HAK (dan Kewajiban) Perlindungan Bagi PRT
Oleh: Eva K Sundari (Institut Sarinah)
PRT pocokan yang kerja di rumah ibuku di Nganjuk, Mbak Poinem, gusar. "Kok saya tidak dapat BLT ya Bu? Padahal sudah didaftar kelurahan?" Lalu dia cerita bahwa yang dapat BLT justru orang punya mobil di kampungnya yang semua orang kampung tahu masih terhitung kerabat aparat desa. Ia merasa diperlakukan tidak adil tetapi tak berdaya karena tidak tahu harus berbuat apa.
Mbak Nem punya jadwal suka-suka dia. Sekali datang maksimal kerja 5 jam dan dibayar Rp 50 ribu. Dia datang ke rumah setelah jam 11 karena menunggu dulu anaknya pulang sekolah TK untuk kemudian dibawa kerja. Mereka makan siang di rumah dan kalau pulang membawa bekal untuk makan malam.
Mbak Nem lulusan satu SMA negeri di Kota Nganjuk dan memilih menjadi PRT setelah menikah dan tidak mau kembali ke pekerjaan lamanya yaitu menjaga toko di Pecinan Nganjuk. Profesi PRT lebih flexible karena dia bisa pulang pergi mengurus keluarga.
Saat suaminya sakit asam urat parah dan tidak bisa bekerja, hidupnya mulai oleng apalagi kemudian masuk masa pandemi. Dia menjadi pencari pendapatan tunggal bagi keluarga. Hidup yang datar dan normal, menjadi berat karena semua paket bantuan sosial untuk penduduk miskin tidak sampai padanya.
Bukan hanya PRT, setiap warga negara berhak dilindungi negara. Demikian janji konstitusi dan mekanismenya telah ditata di UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang bersifat menyeluruh (universal). Artinya, setiap warga negara dari lahir-kerja-pensiun dan kematian menjadi tanggung jawab negara. Untuk melaksanakan tujuan tersebut - dibentuklah UU BPJS.
BPJS Kesehatan memastikan setiap warga negara dapat dipenuhi kebutuhan dasarnya untuk sehat. Idealnya, negara membayar semua ongkos kesehatan tetapi kemampuan negara terbatas sehingga dipakailah sistem gotong royong. Yang mampu membayar bisa memilih kelas layanan yang dikehendaki. Bagi penduduk yang tidak mampu menjadi tanggungan negara sepenuhnya alias gratis.
Setiap orang mempunyai usia produktif yang terbatas dan menghadapi risiko-risiko. Saat ia bisa bekerja, harusnya ia bisa menabung untuk masa tuanya kelak atau membayar asuransi untuk menghadapi bencana dan guncangan. Menghadapi sakit, kecelakaan bahkan kematian atau hari tua harus dipersiapkan. Negara, melalui BPJS membantu mengatur urusan tersebut melalui kepesertaan kita di BPJS.
BPJS membuat pengaturan khusus asuransi bagi PRT sesuai kondisi spesifik para PRT. Skema pertama adalah untuk jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) yang jumlahnya Rp 16.800/bulan. Supaya lengkapi dapat ditambahkan untuk Jaminan Hari Tua (JHT) yaitu sebesar Rp 20.000/bulan sehingga total iuran Rp 36.800/bulan bisa membuat PRT bekerja dan hidup dengan tenang.
Dari riset Jala PRT tahun 1989, para PRT hanya digaji 20%-30% dari UMR, sehingga akan sangat tidak masuk akal jika membebani mereka membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan tersebut. Sudah sepantasnya, para pemberi kerjalah yang kemudian diharapkan gotong royong membantu pembayaran iuran tersebut. Kewajiban pemberi kerja menganggung kesejahteraan para pekerjanya.
Pembayaran iuran BPJS ini terbukti menguntungkan pemberi kerja pula. Pada saat pandemi yang lalu, 2 PRT anggota Serikat Sapu Lidi di Jakarta meninggal karena COVID mendapat santunan hingga 50juta dari BPJS karena keduanya sudah menjadi peserta BPJS. Demikian juga saat ada kecelakaan yang dialami oleh PRT Yogya yang seluruh biaya perawatan RS dan pengobatan ditanggung oleh BPJS. Pada kedua kasus tersebut, pemberi kerja tidak terbebani pengeluaran ekstra untuk PRT mereka.
Manfaat JKK meliputi santunan uang dan pelayanan kesehatan (perawatan dan pengobatan) akibat kecelakaan pada saat kerja atau akibat penyakit dari lingkungan kerja. Sedangkan JKM akan berupa uang tunai, berupa santunan kematian, santunan berkala, biaya pemakaman dan beasiswa pendidikan.
Sedangkan untuk JHT, akan berupa uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal. Besar uang yang akan diterima adalah jumlah akumulasi seluruh iuran yang telah dibayarkan ditambah dengan hasil pengembangannya.
Tetapi, PRT membutuhkan pengaman sosial yang lebih luas agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan antar generasi. Negara dan pemberi kerja harus memastikan agar semua paket sosial dari Pemerintah bagi para PRT dapat diterima oleh mereka sebagai kelompok keluarga Pra sejahtera.
Hidup Mbak Nem dan para PRT lainnya sebenarnya bisa mudah jika ia dapat memperoleh hak-haknya sebagai warga negara miskin misalnya subsidi PLN, Kartu sembako, Kartu Pra Kerja, PKH, Bansos Tunai, Bansos Sembako, BLT KPM, KIP, dan kelak Bidik Misi untuk anaknya atau bahkan LPDP.
Hanya saja, kalau anaknya tidak dapat KIP/PIP lalu drop out sekolah maka keluarga pra sejahtera ini akan tetap di kubangan kemiskinan lintas generasi. Tujuan Bansos agar kelompok miskin bisa bertahan dari guncangan dan bencana sekaligus punya kesempatan sama untuk naik kelas menjadi terganggu alias gagal.
Survei tahun 2019 oleh JALA PRT di 6 kota terhadap 4296 PRT menemukan bahwa 89% PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan sebagai peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan 99% tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Ketiadaan perlindungan sosial ini cermin kelemahan mekanisme distribusi Bansos sehingga Bansos tidak sampai pada target yang disasar.
Pembentukan UU PPRT adalah sistem pelengkap dari Kebijakan Perlindungan Sosial yang masih sering meleset dari kelompok yang ditargetkan. UU PPRT akan bisa mengefektifkan pencapaian sasaran misalnya melalui strategi self targeting yaitu bahwa PRT di manapun secara otomatis dapat menerima bantuan-bantuan sosial negara.
Hal inilah yang sudah dilakukan Filipina melalui UU PPRT mereka sehingga gender gap indeks Filipina melesat (ranking 2 di Asean) di atas Indonesia (ranking 4) walau GDP Philipna di bawah Indonesia yaitu ranking ke 6 dan 7. Pemerataan Filipina lebih baik (ranking 3) dibanding Indonesia yang ranking 7.
Jakarta, 3/2/23