Hadis Mauquf, Mursal, dan Dhaif, Penjelasan Tarjih Muhammadiyah,
Perkembangan studi hadis di Indonesia berlangsung cukup lamban. Sejak Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah sampai pada tahun 1900, pengajaran Islam berlangsung secara sederhana seperti memahami rukun Islam yang lima, rukun iman yang enam, pandai melaksanakan salat, puasa, dan ajaran-ajaran dasar Islam lainnya.
Memang banyak kajian tentang ilmu fikih, ilmu tasawuf, ilmu akidah dan bahasa Arab, namun ilmu hadis cenderung “tercecer” perkembangannya.
Dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan Prodi Ilmu Hadis Univesitas Ahmad Dahlan Jogjakarta, Dr. Nur Kholis menjelaskan bahwa fenomena kajian Hadis era mutakhir atau abad 21 di Indonesia menunjukkan adanya kemajuan yang pesat baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Hal ini tidak terlepas dari peran aktif ulama dan intelektual Hadis yang menghasilkan berbagai karya dalam bentuk artikel, buku, dan penelitian. Tokoh Hadis di Indonesia seperti Hasyim Asy’ari, Ahmad Hassan, Hasbi Ash Shiddieqiy, Mahmud Yunus dan lain-lain.
"Tidak hanya tokoh individu semata, ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia, dan Al Washliyah juga turut menyumbangkan perkembangan studi Hadis di Indonesia," tutur Nur Kholis dalam keterangan dikutip Minggu 24 Oktober 2021.
Ormas-ormas Islam ini semua meyakini Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam dan mengajarkannya kepada murid-murid di sekolah dan madrasahnya serta warganya.
Peran Muhammadiyah dalam Pengembangan Studi Hadis
Muhammadiyah memposisikan Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al Quran. Bahkan teguh dengan semboyan Ar-Ruju’ ila Al-Qur’an wa As-Sunnah Al-Maqbulah. Hal-hal yang terkait dengan masalah agama dan keagamaan adalah proyeksi dari kedua sumber tersebut.
Ditegaskan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 4 ayat 1 bahwa Muhammadiyah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, yang bersumber pada Al Quran dan Al Sunah.
Dalam upaya mengembangkan pola pikir yang mendasarkan hukum kepada Al-Quran dan Hadis, Muhammadiyah sangat menenkankan pelajaran Hadis dalam kurikulum di lembaga-lembaga pendidikannya di tingkat Sekolah Menengah Muhammadiyah maupun Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Selain di lembaga pendidikan formal, sosialisasi pola pikir kembali pada Al Quran dan Al Sunah juga dilakukan di pengajian-pengajian yang diselenggarakan Muhammadiyah.
Penjelasan Pendalaman
Menurut Mukhlis Rakhmanto, konsekuensi sosiologis mengedepankan Al Quran dan Al Sunah dalam istinbath hukum, muncul dinamika umum yang berkembang di lingkungan persyarikatan yang diwakili dalam satu ungkapan, misalnya, “kita melakukan amalan ini dalilnya apa? Hadisnya sahih tidak?” Akan tetapi, masyarakat secara umum belum sampai mengetahui konsekuensi epistemologi dari semboyan tersebut belum membudaya.
Posisi Hadis dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Sejarah kodifikasi antara Al-Quran dan Hadis berada dalam jalan yang berbeda. Ulama menempatkan teks-teks Al Quran sebagai qath’iy alwurud (mutlak), sementara Hadis bersifat zhanni al-wurud (relatif). Tidak heran bila dalam sepanjang sejarah Islam, Hadis berulang kali mengalami pemalsuan riwayat. Karenanya, sebuah Hadis memerlukan proses validasi untuk menentukan mana yang otentik dari Nabi Saw mana yang tidak.
Di lingkungan Muhammadiyah, beban tanggungjawab ini diserahkan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Pembentukan Majelis Tarjih yang berdiri pada tahun 1927 merupakan bagian dari salah satu kontribusi Muhammadiyah dalam perkembangan Studi Hadis di Indonesia. Majelis ini dirancang menjadi sebuah lembaga yang mengakomodasi konflik dan perbedaan pendapat dalam persoalan keagamaan, termasuk dalam Hadis. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929, Majelis Tarjih menyusun putusan Kitab Iman dan Kitab Salat.
