Hakikat Musibah dan Puasa, Ini Tiga Pesan Haedar Nashir
Merayakan Idul Fitri di masa pandemi merupakan peluang untuk merenung, sekaligus bermuhasabah diri guna meningkatkan ketakwaan setiap Muslim pada Allah Subhanahu wa ta'ala (S.w.t).
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan pesan penting tentang hakikat puasa dan musibah.
Berikut Tiga Pesan Haedar Nashir:
Pertama, Kita baru saja berpuasa Ramadhan sebulan penuh.
Puasa merupakan perjalanan ruhaniah yang tertingi. Bagi setiap muslim yang berpuasa, puasa bukan sekadar menahan makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis sebagaimana menjadi rukun syariat. Tetapi lebih dari itu puasa harus punya makna al-imsak dalam makna yang sesungguhnya, yakni menahan diri dari segala godaan duniawai sehingga kita menjadi orang-orang yang wasathiyah, orang yang secukupnya dalam hidup.
Orang yang berpuasa disebutkan La’allakum tattaquun, agar engkau semakin bertaqwa. Taqwa adalah wiqayah (kewaspadaan) lahir dan batin untuk selalu takut kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya, mejauhi segala larangan-Nya dan nanti di Yaumul Akhir dijaga dari siksa neraka.
Orang yang berpuasa adalah orang yang mampu menaklukan hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Al-imsak itu maknaya adalah menahan diri. Menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis adalah simbol dari manusia yang berpuasa, Ia mampu mengkrangkeng hawa nafsunya menyalurkannya dengan cara yang baik dan tidak membiarkannya liar. Orang yang mampu menaklukan hawa nafsunya dialah yang berjihad akbar. Jika seseorang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya dia akan mampu mengendalikan kehidupan.
Puasa Ramadhan harus menumbuhkan amal saleh. Orang yang berpuasa adalah orang yang selalu berbanding lurus sikap hidupnya untuk berbuat kebajikan bagi orang banyak. Amal saleh harus lahir dari orang yang berpuasa.
Karena itu jadikan puasa sebagai mi’raj ruhani, yakni naik tingkat keruhanian untuk menjadi insan bertaqwa yang habluminallahnya kuat sekaligus melahirkan habluminannas yang baik dengan sesama dan lingkungan.
Kedua, kita bangsa Indonesia dan warga dunia sedang menghadapi musibah Covid-19 yang sangat berat.
Bagi kita orang beriman pandemi ini merupaka ujian atas keimanan dan kesabaran. Iman kita siapa tahu hanya sebatas verbal kulit luar, belum naik kelas ke tingkat hakikat dan ma’rifat, sehingga perlu "Wiqayat al-Nafsi" yakni kewaspadaan diri. Musibah apapun tidak lepas dari kekuasaan Allah sebagaimana firman-Nya:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS At-Taghabun: 11).
Ketiga, Kuatkan Ketakwaan pada Allah Swt.
Muslim ketika menghadapi musibah jangan meratapi dan jatuh diri, tetapi juga jangan angkuh diri. Bertawakallah kepada Allah sambil terus ikhtiar.
Karenanya kita kerahkan segala ikhtiar dan do"a agar musibah ini segera dicabut Allah. Kita tidak melakukan kegiatan-kegiatan bersama di luar termasuk tidak shalat Idul Fitri di lapangan sebagai bentuk ikhtiar mencegah rantai penularaan.
Semoga kita diberi keikhlasan, kesabaran, kebersamaan, kasih sayang, saling berta'awun, dan optimisme dalam menghadapi musibah ini sehingga kita menjadi orang-orang yang bertaqwa selaras dengan hasil puasa.
Semoga Allah mengangkat musibah ini, menerima amal ibadah kita, mengampuni dosa kita, dan menjadikan diri kita sebagai hamba-Nya yang saleh serta dimasukkan ke dalam surga jannatun-na'im.
Advertisement