Haji, Kurindu Kembali
Oleh: Akh. Muzakki
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024
Mengapa orang rindu untuk kembali berhaji? Mengapa orang rindu kembali ke Tanah Suci? Mengapa rindu kembali ke Mekkah dan Madinah itu hadir dan membuat seseorang meratapi? Pertanyaan-pertanyaan ini gampang ditemui. Tidak saja pada jemaah haji Indonesia yang hendak meninggalkan Mekkah ke Madinah untuk menutup rangkaian ibadah haji. Tapi, juga pada jemaah haji Indonesia yang hendak meninggalkan hotel menuju Bandara Jeddah untuk kembali ke ibu pertiwi. Bahkan saat sudah berada di pangkuan ibu pertiwi. Kutangkap rindu untuk kembali itu kuat sekali.
Bahkan, di akhir-akhir musim haji 1445 H/2024 M, beredar begitu banyak konten di media sosial yang mengungkapkan isi hati soal kerinduan untuk kembali berhaji itu. Aku pun takjub sekali. Karena ungkapan rindu untuk kembali itu diiringi dengan unggahan rekaman video pendek tentang berbagai kenangan yang menempel pada sejumlah titik di Tanah Suci. Seorang jemaah haji Indonesia dengan akun atas nama Dhewy_Rafcan, sebagai contoh, mengunggah ungkapan yang so sweet sekali. Begini kalimatnya: “Selamat tinggal Makkah. Kutinggalkan hatiku di sini.”
Ungkapan itu begitu menyentuh hati. Sangat heart-touching sekali. Khas orang yang lagi kasmaran berat yang tak terperi. Apalagi, dalam unggah itu dia menyertakan lagu latar belakang yang sangat syahdu sekali. Judulnya Dalam Mihrab Cinta yang dinyanyikan oleh penanyi muda terkenal, Afghan. Lirik Ref yang diunggah seperti ini:
/Suatu saat ku kan kembali/
/Sungguh sebelum aku mati/
/Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga/
/Suatu hari kau kan mengerti/
/Siapa yang paling mencintai/
/Dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya/
Jika ungkapan kalimat Dhewy_Rafcan di atas dikaitkan dengan isi lirik Ref tersebut, air mata pun bisa tak terasa mengalir. Melukiskan hati yang sudah terukir. Dengan pengalaman-pengalaman spiritual yang selalu hadir. Pada setiap momen-momen hidup lanjutan yang membuat gerak rindu hati tak bisa dianulir. Sungguh besar sekali kerinduan untuk kembali lagi ke Tanah Suci walau diri sudah berada di tanah air. Dan, isi lirik Ref lagu itu pun dihadirkan untuk melukiskan kuatnya pengalaman spiritual di Tanah Suci yang membuat kerinduan hati kepada sang tambatan kuat sekali mengalir.
Ada seorang jemaah haji lain dengan akun atas nama maslinaibrahim79 yang mengungkapkan begini: “Masih merindui walaupun seminggu meninggalkan bumi Makkah, Haji 1445. Jemput kami lagi ya Allah.“ Dan video yang diunggah merekam hotel tempatnya meningap selama menunaikan ibadah haji di Mekkah. Masih ada lagi jemaah haji lain dengan akun atas nama Mammy’Iskha. Dia menyatakan begini dalam unggahannya: “Kata orang jika barang kamu hilang di Mekkah itu tandanya kamu akan diundang Kembali.” Unggahan ini disertai dengan lata belakang gambar Ka’bah Al-Musyarrafah.
Tak kalah rindunya dari dua jemaah haji yang disebut terakhir ini, seorang jemaah haji lainnya lagi dengan akun atas nama Hjtingsidamayanti, seperti tampak pada foto gambar di bawah, mengunggah pernyataannya begini: “Pernah melihat, pernah ke sana, dan pernah bermalam di sana. Ya Rabb undang hamba kembali.” Disertakannya dalam unggahan itu video kawasan Mina. Jemaah haji ini menyebut secara spesifik titik wilayah di Tanah Suci sebagai saksi pengalaman spiritualnya. Sebagai contoh saja atas apa yang membuatnya rindu Kembali ke Tanah Suci.
Mengeluarkan Energi
Di ujung yang lain, semua tahu dan merasakan, bukankah para jemaah haji itu harus bersusah-payah untuk menjalani rangkaian ibadah haji? Bukankah mereka harus mengeluarkan energi dan kekuatan fisik yang berlebih untuk melaksanakan seluruh mata ritual ibadah haji? Jalan kaki berkilo-kilo pun dilakoni. Dari Mina ke Jamarat, dan kembali ke Mina lagi. Jangankan umrah wajib, umrah sunnah pun juga sangat diakrabi dan dijalani. Bahkan, tantangan yang berat saat puncak ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) tak pernah menyurutkan nyali. Semua diikuti dan dijalani.
Pertanyaan pun lalu penting diajukan lagi. Mengapa engkau rindu untuk kembali? Mengapa rindumu untuk kembali berhaji kuat sekali? Padahal belum juga payahmu usai. Padahal belum juga lelahmu berhenti. Padahal belum juga letihmu surut sama sekali. Tapi, kenapa rindumu untuk kembali ke Tanah Suci membuncah sekali? Bahkan jika ditanyakan, adakah yang emoh sama sekali untuk datang lagi? Adakah yang melakukan sumpah serapah untuk pantang berhaji lagi? Adakah yang sampai mengatakan kapok untuk kembali menjalani ibadah haji lagi?
