Haedar Nashir Gantikan Ketua Umum PP Aisyiyah, Ini yang Terjadi
Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini seharusnya dijadwalkan menghadiri Silaturahim Keluarga Besar Universitas Muhammadiyah Purworejo, belum lama ini. Namun, karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, akhirnya kehadirannya digantikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Haedar dalam tausyiahnya turut menyampaikan permohonan maaf ketidakhadiran Ketum ‘Aisyiyah dalam acara tersebut. Selain itu, Ia juga mengatakan, hadirnya dalam acara tersebut sebagai tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.
“Kehadiran saya dalam acara silaturahim ini sebagai pemain pengganti Ketum Aisyiyah, layaknya pemain bola yang menggantikan pemain lainnya ketika mengalami cidera,” canda Haedar yang kemudian disambut tepuk tangan tamu undangan yang hadir di Auditorium Kasman Singodimedjo UM Purworejo.
Sementara dalam tausyiahnya Haedar menyampaikan bahwa pasca puasa dan Idul Fitri penting bagi setiap muslim meningkatkan kualitas akhlak mulia sebagai bagian dari kebaikan imannya.
”Artinya, orang itu disebut mulia atau yang mulia karena di dalamnya dirinya tersimpan benih akhlak yang baik. Kemuliaan itu melebur dalam kebaikan perilaku. Dia tahu mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta yang patut dan tidak patut. Perbuatannya jujur sepenuh hati, tidak asal tabrak, apalagi nifaq. Dalam kemuliaan itu bersenyawa keelokan perilaku. Kata sejalan perilakunya, serta dari dirinya terpancar segala mutiara kebajikan,” ucap Haedar.
Haedar juga mengajak untuk berlomba-lomba beramal kebaikan sebagai perwujudan taqwa dalam sepanjang hayat. Sebagaimana Nabi mengingatkan, “Jika sekiranya manusia mengetahui kebajikan-kebajikan yang terkandung dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka mengharap-harap agar bulan Ramadhan berlaku sepanjang tahun” (HR Ibn Abdi Dunya).
“Karenanya, pasca-Ramadhan dan Idul Fitri, setiap insan muslim dapat menjalani kehidupan dengan berhias akal budi yang tercerahkan yang berbingkai akhlak mulia sebagai cermin dari taqwa hasil puasa,” pesan Haedar. (adi)
”Artinya, orang itu disebut mulia atau yang mulia karena di dalamnya dirinya tersimpan benih akhlak yang baik. Kemuliaan itu melebur dalam kebaikan perilaku. Dia tahu mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta yang patut dan tidak patut. Perbuatannya jujur sepenuh hati, tidak asal tabrak, apalagi nifaq. Dalam kemuliaan itu bersenyawa keelokan perilaku. Kata sejalan perilakunya, serta dari dirinya terpancar segala mutiara kebajikan,” ujar Haedar Nashir.
Advertisement