Hakikat Dakwah Bukan untuk Membenci, Dawuh Habib Ali Al-Jufri
Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri mengingatkan, pentingnya memahami hakikat dakwah yang dibawa oleh para ulama terdahulu seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
“Hakikat dakwah bukan hanya sekadar menyampaikan ilmu melalui pidato maupun ceramah. Tetapi hakikat dakwah itu ketika seorang pendakwah merasa hancur dirinya di hadapan Allah Swt. sambil mendoakan hidayah kepada mereka yang mencintai maupun kepada mereka yang membencinya.”
Habil Ali Zainal mengungkapkan hal itu, dalam kunjungan dakwahnya di Indonesia, tepatnya di Gedung Darul Aitam Halimatus Sa’diyah, Tanah Abang, Jakarta, 12 April 2018, menyampaikan di hadapan ribuan hadirin.
Dakwah Walisongo dibawa dari cahaya ke cahaya yang bersumber dari sumbernya cahaya, yakni Rasulullah Saw. Inti dari dakwah mereka adalah kesucian. Kesucian lahir dan batin. Misal menjaga kesucian mata, bukan sekadar menjaga dari pandangan-pandangan yang diharamkan seperti melihat gambar-gambar haram. Tapi juga menjaga pandangan dari memandang manusia dengan pandangan yang rendah dan memandang dunia dengan pandangan mengagungkan.
Juga menjaga telinga dari pendengaran-pendengaran ghibah, adu domba dan perkataan-perkataan yang keji. Menjaga lisan dan seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang mengotorinya. Dan ini adalah dasar kita untuk mencapai kesucian hati dan batin.
Yang dimaksud ‘kesucian hati’ adalah terhindar dari kesombongan, kebencian, iri, dengki dan semua hal yang dapat mengotorinya. Maka Allah akan membersihkan hati kita dan bertajalliy dengan namaNya ‘al-Wadud’, sehingga terpancarlah dari kita sifat kasih sayang. Tidaklah yang dipancarkan oleh para ulama salih terkecuali apa yang disifatkan Allah kepada NabiNya Saw. (QS. al-Anbiya ayat 107), “Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat (kasih sayang) bagi semesta alam”.
Sangat banyak para ulama yang datang ke Indonesia sedangkan penduduk setempat tidak dapat memahami bahasa mereka. Akan tetapi karena dibawa dari wajah dan tutur kata yang penuh kasih sayang, sehingga Islam masuk dengan mudah di berbagai penjuru negeri ini. Dan prinsip dakwah mereka adalah seperti yang dipegang dalam Thariqah Alawiyah, ada lima pondasi; ilmu, amal, ikhlas, khasy-yah (takut kepada Allah), dan wara’.
Ilmu yang menjadikan kita paham terhadap praktik ibadah dan muamalah. Manhaj mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Bermadzhab Asyairah (Asy’ariyah) dan Maturidiyah dalam aqidah. Di dalam fiqih mereka mengikuti madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), di Indonesia mayoritas bermadzhab Syafi’iyah. Dan sisi penting lainnya yang secara serius mereka lakukan adalah tazkiyyatunnufus, mensucikan hati.
Manhaj mereka berprinsip dalam madzhab tapi bukan didasari fanatik yang mudah menyalahkan pihak lain. Melainkan prinsip bermadzhab yang tidak bisa dibenturkan dengan pihak manapun dan tidak bisa dipermainkan oleh kepentingan politik manapun.
Kita adalah pengikut madzhab Syafi’iyah dan berakidah Asy’ariyah. Kita tidak pernah mengkafirkan seorang pun yang melakukan salat menghadap qiblat. Dan kita juga tidak menerima siapapun yang memiliki lisan keji yang membenci keluarga dan sahabat Nabi Muhammad Saw.
Kita tahu bahwa agama ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Kita tidak pernah menyetujui bahwa ‘ilmu agama’ itu sendiri dan ‘ilmu umum’ (dunia) itu sendiri. Kita bahkan memiliki kemampuan untuk menguasai ilmu-ilmu yang khusus dari para pewaris nabi. Semisal ilmu perekonomian atau bisnis.
Kita tidak bisa mengatakan, ilmu itu tidak ada kaitannya dengan ilmu agama. Karena zaman dulu ada Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abdurrahman bin Auf dan Sayyidah Khadijah al-Kubra yang sukses dalam berbisnis.
Sehingga jangan sampai kita terpengaruh dengan perkataan-perkataan yang mengatakan bahwa ilmu tertentu tidak ada kaitannya dengan Allah. Kita adalah orang-orang yang memiliki hati yang tersambung kepada Allah. (adi)