Halal Bihalal, Momentum Rujuk Politik
Lebaran mestinya bisa menjadi momentum untuk rujuk nasional. Menyatukan semua potensi bangsa untuk bersama-sama memajukan negeri ini. Mengurangi polarisasi politik yang bisa melahirkn disintegrasi.
Bukankah tradisi halal bihalal yang khas Indonesia pada saat Idul Fitri memang sengaja dibikin untuk itu. Menjadi momen besar nasional yang memungkinkan semua orang saling berkunjung dan saling maaf-memaafkan?
Ceritanya begini.
Suatu ketika Bung Karno berdiskusi dengan KH Wahab Hasbullah. Salah satu pendiri NU pencipta lagu Yalal Wathan. Lagu cinta tanah air yang sangat populer dilingkungan warga Nahdliyin. Yang selalu dinyanyikan setelah Indonesia Raya dalam setiap acara resmi.
Ketika Indonesia genting menghadapi disintegrasi dengan munculnya gerakan DI/TII dan PKI, Bung Karno mengundang Kiai Wahab ke Istana Negara. Itu terjadi setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Ketika kesadaran bersama untuk membangun negara bangsa yang baru sedang dibutuhkan.
Ia meminta pendapat kiai yang memang dekat dengan Presiden RI pertama ini untuk mengatasinya. Kebetulan saat itu sedang bulan Ramadhan. Maka, Kiai Wahab mengusulkan agar diselenggarakan silaturahmi nasional.
Yang melibatkan para elit politik. Pada saat lebaran tiba.
Namun Bung Karno tidak setuju dengan istilah silaturahmi. Itu istilah yang sudah biasa. Tidak ada yang baru. Yang menandakan momentum untuk menggerakkan semangat bersatu kembali. Semangat membangun integrasi bangsa yang baru berusia kurang lebih dua tahun.
Kiai Wahab lantas mengusulkan untuk menggunakan istilah halal bihalal. Yang artinya menghalalkan dosa-dosa masa lalu. Dosa perseteruan antar elit politik maupun elemen bangsa. Karena dosa itu sesuatu yang haram, maka perlu saling menghalalkan dosa antara satu dengan lainnya.
Deal. Bung Karno setuju dengan istilah halal bihalal. Maka keika lebaran tiba, ia menggelar silaturahmi nasional tang diberi judul halal bihalal di Istana Negara. Sejak saat itu, halal bihalal menjadi tradisi perhelatan silaturahmi setiap lebaran tiba. Menjadi forum untuk saling maaf memaafkan.
Apakah situasi politik sekarang sudah memerlukan momentum baru seperti ketika Bung Karno dan Kiai Wahab melahirkan gagasan halal bihalal? Tampaknya kurang lebih demikian. Polarisasi politik berbalut politik identitas masih terus mengancam keutuhan bangsa kita.
Tadinya saya membayangkan, makin tambah usia bangsa ini akan terbangun politik yang lebih rasional. Politik yang mengedepankan adu gagasan dalam memajukan dan mensejahterakan warganya. Bukan politik atas dasar basis-basis emosionalitas komunal.
Bahkan, saya pernah dengan yakin bahwa hanya butuh 3 kali pemilu paska reformasi politik untuk lahirnya keseimbangan politik baru. Sebuah tradisi politik yang berkeadaban. Politik yang mengedepankan gagasan-gagasan yang masuk akal dalam memenangkan percaturan.
Ternyata politik itu tidak berjalan linier. Politik bukan lorong panjang yang diujungnya langsung menyajikan cahaya terang. Ia bukan lorong yang berujung pada tanah lapang yang melegakan. Malah politik seperti lorong gelap tanpa ujung. Tidak jelas sampai kapan tujuan akan sampai dan ujung akan terlihat.
Lima kali pemilu demokratis digelar paska kejatuhan rezim otoriter telah digelar. Tapi politik berkeadaban belum bisa diwujudkan. Justru politik identitas masih terus mewarnai wacana politik kita. Kekerasan verbal dan fisik masih muncul dalam sampai sekarang.
Idiom-idiom politik belum mencerminkan ekspresi politik berkeadaban. Politik yang menjadikan arena percaturan “silat” yang indah untuk diikuti. Arena kontestasi yang enak ditonton dan dinikmati. Bukan seperti tarung bebas yang hanya memuaskan ekspresi kekerasan manusia yang terpendam.
Yang menyedihkan, idiom politik kebun binatang bertebaran dalam jagat pertarungan. Malah kelompok-kelompok politik yang bersaing mendapat sembutan nama binatang. Seperti cebong dan kadal gurun. Identifikasi kelompok politik yang untuk kepentingan pemilu yang berketerusan.
Polarisasi di akar rumput –dan sangat keras di media sosial– sudah demikian kerasnya. Meski elit yang didukung oleh kedua kelompok yang berseberangan ini telah bersama-sama. Telah bergandeng tangan dalam mengendalikan pemerintahan.
Ini mengindikasikan bahwa pembelahan tersebut bukan semata karena kontestasi dalam pemilu. Tapi ada agenda lain yang sedanh diperjuangkan oleh salah satu kelompok dari mereka. Terbukti belakangan muncul kembali aspirasi khilafah dalam sistem politik Indonesia.
Tentu konsolidasi politik masa lalu bukan hanya karena adanya tradisi halal bihalal. Namun, gagasan untuk selalu menyatukan semua elemen bangsa harus tetap menjadi spirit yang tak pernah padam. Merumuskan kembali konsolidasi politik secara lebih elegan.
Barangkali halal bihalal politik bisa menjadi momentum baru yang bisa diciptakan. Tapi harus tetap dalam landasan yang sama seperti ketika para founding father merumuskan sistem politik dan dasar negara kesatuan Republik Indonesia.
Bisa saja, ini menjadi gagasan otopis saat ini. Ketika masih ada sekelompok anggota bangsa yang menginginkan sistem di luar sistem politik yang telah menjadi konsensus bersama. Tapi menjadi realistik jika halal bihalal politik menjadi komitmen bersama melepas politik identitas.
Forum yang melahirkan wacana baru yang berorientasi menciptakan keadilan dan kemanusiaan dalam sistem politik kita. Menata kembali kultur politik baru yang lebih elegan. Membangun sikap dan perilaku politik yang lebih berkeadaban. Bukan menonjolkan pada kekerasan. Baik fisik maupun verbal.
Bangsa ini tak boleh mundur ke belakang. Tetap berkutat pada debat tentang sistem berbangsa dan bernegara. Saatnya mengisi sistem yang telah menjadi konsensus bersama ini dengan sesuatu yang bermakna. Merespon perubahan dunia yang makin cepat.
Masak tidak bisa? (Arif Afandi)