Haedar: Hadirkan Budaya & Etika Politik agar Politisi Tahu Batas
Jagat perpolitikan di Indonesia mengundang keprihatinan. Menguatnya politik oligarki dan politik dinasti menjadi perhatian serius pelbagai kalangan.
Pasca reformasi, keadaan politik di Indonesia berubah menjadi begitu liberal. Kondisi tersebut direspon Muhammadiyah, yang kemudian melahirkan dua buku “Rekonstruksi Visi Karakter Bangsa” dan “Indonesia Berkemajuan”.
Di era politik liberal pasca reformasi sampai sekarang, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mendorong tentang pentingnya menghadirkan budaya politik yang bermuatan etika, baik, buruk, pantas dan tidak pantas.
Bahkan tidak hanya di bidang politik, liberalisasi juga menerpa bidang ekonomi, sampai dengan budaya Indonesia. Khususnya dalam liberalisasi politik, kata Haedar, melahirkan politik uang, dinasti dan lain sebagainya menjadi konsekuensi dari paradigma politik liberal yang dijalankan di Indonesia.
“Demokrasi one man one vote sebenarnya tidak ada yang keliru. Tetapi lalu disertai dengan politik uang, politik transaksi dari yang kecil sampai yang besar, termasuk politik dinasti. Semuanya berlaku baik di politik nasionalis maupun islamis,” ungkap Haedar.
Tegas Haedar menyebut, praktek politik liberal dilakukan di Indonesia baik secara sadar dan tidak sadar. Oleh karena itu dalam pembukaan Rakernas Bersama Lembaga Seni Budaya, belum lama ini, meminta untuk menghidupkan budaya politik di Indonesia berbasis tiga nilai.
Tiga Nilai Luhur Bangsa
Tiga nilai yang dimaksud Guru Besar Sosiologi ini adalah nilai agama, Pancasila, dan budaya luhur bangsa.
Ketiga nilai tersebut menurutnya harus menjadi sumber nilai budaya politik Indonesia. Hematnya, basis nilai tersebut menjadikan politik tidak terlalu pragmatis dan oportunistik.
“Karena pada dasarnya watak manusia itu juga senang terhadap hal yang bersifat materi, senang terhadap hal yang bersifat tahta, dan kesenangan inderawi. Nilai itu membatasi orang untuk berperilaku tahu batas,” imbuhnya.
Nilai tersebut diharapkan membimbing manusia supaya tahu salah dan benar, jika salah berhenti, termasuk pantas dan tidak pantas dalam laku politik. Karena seringkali secara hukum beberapa laku politik dibolehkan, akan tetapi berseberangan dengan etika.
“Maka ada orang yang mengatakan etika itu di atas hukum. Lebih-lebih ketika hukum itu bisa diatur oleh kekuasaan, kekuasaan di mana saja,” tegas Haedar.
Refleksi dari berbagai realitas politik tersebut, Haedar senantiasa mendorong untuk menghadirkan budaya dan etika politik berbasis pada nilai agama, Pancasila, dan budaya luhur bangsa.