Haji Mabrur Seumur Hidup, KH Azaim: Bukan Hanya di Tanah Suci
Bondowoso: Ibadah haji sebagai rukun kelima dalam Islam hakikatnya bukan sekadar mengenai hubungan manusia dengan Allah. Melainkan juga bagaimana pelakunya bisa mengambil pelajaran selama berada di Tanah Suci untuk dibawa ke Tanah Air.
"Idealnya, jemaah pulang dari Tanah Suci membawa semangat baru dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik di negerinya. Jadi madrasah haji itu dibawa juga saat kita pulang. Jika itu terjadi, insya Allah semua persoalan bangsa ini akan selesai," kata KHR Ahmad Azaim Ibrohimy, Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, saat pengajian umum di Masjid Agung At Taqwa Bondowoso, Jawa Timur, belum lama ini.
Ia mencontohkan jemaah haji asal Kabupaten Bondowoso yang jumlahnya sudah sekitar 700 orang. Menukil penuturan gurunya saat menimba ilmu di Mekkah, satu orang haji yang mabrur, kelak Allah memperkenankan memberikan syafaat kepada 400 sanak keluarganya di alam akhirat.
"Kalau 700 orang itu masing-masing memberi syafaat kepada 400 orang, ada berapa orang yang masalahnya terselesaikan kelak," kata kiai muda yang dikenal sebagai penulis puisi itu.
Menurut cucu Pahlawan Nasional KHR As'ad Syamsul Arifin ini, sepulang dari haji, seorang haji, hatinya selalu bertawaf dengan selalu mengingat Allah. Kiai Azaim mengistilahkan ka'bah sudah melekat dalam diri seseorang yang hajinya mabrur.
"Sa'inya tidak hanya di antara Sofa dan Marwa, tapi sepanjang hidupnya dengan tetap mengagungkan Allah. Madrasah Sofa dan Marwa menjadi falsafah dalam hidupnya," kata penggagas dan pendiri perkumpulan "Sholawat Bhenning" Situbondo ini.
Pada kegiatan yang diselenggaran Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) At Taqwa ini Kiai Azaim juga menjelaskan tentang konstruksi agama yang dibangun sesuai dengan Rukun Islam yang lima.
Fondasi dari Agama Islam adalah Syahadat. Karena merupakan fondasi, maka rukun yang lainnya tidak akan memiliki makna apa-apa jika seseorang tidak melandasinya dengan dua kalimat Syahadat.
"Semua amal soleh akan kosong tanpa makna jika tanpa syahadat," katanya.
Elemen kedua dalam Islam adalah tiang, yakni shalat. Maka siapa yang mendirikan shalat, seseorang telah membangun tiang buat agamanya. Demikian juga sebaliknya, bagi yang melalaikan shalat.
Elemen ketiga adalah dinding atau tameng, yakni puasa. Puasa menjadi sarana untuk mengontrol nafsu dan syahwat seorang Muslim.
Selanjutnya fentilasi atau jendela, yakni zakat. Zakat atau infak dan sejenisnya mengatur aliran udara dalam suatu ruangan bangunan agama. Agama tanpa gerakan wakaf menjadi seperti ruangan yang pengap tanpa oksigen, sehingga kita sulit bernafas.
"Jadi zakat itu penyegaran dalam kehidupan beragama," ujarnya.
Puncak dari bangunan agama adalah atap atau jihad. Makna jihad di sini adalah haji. Kita bisa melaksanakan jihad lewat suatu ibadah yang senilai dengan ibadah haji atau amalan-amalan lain yang telah dijarkan oleh Rasulullah SAW. (ant)