Haedar: Penjiwaan Pancasila dalam Praktik Bernegara Telah Hilang
Menjelang usia kemerdekaan Indonesia ke-75 tahun, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai Pancasila lebih butuh untuk diaktualisasikan pada amal nyata daripada sekadar jargon.
“Mestinya kita semakin matang dan punya patokan bagaimana meletakkan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tepat dan mengaktualisasikannya. Kita belum sensitif. Yang ada pendogmaan, jargon, perlu diuji aktualisasinya,” tutur Haedar, Rabu 5 Agustus 2020.
Penilaian Haedar didasarkan pada berbagai fenomena yang terjadi baik ditataran elit maupun sipil. Dibahasnya berbagai Rancangan Undang-Undang yang mengundang polemik, hingga aksi penolakan warga terhadap jenazah petugas kesehatan yang gugur karena Covid menurutnya justru bertolakbelakang dengan nilai mulia Pancasila yang selama ini diusung.
Dalam diskusi webinar “Diseminasi Program Revitalisasi dan Institusionalisasi Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi” yang digelar oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu, Haedar melihat ada ruh penjiwaan Pancasila yang hilang dari elit politik sebagai teladan dalam praktik bernegara sehingga rakyat pun turut menjauh dari penghayatan Pancasila.
Mengutip usaha penguatan Pancasila pada masa Orde Lama dan Orde Baru yang tidak mencapai tujuannya meski telah memiliki perangkat yang cukup, bagi Haedar seharusnya dipahami oleh para elit politik sebagai pelajaran berharga bahwa Pancasila perlu dihidupkan dalam keteladanan.
“Sekarang orang bisa lupa dinamika itu, lebih-lebih bagi mereka yang meletakkan sejarah dengan subjektivitas golongan dan pribadi dalam mozaik dan monumen. Kita sering mengutuk dua masa lalu tapi juga sekaligus mereproduksi. Persoalan dasar ini ada problem kelembagaan ketika bicara tentang nilai fundamental Pancasila,” rangkumnya.
Muhammadiyah dalam kaitan itu bagi Haedar tidak ingin terlibat dalam perdebatan kontra-produktif dan jargon semata, tetapi berusaha menghadirkan Pancasila melalui kehidupan nyata sebagaimana komitmen moral Muhammadiyah dalam dokumen Darul Ahdi was Syahadah.
Dalam pengertian Darul Ahdi, selain mengunci Indonesia dari masuknya ideologi lain selain Pancasila baik ideologi agama maupun sekuler, dokumen Darul Ahdi was Syahadah juga menjadi acuan bagi Muhammadiyah untuk menjaga Indonesia sebagaimana cita-cita para founding father yang tokoh Muhammadiyah banyak terlibat.
“Kalau ada yang ingin membawa ke kanan atau ke kiri Muhammadiyah akan tegas. Di situlah semua perlu perenungan apakah mereka yang selama ini berjargon ‘Kami Pancasila’, ‘Kami Nasionalis’ betul-betul ingin berdiri di Pancasila 18 Agustus 1945?,” ungkapnya.
Dalam pengertian Syahadah, Pancasila menjadi pedoman bagi Muhammadiyah untuk membantu Indonesia mewujudkan lima pedoman nilai yakni merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
“Ini harus menjadi agenda aktualisasi bernegara. Kami Muhammadiyah, orang Muhammadiyah selalu berbuat nyata membangun pusat keunggulan, ingin menghadirkan keunggulan dan kemajuan bagi Indonesia sebagai representasi umat Islam bahwa Islam sebagai pemberi solusi dan rahmatan lil alamin. Jika terjebak dalam jargon ideologis, kita utopia maka tidak akan maju, lupa pada pekerjaan produktif,” pesannya.