Hadiri Harlah NU, Ini Amanat Bung Karno yang Bersejarah
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menghadiri acara peringatan Hari Lahir ke-40 Nahdlatul Ulama (NU) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 31 Januari 1966. Di hadapan lebih dari 100.000 orang dari massa NU beserta ormasnya, Bung Karno memberikan amanat:
"Kalau unsur Pancasila pada alim ulama teguh dalam batin, negara kita akan menjadi negara yang paling baik di seluruh dunia".
Hal itu dikatakan Bung Karno saat menguraikan melam menjelang 1 Juni 1945, menjelang lahir Pancasila. Pada kesempatan itu, Bung Karno juga menyinyalir adanya banyak kebohongan yang dilemparkan di dalam dan di luar negeri tentang dirinya. (Kompas, 31 Januari 1966)
Dalam catatan sejarah NU, hubungan Soekarno dengan para ulama pesantren begitu erat dalam meletakkan dasar-dasar pendirian bangsa selain berjuang melawan kolonialisme.
Seperti ketika proses merumuskan Pancasila. Proses perumusan dasar negara ini bukan tanpa silang pendapat, bahkan perdebatan yang sengkarut terjadi ketika kelompok Islam tertentu ingin memperjelas identitas keislamannya di dalam Pancasila.
Padahal, sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dirumuskan secara mendalam dan penuh makna oleh KH Wahid Hasyim merupakan prinsip tauhid dalam Islam. Tetapi, kelompok-kelompok Islam dimaksud menilai bahwa kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa tidak jelas sehingga perlu diperjelas sesuai prinsip Islam.
Akhirnya, Bung Karno bersama tim sembilan yang bertugas merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 mempersilakan kelompok-kelompok Islam tersebut untuk merumuskan mengenai sila Ketuhanan.
Setelah beberapa hari, pada tanggal 22 Juni 1945 dihasilkan rumusan sila Ketuhanan yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalimat itu dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta.
Rumusan tersebut kemudian diberikan kepada Tim Sembilan. Tentu saja bunyi tersebut tidak bisa diterima oleh orang-orang Indonesia yang berasal dari keyakinan yang berbeda.
Poin agama menjadi simpul atau garis besar yang diambil Bung Karno yang akhirnya menyerahkan keputusan tersebut kepada Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari untuk menilai dan mencermati apakah Pancasila 1 Juni 1945 sudah sesuai dengan syariat dan nilai-nilai ajaran Islam atau belum.
Saat itu, rombongan yang membawa pesan Bung Karno tersebut dipimpin langsung oleh KH Wahid Hasyim yang menjadi salah seorang anggota tim sembilan perumus Pancasila. Mereka menuju Jombang untuk menemui KH Hasyim Asy’ari.
Sesampainya di Jombang, Kiai Wahid yang tidak lain adalah putra Kiai Hasyim sendiri melontarkan maksud kedatangan rombongan. Setelah mendengar maksud kedatangan rombongan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak langsung memberikan keputusan. Namun, sejarah membuktikan adanya kesesuai nilai ajaran Islam dan Pancasila.
Pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo, NU adalah satu-satunya ormas Islam yang untuk kali pertama menyampaikan pengakuan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal serta NU menyatakan kembali ke Khittah pada 1926.
Advertisement