik. Tapi mereka menurut pada Malik, jika tidak ingin dipukulnya.
Malik menggunakan kacamata dari daun pandan, yang sebelumnya ia minta kakeknya membuatkan. Lalu dia berlagak percaya diri bagai mantri kesehatan.
Dengan lagaknya itu, Malik mengenalkan diri pada kawan-kawannya bahwa dia sudah menjadi mantri kesehatan. Dan akan mencacar anak-anak.
Malik sudah mempersiapkan duri daun limau sebagai alat untuk mencacarnya. Satu per satu anak-anak itu dipanggilnya, dan lalu "dieksekusinya".
Tidak ada yang berani memberontak, saat pangkal lengannya ditoreh dengan duri limau. Tidak ada dari anak-anak itu yang tidak menangis. Semua menangis karena pedihnya, bahkan ada anak yang pangkal lengannya mengeluarkan darah bercucuran. Malik menikmati apa yang dilakukannya, sambil lagaknya mempeot-peotkan bibirnya, menyerupai pak mantri, yang datang mencacar sehari yang lalu.
Malam harinya, sang ibu mengatakan pada Malik bahwa ayahnya memanggil dan menunggunya di surau. Dan saat Malik menghadap Abuya dengan diantar ibunya, ada dua orang tamu yang duduk di sebelahnya.
Lalu mulailah interogasi dilakukan. Ditanyanya apa benar ia melakukan pencacaran pada anak-anak dengan duri limau. Malik menganggukkan kepalanya. Lalu tanpa bertanya lagi ayahnya mengambil tongkat kayu, lalu kaki Malik diminta diselonjorkan. Haji Rasul mengangkat tinggi-tinggi tongkat itu, saat akan dipukulkan, Malik menjerit, "Ampun Abuya! Ampun..."
Lalu Haji Rasul mengangkat lagi tongkatnya, tanpa mempedulikan iba sang anak. Sekali lagi diangkatnya tongkat itu tinggi-tinggi, dan hampir dipukulkan ke kaki sang anak, tiba-tiba dua lelaki yang duduk di sebelahnya mencegahnya. "Dia sudah minta ampun, Engku Haji. Dia sudah minta ampun."
Karenanya, Haji Rasul menghentikan memukul Malik, sambil suara tangis Malik sesenggukan memenuhi surau itu. Lalu sang ayah mengatakan, "Apakah engkau akan ulangi kenakalanmu itu? Ayo cepat pulang ke rumah, lalu mandi..."
Di jalanan pulang menuju rumahnya, sang ibu menasihatinya agar Malik tidak berlaku nakal lagi. Dan Malik tetap sesenggukan tak henti-henti dengan air mata jatuh berlinangan.
Perjalanan ke Tanah Jawa
Tahun 1924, Malik melakukan perjalanan ke tanah Jawa, selama kurang lebih setahun. Keinginannya ke Jawa, terutama agar bisa bertemu guru bangsa, HOS Tjokroaminoto, pendiri gerakan Sarekat Islam (SI). Tentu, ia juga ingin menemui kakak iparnya, Sutan Mansur, yang tinggal di Pekalongan. Sutan Mansur menikah dengan Fatimah kakaknya, yang lain ibu.
Di Yogyakarta, Malik tinggal di rumah pamannya, Haji Ja'far Amrullah. Pamannya itu yang mengajaknya ngaji Tafsir Baidhawi, kitab tafsir berbahasa Melayu (Kawi), yang diasuh oleh Ki Bagus Hadikusumo.
Pada awalnya Malik enggan untuk mengikuti sang paman, karena di dusunnya dulu dia sudah ngaji Tafsir Al-Manar, karya Muhammad Abduh.
Beberapa kali ngaji bersama Ki Bagus, Malik sadar bahwa selama ini dirinya hanya diajar membaca matan tafsir, yang tidak boleh salah nahwunya. Sedang yang diajar Ki Bagus lain, dimana pengajaran diberikan untuk memahami maksud yang terkandung di setiap ayat Al-Qur'an yang dibacanya.
Selanjutnya, sang paman mengajaknya mengikuti pengajian yang diadakan Sarekat Islam, masih di Yogyakarta, di mana setiap yang mengikuti majelis pengajian itu haruslah sebagai anggota. Dan menjadi anggota SI salah satu syaratnya harus berumur minimal 18 tahun. Saat itu Malik baru berusia 16 tahun. Keinginan yang sangat untuk mengikuti majelis Sarekat Islam dan bertemu idolanya, Tjokroaminoto, tidak dapat dibendung sampai Malik harus "memalsukan" umurnya menjadi 18 tahun.
"Hati saya belum merasa benar-benar puas jika belum mendapat kursus dari Tjokroaminoto sendiri," kata Hamka, seperti ditulis Hendri F. Isnaeni di buku Hamka: Ulama Serba Bisa dalam Sejarah Indonesia.
