Hamil, Abu Nawas Hendak Melahirkan, Siapa Jadi Dukun Beranak?
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).
Sudah tujuh bulan Abu Nawas tidak kelihatan batang hidungnya di Istana. Ini membuat Sultan Harun Al-Rasyid rindu berat. Hati Baginda masygul. Suasana Balairung jadi lengang. Sunyi senyap.
Sejak dilarang datang ke Istana oleh Baginda, Abu Nawas memang benar-benar tidak pernah muncul di Istana. “Mungkin Abu Nawas marah kepadaku,” pikir Baginda gelisah. Maka diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas.
“Tolong sampaikan kepada Baginda, aku sakit hendak bersalin,” pesan Abu Nawas kepada punggawa yang datang ke rumahnya atas suruhan baginda. “Aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengeluarkan bayiku ini,” kata Abu Nawas lagi sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.
“Ajaib benar,” kata Baginda dalam hati, setelah mendengar laporan punggawa setianya. “Baru hari ini aku mendengar kabar seorang lelaki bisa hamil dan sekarang hendak bersalin. Dulu mana ada lelaki melahirkan. Aneh..!"
Baginda Sultan benar-benar penasaran. Timbulkan keinginan untuk menengok Abu Nawas. Maka berangkatlah dia diiringi sejumlah menteri dan para punggawa ke rumah Abu Nawas.
Begitu melihat Baginda datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyambut dan menyembah kakinya, seraya berkata, “Ya tuanku Syah Alam, berkenan juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina dina ini.”
Baginda Sultan dipersilahkan duduk di tempat yang paling terhormat, sementara Abu Nawas duduk bersila di bawahnya. “Ya tuanku Syah Alam, apakah kehendak duli Syah Alam datang ke rumah hamba ini?" tanya Abu Nawas.
“Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu,” jawab Baginda menatap tajam Abu Nawas.
“Engkau dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak. Sejak zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar ada seorang lelaki mengandung dan melahirkan. Itu sebabnya aku datang kemari,” ucap Baginda memperjelas tujuannya menengok Abu Nawas.
Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
“Coba jelaskan perkataanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya?” tanya Baginda Sultan kemudian.
Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas. Konon, ada seorang raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembesar tersebut ke Istana. Ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil tanpa menikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh negeri.
Lagi pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut perintahnya lagi. Jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri, itulah tanda-tanda pengecut. Oleh karena itu harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, adapun dukun beranak yang ditunggu, adalah baginda kemari.
"Dengan kedatangan baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, yang dimaksud dengan bersalin adalah hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda,” tutur Abu Nawas.
Baginda kaget juga dengan cerita Abu Nawas. Tapi ia tak mau banyak berdebat. “Bukan begitu," kata Baginda Sultan dengan suara lunak. “Ketika aku melarang kamu datang lagi ke istana, itu tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok datanglah engkau ke istana. Aku ingin bicara denganmu. Memang di sana banyak menteri, tetapi tidak seperti kamu. Lagi pula selama engkau tidak hadir di istana, selama itu pula hilanglah cahaya Balairungku,” ujar Baginda mengakui pentingnya Abu Nawas.
“Segala titah baginda, patik junjung tinggi,” sembah Abu Nawas dengan takzim. Baginda Sultan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. Dan tidak seberapa lama kemudian Sultan pun kembali ke Istana dengan perasaan heran bercampur geli.