HAM pun Perlu Dimaknai dalam Pandangan Berkemajuan
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresiden, Siti Ruhaini Dzulhayatin, mengatakan, perlunya makna hak asasi manusia ditinjau dari pandangan berkemajuan. Sudut pandangan Muhammadiyah perlu ditampilkan dalam mewacanakan transformasi sosial masyarakat Islam.
Menurutnya, ada proses modernisasi Islam di Indonesia yang melahirkan dua organisasi besar Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Menurutnya, proses-proses memaknai islamic universal declaration of human right , tidak harus bertentangan dengan universal.
“Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengisi syariah, dengan pandangan-pandangan berkemajuan," tuturnya, dalam keterangan Rabu, 12 Februari 2020.
Sebelumnya, Siti Ruhaini Dzulhayatin berbicara tentang persoalan manhaj Islam berkemajuan dan hak asasi manusia(HAM) dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah yang bertajuk Islam Berkemajuan: Manhaj, Implementasi dan Internasionalisasi, yang berlangsung di aula GKB IV Universitas Muhammadiyah Malang, belum lama ini.
“Kita berterima kasih karena memiliki dua organisasi ini, karena mereka melakukan proses transformasi, sebab Islam itu mengakar di dalam sesuatu yang disebut etno religius sentrisme," tuturnya.
Transformasi ini, mengakar satu nilai-nilai etno religius tersebut, di negara-negara muslim. Melalui etno religius memunculkan pemimpin-pemimpin yang karismatik dan populis.
"Hal ini terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Jika membaca sejarah Walisongo, ini adalah gambaran etno religius yang memuncul pemimpin yang kharismatik,” jelasnya.
Di indonesia, lanjut Ruhaini, ketika berada dalam satu proses, menuju masyarakat modern yang masih dalam kolonialisasi. Ada politik etnis di situ, maka Islam mengalami suatu proses transformasi.
“Muhammadiyah lahir, kemudian Nahdlathul Ulama lahir, ini di dalam satu proses untuk proses mentransformasi etno religius sentrisme yang basisnya adalah populisme menjadi satu Islam yang modern, selanjutnya ini menjadi landasan tentang apa yang disebut nation state,” tuturnya.
Menurutnya, organisasi yang dikelola secara modern, ini sebetulnya mentransformasi solidaritas organik di dalam etno religi sentrisme menjadi solidaritas organik, kemudian ini menjadi basis citizenship.
“Jadi proses-proses inilah kita merasa sangat mendapatkan rahmat, ada transformasi nilai-nilai populisme yang berbasis etno religius sentrisme, menjadi etika-etika publik. Bahasanya Ibnu Khaldun, adalah satu proses asobiyah menjadi madaniyah,” terangnya.