Setelah itu, Malik bisa mengikuti pelajaran di sekolah Sarekat Islam Pakualaman. Di sekolah itu Malik mendapat banyak ilmu dari tiga guru secara bergantian. Tjokroaminoto mengajar pelajaran Islam dan sosialisme. Guru kedua, Raden Mas Soerjopranoto, memberi pelajaran sosiologi. Guru ketiga, Haji Fachruddin yang mengajar seluk beluk agama Islam. (Hamka, Kenang-Kenangan Hidup).
Malik menyebut tiga gurunya di Sarekat Islam itu orang-orang pergerakan yang luar biasa, yang berhasil menyajikan ajaran Islam dengan cara baru. Banyak pelajaran agama yang didapatnya, tapi yang diberikan itu belum pernah didapatnya saat mengaji di surau kampung halamannya.
Setelah itu Malik melanjutkan perjalanan ke Pekalongan menemui kakak iparnya, Sutan Mansur. Sekitar 9-10 bulan Malik "menimba" ilmu dari Sutan Mansur yang telaten mengajarkan pelajaran-pelajaran agama yang sebenarnya sudah ia dapatkan dari Haji Rasul. Hanya saja Malik saat itu kurang konsen dalam belajar, lebih banyak bermain-main. Maka di Pekalongan itulah Malik mengulang dan memperdalam agamanya dari Sutan Mansur.
Di Pekalongan, Malik bertemu dengan dua orang pergerakan, dan menjadi sahabatnya, Osman Pujotomo dan Iskandar Idris. (Ustad Iskandar Idris adalah murid Syekh Ahmad Surkati di Batavia, yang sejak tahun 1921 dikirim ke sekolah Al-Irsyad Pekalongan untuk mengajar mata pelajaran agama. Syekh Surkati memang mengirim murid-muridnya sebagai guru agama ke cabang-cabang Al-Irsyad).
Tahun 1925 Haji Rasul datang ke Jawa, tentu ke Pekalongan. Datang ingin melihat anak lelakinya, Malik, dan dilihatnya sikapnya yang lebih tenang dan matang. Dimintanya Malik untuk pulang, membantunya berdakwah di Sumatera.
Haji Rasul sepulang dari Jawa (1925), bersama menantunya Sutan Mansur, berhasil mendirikan Muhammadiyah di Maninjau. Lalu mendirikan Sekolah Tablig Muhammadiyah di Padang Panjang.
Di tahun 1925 itu, Malik melamar menjadi guru di Sekolah Muhammadiyah, di Deli. Malik tidak diterima mengajar di sana karena ia tidak memiliki ijazah formal yang dimungkinkan. Tentu Malik kecewa.
Maka di tahun 1927, Malik melakukan perjalanan ke Mekkah, berhaji sambil berniat bermukim di sana guna menimba ilmu. Sebelum musim haji berlangsung, Malik belajar Sejarah Islam, dan juga sastra secara otodidak.
Untuk menghidupi diri di sana, Malik bekerja di percetakan Syaikh Hamid bin Majid Kurdi. Di percetakan itu, Malik punya kesempatan membaca banyak buku, di antaranya karya Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Juga buku-buku pergerakan Islam, karya Syaikh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Malik khusyu' mendalami pemikiran-pemikiran Syaikh Jamaluddin Al-Afghani, melalui karyanya Al-A'mal Al-Kamilah.
Malik pun mendalami sebuah kitab yang dikarang oleh Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, guru ayahnya, berjudul Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin.
Malik sebenarnya ingin bermukim selamanya di Mekkah. Ia betah di sana. Tapi pertemuannya dengan Haji Agus Salim, memupuskan keinginannya itu. Nasihatnya pada Malik, "Negerimu lebih membutuhkanmu."
Berhidmat pada Muhammadiyah, dan Partai Masjumi
Sepulang dari Mekkah di akhir tahun 1927, Malik sudah bergelar haji. Namanya lalu menjadi Hamka, kepanjangan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Hamka aktif dalam persyarikatan Muhammadiyah. Hamka dan Muhammadiyah tak terpisahkan hingga akhir hayatnya. Tahun 1928, Hamka mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.
Pada tahun 1931, menjadi konsulen Muhammadiyah di Makassar. Tahun 1946 terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, menggantikan SY Sutan Mangkuto.
Dan pada tahun 1953 diangkat sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bahkan namanya diabadikan pada universitas milik Muhammadiyah di Jakarta, UHAMKA.
Di tahun 1955 diangkat sebagai anggota konstituante dari partai Masjumi, hasil pemilihan umum tahun 1955.
Hamka aktif di partai itu sampai partai Masjumi dibubarkan rezim otoriter Soekarno, di tahun 1960. Saat itu partai Masjumi diketuai Prawoto Mangkoesasmito.
Setelah itu Hamka tidak pernah lagi cawe-cawe dan berdekatan dengan politik. Ia aktif berdakwah di markasnya, masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Sambil menerbitkan Majalah Panji Masyarakat. Majalah yang terbit seumur jagung, dibreidel karena memuat tulisan Mohammad Hatta, berjudul Demokrasi Kita.
