Halim Iskandar, Politisi Kesatria Kelas Pendekar
MESKI baru akan berlangsung tahun depan, wacana pemilihan Gubernur Jatim telah melahirkan politisi kesatria. Politisi yang mampu mengukur kekuatan dirinya dan siap mengalah untuk menang.
Siapa dia? Gelar itu layak disematkan kepada Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) A. Halim Iskandar. Selain sebagai orang pertama di partainya kaum Nahdliyin di Jatim ini, ia juga Ketua DPRD di provinsi tempat lahirnya Bung Karno.
Kesatria adalah sebutan untuk seorang perwira yang gagah berani. Sikap yang menunjukkan kepemimpinan apa adanya. Yang mau menerima realitas dan menghadapi segala sesuatu dengan terbuka. Kesatria dalam politik tentu keberanian untuk mengambil sikap meski itu tidak menguntungkan dirinya sendiri.
Pak Halim --demikian ia biasa dipanggil-- telah menunjukkan dirinya kesatria ketika menerima perintah para kiai dalam soal pemilihan Gubernur Jatim. Sebagai ketua partai pemenang pemilu di Provinsi ini, ia sebetulnya sangat berhak untuk maju sendiri. Apalagi, jumlah kursi PKB di parlemen sudah cukup untuk memberangkatkan sendiri calon gubernur.
Pak Halim bukan tidak menginginkan maju sendiri. Ia telah mencoba "memasarkan" diri dengan berbagai cara. Sejumlah baliho dipasang di seluruh pelosok Jatim. Itu berlangsung sejak lama. Berbagai acara dan kegiatan juga didatangi untuk mengungkit popularitasnya. Singkatnya, ia sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari berlaga menjadi orang nomor satu di provinsi ini.
Tapi ia mengikis mimpinya tersebut saat para kiai sepuh yang menjadi panutan kaum Nahdliyin memintanya mengusung Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang juga sepupunya sendiri. Ia rela. Ia legawa. Pak Halim manut dan takdzim kepada para kiai sepuh yang dalam dunia pesantren memiliki kasta yang lebih tinggi. Di hadapan kiai, meski ia sebagai Ketua Partai dan Ketua DPRD tetaplah seorang santri.
Kekesatriaan Pak Halim juga terlihat lewat kesadarannya dalam menghitung peta politik. Ia menyadari upaya "memasarkan" dirinya tak menuai sukses. Upaya mendongkrak popularitas dan elektibalitas tak menuai hasil sesuai yang diharapkan. Seorang kesatria pasti mengukur kapan ia harus berlaga dan kapan harus menunda maupun mundur dari arena.
Dengan berseloroh ia megakui hal itu saat mendampingi Gus Ipul mendaftar sebagai cagub ke DPD PDI Perjuangan Jatim. "Ya saya sudah memasang baliho di mana-mana. Juga beriklan di media habis berapa saja. Tapi hasilnya belum memuaskan. Sesuai dengan pesan para Kiai, saya harus mengantar Gus Ipul untuk mengajak PDI Perjuangan bersama-sama," katanya.
Pak Halim memang tidak hanya kesatria menyerahkan haknya kepada Gus Ipul. Bahkan, ia rela mengantarkan Gus Ipul mendekati sejumlah partai untuk berkoalisi. Selain ke DPD PDI Perjuangan Jatim, Pak Halim juga antarkan Gus Ipul ke DPD Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Nasdem, dan PAN. Ia rela berbagi dengan partai lain meski sebetulnya partainya bisa merengkuhnya sendiri.
Langkah itu telah melahirkan sebuah paradigma politik baru. Yakni politik gotong royong. Politik musyawarah mufakat. Jika ia berhasil merajut berbagai kepentingan partai politik dalam satu langkah menghadapi Pilgub Jatim, maka ia bisa disebut sebagai pionir politik Gotong Royong. Ia akan menjadi perintis bahwa politik bukan saja sebagai ajang kontestasi, tapi juga kooperasi.
Disinilah Pak Halim menunjukkan dirinya tidak hanya seorang kesatria. Tapi juga seorang pendekar. Tampaknya ia menyadari betul adagium politic is the art, politik adalah seni. Seni tidak hanya untuk merebut kekuasaan, tapi juga seni merangkul calon lawan. Seni untuk memenangkan pertarungan. Seni berbagi untuk sebuah kemenangan.
Sebagai pemimpin partai, ia lebih mengedepankan partainya ketimbang dirinya. Dengan mengusung calon gubernur yang potensial menang, partainya lebih diuntungkan. Ia bisa lebih fokus mengkonsolidasikan partai untuk menghadapi pemilihan legislatif 2019. Ia bisa mengerahkan sumberdayanya untuk membesarkan partai ketimbang berjibaku untuk merebut kursi eksekutif untuk dirinya.
Hitung-hitungan politik itu saya kira benar. Mengapa? Sebab, selama ini, captive market PKB adalah NU. Dan kunci NU ada di pada kiai dan pesantrennya. Dengan memegang para kiai, PKB setidaknya akan bisa menjaga captive market yang telah dimiliki. Dengan demikian, sumberdaya yang dimiliki tinggal diprioritaskan untuk "mencuri" market pemilih di luarnya.
Peluang itu sangat besar. Salah satu survei terakhir yang tidak dirilis menunjukkan bahwa hanya ada dua partai politik yang elektabilitasnya di Jatim meningkat. PKB dan PDI Perjuangan. Sementara, partai-partai lain cenderung menurun. Melihat hal ini, langkah politik Pak Halim untuk mengalah bagi kepentingan dirinya, bisa menuai kemenangan untuk partainya.
Tetapi sekali lagi, politic is the art of posibilities. Politik adalah seni dari segala kemungkinan. Artinya, hitungan yang sudah benar tidak boleh membuat terlena. Kata almarhum Nurcholis Majid, perubahan politik bisa berlangsung dalam hitungan detik. Karena itu, waspada adalah kunciinya.
Yang pasti, Pak Halim kini sudah menorehkan jejak siapa dirinya. Ia adalah politisi kesatria sekaligus pendekar. (Arif Afandi)