Haluan Ideologi Pancasila, RUU yang Kontroversial
Terlepas dari pro dan kontra, Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) pada hemat saya adalah gagasan besar dari pemrakarsanya, yang saya tidak tahu siapa.
Betapa tidak, jika kita lihat dengan perspektif husnudz-dzan, penggagasnya tampaknya berniat ingin menjaga Pancasila dari himpitan berbagai tekanan ideologi yang tumbuh di tengah arus globalisasi. Namun kita tiba-tiba tersentak karena di dalamnya mengundang banyak kontroversi dan publik kemudian ramai mendiskusikannya.
Penyusun naskah akademik dan draft RUU HIP itu tampaknya tergesa-gesa. Sehingga apa yang disajikannya kurang tepat. Ini bisa dilihat dari hal yang paling elementer saja, yakni istilah “haluan” dalam kalimat “Haluan Ideologi Pancasila”. Secara semantik tidak tepat, karena Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah sebuah staats fundamental norm yang mengarahkan dan membimbing visi bangsa: jadi tidak perlu Undang-Undang yang levelnya lebih rendah, sebab hal demikian berarti akan #mereduksi.
Barangkali haluan yang dimaksud adalah arah pembangunan jangka panjang dan menengah. Jika ini yang dimaksudkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah satu-satunya lembaga yang mempunyai wewenang menafsirkan Pancasila agar bisa menjadi acuan pembangunan tersebut.
Tentunya apa yang akan dilakukan MPR itu mesti melalui proses diskursus Pancasila dan penyerapan aspirasi di masyarakat dan kajian akademik.
Dalam konteks seperti itu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebenarnya adalah institusi yang berperan sebagai jembatan antara MPR dengan masyarakat dalam diskursus ataupun sosialisasi tentang Pancasila. Dengan demikian, BPIP sesungguhnya lebih tepat di bawah MPR, bukan di bawah lembaga eksekutif. Dengan begitu, Pancasila akan terhindar dari kemungkinan “tafsir tunggal” dari pemerintah yang berkuasa, seperti pernah dituduhkan kepada pemerintah Orde Baru.
Memang, bila sudah menyangkut yang fundamental dalam bernegara kita, mestinya kita menyentil ketua MPR RI. Bagaimanapun peran leader akan tampak dalam visi misa yang di nahkodai. Jangan sampai haluan falsafah negara seakan-akan dan terkesan seperti proyek. Demikian di antara komentar publik.
Demikianlah. Memfungsikan MPR itu penting. Lembaga tertinggi yang bisa melerai ketika terjadi konflik seperti Pemilihan Presiden yang lalu yang hampir meledak. Idealnya selain DPD dan DPR (keduanya dipilih) plus utusan yang mewakili budaya (eks Keraton Nusantara) dan utusan ulama yang ditunjuk.
Di Inggris Majelis Tinggi (House of Lord) juga ditunjuk dengan aturan, asal jumlahnya terukur. Ini hanya ide. Coba sampeyan ikut mikir: HTI bergerak terus, meski sudah dibubarkan?
Ya, pada 8 Juni lalu, suatu sore, saya dikirimi oleh KH Mashuri Malik, draft RUU HIP dan saya sudah baca dua kali. Atas dasar itu, untuk sementara saya memberi beberapa catatan.
Pertama, Tidak dicantumkan TAP MPRS No 25 th 1966, tentang pembubaran dan pelarangan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Kedua, Dalam bab pokok pikirab, dicantumkan: Agama, Rohani, dan Budaya dalam satu baris. Hal ini mencerminkan pandangan sekularisme yang berlawanan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Mahaesa.
Ketiga, Dua butir diatas cukup bagi saya untuk mengambil kesimpulan, maksud baik membuat Haluan Ideologi Pancasila telah dinodai oleh dendam eks PKI.
Pendapat ini saya tujukan pada kalangan internal Nahdlatul Ulama untuk bersama sama mencermati. Sejarah tidak boleh terulang ketiga kalinya. Cukuup. Lebih baik DPR fokus menangani ancaman Corona.
Catatan Redaksi:
Ada sejumlah respon netizen atas gagasan Dr KH As'ad Said Ali tersebut. Made Dharsana, misalnya, berkomentar: "Saya sangat setuju pemikiran Kyai As'ad. Komunis tidak boleh muncul di R.I karena tidak mungkin dipersatukan dgn kekuatan mayoritas Islam Indonesia. Itu juga sama dgn kata almarhum ayah saya. Perihal kerjasama ekonomi dan teknologi sebaiknya kawan² cermat dan pertimbangkan untung-ruginya, dan saya setuju sabaar dan fokus pada hal ini seperti saran Kyai As'ad".
Agus Mulyana: "Agus Mulyana Kalangan NU harus mengawal RUU ini harus jangan sampai RUU ini ingin menghapus peran sejarah NU .. dan NU harus memberikan masukan yang tegas tentang larangan ideologi komunis bahkan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila perlu NU mendatangi DPR untuk beraudiensi memberikan masukan terhadap RUU ini".