Tak bisa dimungkiri, posisi haji sebagai penyempurna keislaman menjadi basis nilai kuatnya ibadah haji dalam basis kognitif dan keyakinan semua umat Islam. Keberadaanya sebagai rukun Islam yang kelima membuat setiap Muslim merasa keislamannya tak sempurna jika tak berhaji. Itu walaupun agama juga memberi relaksasi atas penunaian penyempurnaan keislaman itu seiring dengan makin sempitnya kesempatan untuk bisa berhaji. Beragam kondisi telah membuat kesempatan itu makin sempit.
Hanya, penantian panjang yang akhirnya menjadi penumbuh rindu yang kuat pada haji. Setiap dihitung tahun penantian, semakin rindu itu tak terperi. Di sinilah, setiap Muslim selalu merawat rasa rindu itu tanpa henti. Bayangkan saja, jika porsi haji memberi Anda jadwal keberangkatan dalam waktu 20 tahun lagi. Anda pasti memendam rindu itu dengan sepenuh hati. Mungkin lirik lagu Menghitung Hari yang dinyanyikan oleh Krisdayanti berikut ini bisa dikutip untuk menjelaskan bagaimana rindu terasa saat menanti harus dijalani:
/Menghitung hari/
/Detik demi detik/
/Masa ku nanti apa kan ada/
/Jelang cerita/
/Kisah yang Panjang/
/Menghitung hari/
Lagu Krisdayati memang melukiskan rindu yang mendalam pada pujaan hati. Kalau pada pujaan hati yang bernama manusia saja, rindu itu begitu bikin diri haru, bagaimana pula saat rindu itu tertuju kepada Tanah Suci. Tentu rindu itu tak bisa dilukiskan dengan kata, melainkan hanya bisa dirasa dalam dada. Mengapa? Ada unsur keyakinan yang menyatu dalam rindu itu. Di sana ada banyak jejak kesucian sang kekasih Ilahi, Nabiyullah Muhammad SAW. Titik sentral ibadah kaum Muslim pun juga ada di Masjidil Haram. Maka, wajar saja, jika rindu kembali ke Tanah Suci tidak pernah usai. Tapi, justeru dalam diri makin kuat terurai.
Kembali, sejatinya, adalah rindu. Tapi, kembali yang diikat oleh pengalaman spiritual membuat rindu itu tak akan bisa tersaingi. Bahkan oleh apapun. Selalu muncul rindu itu dalam diri. Untuk selalu bisa kembali kepada apa yang dipuja oleh hati. Tanah Suci telah menjadi bumi penumbuh rindu untuk kembali. Sekali berhaji, bukan membuat rindu terobati lalu rindu itu usai. Melainkan, membuat rindu itu terus bersemi. Dalam hati dan dalam diri jemaah haji. Apapun kondisi yang dihadapi.
Ada energi penguat pada jemaah haji. Energi itu bersumber dari proses haji dan refleksi diri. Para jemaah haji itu menjalani semua rangkaian proses haji itu. Mulai dari thawaf qudum atau thawaf kedatangan pertama ke Mekkah untuk memberi penghormatan kepada Ka’bah Al-Musyarrafah, mabit di Armuzna, hingga thawaf wada’ yang menjadi penanda untuk mengakhiri rangkaian ibadah haji di Makkah. Semua proses ibadah haji itu dijalani. Lalu, bersamaan dengan itu, refleksi pun seakan tak pernah terpisah dari pelaksanaan ibadah haji itu. Pemaknaan demi pemaknaan pun membentuk kesadaran dan pengalaman spiritual tersendiri.
Nah, bagian esensial dari pergerakan dua sumber penguat energi diri jemaah haji di atas adalah sikap atau praktik menikmati. Ini yang tidak boleh dikesampingkan untuk menelaah hadirnya kerinduan yang kuat pada diri jemaah haji Indonesia untuk kembali ke Tanah Suci. Rangkaian ibadah yang dijalani dan refleksi diri yang diikuti tak akan bisa dimaknai jika tak ada kehendak dan juga kuasa diri untuk menikmati. Kerinduan yang besar untuk kembali justeru lahir karena proses pemaknaan yang dilakukan untuk menyertai pelaksanaan rangkaian ibadah haji dan refleksi diri atasnya.
Mungkin rindu untuk kembali berhaji bisa terobati. Bisa dengan haji furada bagi yang berkemampuan lebih. Atau haji khusus bagi berkemampuan memadai. Atau mungkin diganti dengan umrah. Kapanpun mau. Itu ospi-opsi yang tersedia bagi yang sedang mendapatkan limpahan rizki. Bagi yang tidak, maka rindu itu akan selalu menggebu. Bukan hilang, tapi menunggu waktu untuk bertemu. Umrah mungkin menjadi satu-satunya peluang yang tersisa untuk mengobati rindu itu. Tapi, apapun situasi dan kondisi pada setiap diri, rindu kembali ke Tanah Suci tak akan pernah mengenal kata henti.
Haji menjadi bukti. Bahwa ada rindu yang tak pernah surut. Dipenuhi, bukan makin menyusut. Justeru makin membuat rindu itu makin kalut. Seakan jika tak dipenuhi kembali bikin hati jadi kusut. Lebih kencang untuk berdenyut. Entahlah, orang modern mungkin menyebutnya ekstase spiritual yang akut. Tapi, jemaah haji percaya bahwa itu adalah kemabruran yang selalu disulut. Oleh kenikmatan yang kuat diasup. Selama ibadah haji dilaksanakan dengan penuh kenikmatan yang hadir dan berkembangnya tak akan bisa diusut. Itulah yang membuat haji selalu menjadi rindu yang tak pernah susut.