Halal Bihalal Virtual, Intimintas Lebaran di Masa Krisis Covid-19
Dalam rangkaian Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Muslim Indonesia biasanya melakukan tradisi Halal Bihalal sebagai ajang komunal dalam bersilaturahim. Tradisi yang menurut catatan sejarah dicetuskan K.H. Wahab Chasbullah, seorang ulama besar Nahdlatul Ulama, ini telah dilaksanakan secara istikamah dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tradisi mulia ini dimaksudkan untuk merekatkan hubungan, mencairkan suasana, merajut kebersamaan, dan melepaskan berbagai konflik, mulai konflik politik, sosial, bahkan hingga konflik pribadi. Intinya, silaturahim dan keharmonisan sosial menjadi tujuan utama dari Halal Bihalal ini.
Meski dalam situasi masa pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19), semangat berhalal bi halal tetap demikian besar. Di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, telah dimulai kegiatan Halal Bihalal secara virtual persis di hari pertama masuk kerja, Selasa, 26 Mei 2020.
"Demikian juga sejumlah keluarga besar, komunitas, dan kerabat telah melangsungkan halal bi halal dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Ini artinya, substansi silaturahim tetap kita laksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan, menjaga jarak (physical distancing), serta menghindari kerumunan dan bersentuhan".
Demikian kata Suwendi, ASN pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, tentang intimitas Lebaran di masa Pandemi COVID-19.
Hal serupa pun dilaksanakan jajaran Redaksi Ngopibareng.id bersama tim manajemen, dengan melakukan Halal Bihalal virtual melalui rapat online via zoom pada Rabu, 27 Mei 2020, mulai pukul 09.00 hingga siang.
Dalam Halal Bihalal Ngopibareng.id, dipimpin langsung CEO Ngopibareng.id Arif Afandi, diikuti bersama Fatkhurohman Taufik (Redaktur Pelaksana) dan jajaran redaksi, serta manajemen Muh Hasan Bisri (General Manager), Faris Mujaddid Adinugroho (Head of IT & Social Media), Sawalin Setiyanggono (Finance and Marketing Manager), serta menyusul M. Anis (Chief Operating Officer).
Memang, Pandemi Covid-19 telah dan akan terus melahirkan kebiasaan new normal (normal baru). Kebiasaan yang semula bisa jadi dinilai kurang “sreg”, kini “dipaksa” untuk melakukannya. Namun, tidak mengurangi aspek substansi silaturahmi.
"Meminjam hukum kekekalan energi dalam disiplin fisika, jumlah energi dari sebuah sistem tertutup itu tidak berubah, ia akan tetap sama. Energi tersebut tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, namun ia dapat berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain.
"Dalam konteks halal bi halal, substansi silaturahim tetap terpelihara, meski dengan mekanisme pelaksanaannya yang berbeda-beda," tutur Suwendi.
Terminologi new normal diciptakan oleh Roger Mcnamee (2004), seorang investor teknologi paling sukses belakangan ini. Dalam karyanya, “The New Normal: Great Oportunities in Time of Great Risk”, ia menjelaskan lima belas aturan dalam berinvestasi agar dalam kondisi krisis tetap bertahan.
Istilah new normal ini menunjukkan sebuah situasi pasca krisis ekonomi (2007-2008) dan resesi global (2008-2012), yang di saat seperti itu harus ada kesediaan untuk menggunakan aturan yang baru dalam jangka waktu panjang.
Dalam konteks Covid-19, new normal (normal baru) menjadi suatu keniscayaan di Indonesia, baik pada aspek ekonomi untuk mencegah perekonomian yang semakin memburuk pasca diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun pada aspek sosial untuk mempatahankan dan meningkatkan imunitas kesehatan dan tubuh.
Semangat berhalal bi halal, dengan ala new normal sekalipun, sesungguhnya linier dengan jati diri manusia. Sebab, memang pada dasarnya, manusia diciptakan dalam “gen” ketergantungan terhadap orang lain. Keberadaannya tidak dapat berdiri tegak dengan ketersendiriannya. Membutuhkan bantuan dan partisipasi pihak lain menjadi ciri khas dari “gen” manusia.
