Hakim Tolak Keberatan Setya Novanto
Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta menolak keberatan mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi KTP Elektronik (KTP-E).
"Menimbang bahwa karena seluruh keberatan tim penasihat hukum terdakwa telah dipertimbangkan dan dinyatakan tidak dapat diterima, maka majelis hakim berpendapat, surat dakwaan penuntut umum nomor Dak 88/24/12/2017 tanggal 6 Desember 2017 telah
memenuhi pasal 143 ayat 2 huruf a dan b KUHAP, sehingga seluruh dakwaan sah menurut hukum dan dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara ini," kata ketua majelis hakim Yanto dalam sidang dengan agenda putusan sela di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 4 Januari 2018
Pada sidang 20 Desember 2017 lalu, Setnov melalui tim kuasa hukumnya yang dipimpin Maqdir Ismail mengajukan sekitar 12 keberatan yang diajukan, namun seluruhnya ditolak majelis hakim dengan suara bulat.
"Menimbang bahwa keberatan tim penasihat hukum tidak dapat diterima, maka pemeriksaan perkara ini harus dilanjutkan. pemerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan atas terdakwa Setya Novanto, menangguhkan biaya perkara hingga putusan akhir," ungkap Yanto.
Dalam persidangannya, majelis mempertimbangkan bahwa keberatan kuasa hukum Setnov mengenai nilai kerugian negara dalam dakwaan sudah masuk dalam pokok perkara sehingga tidak patut dipertimbangkan dalam putusan sela.
"Tim penasihat hukum menyebutkan kerugian negara dalam surat dakwaan terdakwa sebagai akibat `splitsing` surat dakwaan Irman dan Sugiharto serta Andi Agustinus, maka terlihat kerugian negara tidak pasti, tidak nyata sebagaimana dalam putusan MK.
Menimbang bahwa terhadap keberatan tim penasihat hukum, majelis tidak sependapat karena apa yang dikatakan ada perbedaan kerugian negara sesuai dengan perhitungan sebagaimana perhitungan dari BPKP dan kerugian negara yang tidak nyata dan tidak
pasti sudah memasuki ranah pokok perkara yang nantinya harus dibuktikan pada pokok perkara," kata anggota majelis hakim Anwar.
Sedangkan terkait keberatan mengenai hilangnya nama-nama yang menerima keuntungan dari proyek KTP-E di dakwaan Setnov yang berbeda dengan dakwaan terdakwa sebelumnya seperti Irman, Sugiharto dan Andi Agustinus, menurut hakim hal itu merupakan
kewenangna jaksa penuntut umum.
"Sejumlah pihak yang menerima sebelumnya dalam surat dakwaan Setya Novanto, nama-nama tersebut sudah tidak disebut adalah Melchias Markus Mekeng, Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Agun Gunanjar,
Mustoko Weni, Ignatisus Mulyono, Taufik Effendi, Teguh Juwarno, Rindoko, Abdul Hakim, Jamal Azis, Kapoksi Komisi II, Khotibul Umam, Marzuki Ali, 37 anggota komisi II dan Anas Urbaningrum. Terhadap keberatan itu tentunya tidak dapat majelis hakim pertimbangkan sebagai keberatan, karena yang diajukan sebagai terdakwa adalah mutlak kewenangan JPU, sedangkan terkait nama-nama yang hilang
tentunya tidak menyebabkan dakwaan batal demi hukum, karena tidak dicantumkan adalah sudah jadi
kewenangan dan tanggungjawab dari JPU," ungkap hakim Anwar.
Atas putusan itu, Setnov menyatakan akan mengikuti persidangan selanjutnya dengan tertib.
"Terima kasih, yang mulia, hakim ketua Pak Yanto, juga JPU beserta para penasihat. Kami sudah mendengarkan dan saya sangat menghormati dan saya akan mengikuti secara tertib," kata Setnov yang sudah tampak sehat.
Sidang selanjutnya direncanakan pada 11 Januari 2017. "Persidangan berikutnya diagendakan seminggu dua kali, Senin dan Kamis, tapi diawali dari Kamis minggu depan karena kalau Senin takutnya pemanggilan tidak hadir. Saudara penasihat hukum juga bisa mempersiapkan pembuktian, jadi kita beri ruang yang sama dalam pembuktian perkara ini," kata hakim Yanto.
Dalam perkara ini Setnov diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-E. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.
Sedangkan jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar proses penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp2,3 triliun.
Advertisement