Di tahun 1964-1966, Hamka ditahan tanpa ada bukti melakukan pelanggaran oleh rezim Soekarno, konon atas hasutan PKI. Dan di sanalah dalam kondisi sakit, Hamka menyelesaikan karya monumentalnya Tafsir Al-Azhar.
Hamka dan Karya-karyanya
Bisa jadi belum ada penulis yang jumlah karyanya menandingi jumlah karya buku yang ditulis Hamka.
Belum ada pula penulis negeri ini yang karya dan pribadinya ditulis sebanyak Hamka. Hamka dan karyanya, dibicarakan dan ditulis tidak saja penulis dalam negeri, tapi juga manca negara. Entah pula sudah berapa banyak tesis dan disertasi yang ditulis membahas Hamka dan karyanya.
Karya buku yang dihasilkan Hamka, tidak kurang dari 120 judul buku dengan tema beragam: Tafsir Al-Qur'an, Fiqh (hukum Islam), Tarikh, Tasawuf, dan Sastra.
Buku karya Hamka dalam genre agama, di antaranya: Tafsir Al-Azhar (30 juz), Tasawuf Modern, Falsafah Ideologi Islam, Sejarah Umat Islam (jilid 1-4), Tasawuf Dari Masa ke Masa, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Keadilan Sosial dalam Islam, dan karya lainnya.
Sedang karya dari genre Sastra, di antaranya:
Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Dalam Lembah Kehidupan, Merantau Ke Deli, Margaretta Gauthier, karya Alexander Dumas Jr. (terjemahan), dan karya sastra lainnya.
Karyanya tentang biografi Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah, dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (diterbitkan ulang oleh Gema Insani Press), amatlah menarik. Di samping karya memoarnya Kenang-Kenangan Hidup.
Di buku Ayahku ini Hamka menulis kesaksiannya tentang kedekatan Haji Abdul Karim Amrullah dengan Syekh Ahmad Surkati. (Izinkan saya memuat utuh, kisah ulama dan guru bagi banyak pejuang kemerdekaan, yang keberadaannya kurang dapat perhatian selayaknya).
Begini kisah kesaksian Hamka...
Setelah pindah ke tanah Jawa, sangatlah rapat hubungan ayahku dengan almarhum Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad yang masyhur itu. Pertemuannya yang pertama dengan Syekh itu adalah di Pekalongan, pada tahun 1925 M. Ketika itu Syekh Ahmad Surkati masih sehat, dan matanya belum rusak.
Aku bertanya, ketika menziarahi beliau (ayahku) pada tahun 1944 M, "Siapakah ulama yang besar di sini menurut pandangan Abuya?"
"Hanya Syekh Ahmad Surkati."
"Tentang apa?" tanyaku pula.
"Dialah yang teguh pendirian, yang meskipun mata telah buta kedua belahnya, masih tetap mempertahankan agama dan mengatakannya dengan terus terang, terutama terhadap Pemerintah Jepang. Ilmunya amat dalam, pahamnya amat luas, dan hati sangat tawadhu."
Beliau bercerita, "Ketika mulai bertemu, aku tercengang melihat perubahan dirinya. Matanya, keduanya, telah buta.
Kemudian, aku bertanya, "Mengapa jadi begini?"
Dia menjawab, "Mula-mulanya yang sebelah, bertambah lama bertambah kabur sehingga meskipun telah diobat, hanya bertambah buta juga. Setelah nyata butanya yang sebelah itu, yang belum buta sangatlah sakitnya, rasa akan terbongkar karena sakit. Menurut advis dokter, hendaklah yang tinggal sebelah itu dicukil, baru hilang sakitnya. Karena tidak tahan menderita, aku biarkanlah dicukilnya (mata) yang masih nyalang itu, dan memang hilanglah sakitnya. Namun, mata hilang keduanya."
"Memang begitulah Belanda," jawabnya.
"Segala macam akal akan dipakainya untuk merusakkan orang alim. Bukankah Ibnu al-Hajj telah menulis dalam bukunya al-Madkhal, juz sekian halaman sekian, bahwa ilmu kepandaian ketabibannya pun akan mereka pergunakan juga untuk merusak agama Islam dengan menganiaya ulama-ulamanya."
Syekh Ahmad Surkati wafat satu tahun lebih dahulu daripada beliau (ayahku).
Buya Hamka dan karya-karyanya takkan lapuk dimakan zaman, dan pula takkan henti-henti dibicarakan, bagai sumur tak habis airnya ditimba.
Baguslah menyudahi tulisan ini dengan menyitir apa yang dikatakan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pada sepotong pengantarnya dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat, dengan memuji sosoknya,
"Jika ingin dirumuskan secara bersahaja, letak kebesaran Buya Hamka adalah pada kemampuannya menjadikan diri berharga dan berarti bagi aneka ragam manusia melalui sikap yang sangat positif dan konstruktif. Ia menghargai manusia lain secara tulus."*
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Â
Advertisement