Dalam Al-Quran Surat Al-'Alaq [96]: 2, ditegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dari al-‘alaq. Secara bahasa, menurut al-Raghib al-Ashfahani, al-‘alaq dimaknai al-tasyabbutsu bi al-syay`, (memegang sesuatu).
Dari makna ini, muncul pengertian bahwa al-‘alaq adalah sesuatu yang bergantung dan berdempet. Bisa jadi, bagi ilmuwan biologi, al-‘alaq difahami dengan sesuatu yang berbentuk darah beku yang berasal sperma kemudian bergantung dan melekat pada dinding rahim secara kuat. Atas dasar ini, dalam terjemahan Al-Quran, seringkali al’alaq diartikan dengan segumpal darah atau segumpal daging.
Akan tetapi, bagi para ilmuwan psikologi, al-'alaq lebih dipahami dengan “sifat ketergantungan”, karena memang pada dasarnya kata al-’alaq artinya bergantung/memegang kepada yang lain. Secara faktual, manusia tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan bantuan dan peran serta orang lain.
Dalam konteks silaturahim, memahami bahwa manusia diciptakan dari “sifat ketergantungan” tampaknya memiliki relevansinya tersendiri. Terlebih dalam tradisi halal bi halal, disadarkan akan hakikat kemanusiaan yang selalu menergantungkan kepada orang lain.
Silaturahim yang terdiri atas kata shilat (menyambung) dan al-rahim (kasih sayang), menunjukkan betapa manusia diminta untuk benar-benar kembali ke jati dirinya: membangun relasi sosial yang positif karena ia tidak bisa hidup secara sendiri.
Sehebat apapun seseorang, ia tidak mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan ketersendiriannya. Oleh karenanya, membangun hubungan harmonis antar sesama merupakan sebuah keniscayaan.
Dalam hadis qudsi, Allah berfirman: “Aku adalah al-Rahman (Dzat Yang Maha Pengasih). Dan kata al-Rahim (kasih sayang) itu dikeluarkan menjadi salah satu nama-Ku. Siapa yang menyambungkan kasing sayang (silaturahim), maka aku sambungkan ia dengan nama-Ku (al-Rahim) itu. Siapa yang memutuskan kasih sayang (silaturahim), maka aku putuskan ia dengan nama-Ku (al-Rahim) itu.”
Hadis ini mengungkapkan reward dan punnishment yang dijanjikan Tuhan bagi perilaku manusia. Kasih sayang Tuhan yang demikian besar hanya akan diberikan bagi manusia yang mau menjalin keharmonisan antar sesama, sementara bagi yang mengabaikan keharmonisan itu akan dijauhkan dari kasih sayang-Nya.
Syaikh Hafizh Hasan Al-Mas’udi, ulama Al-Azhar Mesir abad ke-20 M, dalam karyanya Taysir al-Khalaq, secara tuntas membahas etika silaturahim baik dengan orang tua, keluarga-kerabat, tetangga, dan dalam interaksi sosial antar sesama dengan demikian detail.
Menurutnya, rasa persaudaraan (al-ukhuwah) antara satu orang dengan orang lain harus mampu memunculkan kasih sayang yang mendalam (al-mawaddah). Untuk memunculkan itu, kita dituntut untuk memiliki sikap lapang dada, saling membantu baik secara materi, tenaga, maupun sikap batin, seperti memaafkan, ketulusan, dan kesetiaan.
Singkatnya, silaturahim dengan berbagai mekanisme dan cara, meski dalam situasi covid-19, tetap kita lakukan. New normal akan mengubah tentang cara dan bentuknya saja, sebagaimana hukum kekekalan energi, tetapi tetap menjaga substansi. Kasih sayang dan keharmonisan antar sesama tetap kita jaga, sebab itu adalah subtansi dan kebutuhan dari “gen” manusia, dengan mewujudkan halal bi halal yang diselaraskan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Selamat berhalal bi halal; semoga tetap sehat fisik dan suci batin. Amin.
Demikian renungan Suwendi, ASN pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag.
Advertisement