Pakaian Muhammadiyah Harus Sesuai ‘Urf, Ini Maksud Haedar Nashir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, sekalipun tokoh-tokoh Muhammadiyah generasi awal dikenal teguh memperjuangkan akidah dan syari’at, keteguhannya itu tidak membuat mereka berjarak dengan masyarakat.
Bahkan Ki Bagus Hadikusumo misalnya, beliau dalam keseharian memakai pakaian yang sesuai dengan budaya setempat, yaitu beskap dikombinasikan dengan sarung, dan memakai blangkon, atau terkadang peci.
Bagi Haedar Nashir, contoh-contoh dari generasi awal Muhammadiyah itu penting untuk dipahami, termasuk dalam mengompromikan antara fikih, syariat dengan budaya setempat.
“Mohon maaf ya, dengan kerendahan hati nanti para ustaz maupun imam masjid di pondok pesantren Muhammadiyah apa perlu memakai pakaian seperti saudara-saudara kita di Arab, Pakistan dan sebagainya? Dulu kiai kita sebesar apapun itu ya baju koko oke, lalu sarung, kadang juga tidak pakai peci, gitu,” nasihatnya dalam forum Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) PP Muhammadiyah, Sabtu.
“Sekarang saya lihat di pondok pesantren dan ma’had Muhammadiyah lho kok istilah orang Sunda itu godobar godober, itu kan menurut saya nggak cocok dengan kultur Indonesia. Itu bikin jarak (dengan masyarakat),” imbuhnya.
Meski terkesan remeh, Haedar menganggap bahwa pilihan cara berpakaian sejatinya menggambarkan alam pikiran terkait pemahaman fikih dan syariat tertentu.
Dalam kaidah fikih, masalah yang disinggung Haedar itu masuk dalam pembahasan ‘urf (kebiasaan masyarakat).
Sehingga ada kalanya gamis itu bagus dikenakan pada wilayah tertentu. Namun tidak pada wilayah lain. Begitu pula hukum ‘urf menyangkut pakaian lain selain gamis, celana cingkrang dan lain sebagainya.
“Bagaimana itu ditransfer ke dalam institusi lembaga pendidikan pesantren Muhammadiyah yang justru lebih mencair lagi, lebih berkemajuan dan punya daya rekat dengan kultur Indonesia. Kenapa? Karena kita kan istilahnya ber-fastabiqul khairat di negeri kita ini dan faktor kultural itu penting sekali,” tegasnya.
“Kalau Muhammadiyah secara keseluruhan dan lembaga-lembaga yang ada di Muhammadiyah makin ekslusif, tertutup dan tidak mencair sebagaimana pada masa Kiai Dahlan, itu lama kelamaan yang ikut Muhammadiyah makin sedikit. Jangan salahkan jika orang makin tidak simpatik dengan Muhammadiyah,” tutur Haedar Nashir.