Melalui Majelis Tarjih, Muhammadiyah memposisikan Hadis sebagai sumber dari legitimasi dan landasan institusi setelah Al Quran, utamanya sebagai pembentuk paham keagamaan. Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah adalah sunnah makbulah seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000. Istilah sunnah makbulah merujuk berarti sunnah yang dapat diterima sebagai hujah agama, baik berupa hadis sahih maupun hadis hasan.
Dalam pemahaman terhadap kandungan hadis (matan), Majelis Tarjih menempatkan Tajdid ke dalam dua bentuk yaitu purifikasi untuk ibadah-akidah dan dinamisasi untuk muamalah-duniawiyah. Persoalan ibadah-akidah termasuk kategori ta’abbudi, yaitu pemahaman keagamaan yang harus diikuti tanpa harus mempertanyakan alasan dibalik sebuah perintah syariah agama. Artinya, hadis dimaknai secara tekstual-legalistik, misalnya, hadis tentang jumlah rakaat salat tarawih.
Sedangkan aspek muamalah-duniawiyah berada dalam wilayah ta’aqquli, yakni pemahaman keagamaan yang perlu dikembangkan oleh akal manusia dan dirumuskan sesuai dengan perkembangan masyarakat, kebutuhan hukum dan keadilan pada suatu masa, tempat dan lingkungan. Artinya, hadis dimaknai secara historis-kontekstual, misalnya, hadis tentang penggunaan rukyat sebagai alat penentuan awal bulan Kamariyah.
Posisi Hadis Mauquf, Mursal, dan Dlaif
Hadis Marfu’ dikenal sebagai hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya. Sedangkan hadis Mauquf adalah hadis yang disandarkan kepada Sahabat, dan Mursal adalah hadis yang disandarkan kepada Tabi’in. Ketiga istilah ini hanya berkaitan dengan soal penisbatan matannya, terlepas dari kondisi sanadnya yang muttashil (bersambung) atau tidak. Maka hadis marfu’ sekalipun bisa saja kualitasnya sahih, hasan atau dlaif, begitu juga dengan Mauquf atau Mursal.
Pertama, posisi Hadis Mauquf. Hadis mauquf murni tidak dapat dijadikan hujjah. Hadis mauquf yang termasuk ke dalam kategori marfu‘ (berhubungan dengan Nabi Saw) dapat dijadikan hujjah. Hadis mauquf termasuk kategori marfu‘ apabila terdapat qarinah yang daripadanya dapat difahami ke-marfu‘-annya kepada Rasulullah Saw. Penafsiran Sahabat terhadap lafal (pernyataan) musytarak dengan salah satu maknanya, wajib diterima. Penafsiran Sahabat terhadap lafal (pernyataan) zhahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zhahir tersebut.
Kedua, posisi Hadis Mursal. Hadis mursal tabi‘i murni tidak dapat dijadikan hujjah. Hadis mursal tabi‘i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya. Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya.
Ketiga, posisi Hadis Dlaif. Hadis-Hadis dha’if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali disertai dengan ada indikasi berasal dari Nabi saw, tidak bertentangan dengan al-Quran, tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih, dan kedlaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis.
Dari penjelasan di atas setidaknya memberikan gambaran singkat bahwa Muhammadiyah turut berperan dalam pengembangan studi hadis di Indonesia. Cara Muhammadiyah memahami hadis begitu proporsional karena 1) tidak terjebak dalam diskusi yang melelahkan antara kalangan tekstualis-literalis dan kontekstualis-historis; 2) menempatkan hadis Mauquf dan Mursal di tempat yang semestinya (tidak diterima dan tidak ditolak semuanya); 3) masih menerima hadis dlaif dengan persyaratan-persyaratan khusus. (Sumber: muhammadiyah.or.id)