Hadiah Ulang Tahun Signage Giro d’Italia di Zoncolan, Italia
Slogan The Toughest Race in the Most Beautiful Place, sangat cocok menggambarkan balap sepeda worldtour, Giro d’Italia yang sekarang ini sedang berlangsung, hingga 25 Oktober nanti.
Disebut paling cantik karena pemandangan Italia yang spektakuler. Disebut paling berat karena medan di Italia mayoritas pegunungan yang tinggi.
Beruntung penulis pernah bersepeda di Italia, 2014. Kami berangkat akhir Mei. Jadi di minggu ketiga Giro d’Italia. Seminggu sebelum Giro berakhir, kami sudah sampai di negeri pizza itu.
Giro d’Italia ini disebut sebagai balapan sepeda yang karakternya rock ‘n roll. Italia itu karakter negara dan orangnya adalah romantis, hura-hura, ramai, dan fun. Tanpa mengurangi keseriusan sebuah grand tour kelas dunia.
Dari tiga grand tour yang ada, hanya Giro d’Italia yang memiliki jargon. Amore Infinito. Artinya? Cinta Selamanya! Romantis, bukan! Itulah Italia. Sebuah race yang serius dikemas dengan romantisme dan pesta.
Ketika melewati perkotaan atau pedesaan yang asri dan damai, atmosfer Giro sangat kuat. Mereka menghiasi rumah dengan berbagai macam hiasan warna pink.
Ada yang pasang bendera Italia. Ada yang pasang pita-pita pink di pagar balkonnya. Ada yang membuat dummy orang bersepeda dan kreasi-kreasi kreatif lainnya. Intinya, mereka ikut larut dalam kemeriahan Giro d’Italia.
Apalagi di kota besar tempat start atau finis sebuah etape. Wah, meriahnya bukan main. Ada panggung hiburan. Ada musik. Ada festival pameran sepeda juga. Meskipun tidak besar, tetapi mereka benar-benar membuat Giro d’Italia jadi meriah.
Saya dan rombongan dari Indonesia dan Singapura ini menggandeng Rapha Travel sebagai cycling tour guide selama di Italia. Ini bagian dari unit usaha Rapha cycling apparel asal Inggris.
Jadi seminggu sebelum kami melihat finis Giro d’italia di Trieste, kami gowes di pegunungan Italia yang sangat indah itu.
Brad Sauber, manager Rapha Travel sengaja membuat rute yang menarik.
Menanjak ke gunung-gunung naik turun. Kami juga gowes di jalan yang juga dilewati pembalap Giro.
Jalur-jalur itu bisa sudah dilewati. Atau akan dilewati. Bisa juga paginya kita bersusah payah nanjak, siangnya pembalap nanjak gunung yang sama dengan entengnya!
Salah satunya adalah pegunungan Passo Praderadego. Gunung yang menanjak setinggi 1.000 mdpl ini jauhnya 10 km. Setelah menanjak gunung yang masuk kategori 1 ini kami makan siang di kafe lokal Italia, Dersut Caffe di kota kecil, Feltre.
Ternyata, gunung itu juga dilewati oleh peloton lalu melintas di depan restoran kami. Sontak kami gembira dan tak sabar menunggu momen itu. Kebetulan hari itu kami menggunakan jersey warna merah menyala dengan tulisan Indonesia di dada.
Kami berdiri berjajar di depan restoran dan menunggu peloton lewat. Fotografer, Dipta Wahyu sudah berada di seberang. Siap membidik kami yang dilewati oleh peloton.
Tak lama kemudian peloton lewat. Kami bersorak sorai memberi support. Beberapa pembalap sempat menoleh ke kami dan geleng-geleng. Dipta berhasil mendapatkan jepretan spektakuler yakni pas saat Nairo Quintana (Movistar) yang mengenakan maglia rosa melintas di depan kami.
Teman-teman kami di Indonesia ikut heboh. Ada yang mengirim foto layar televisi rumahnya. Rupanya dia memotret layar televisi siaran langsung balap Giro d’Italia dan melihat kami berada di sana. Ternyata helikopter siaran langsung TV lokal mensyuting kami juga. Woow….. kami masuk TV! Hahaha….
Perut kenyang, hati gembira. Siksaan kaki dilanjutkan! Saat itu perjalanan masih sekitar 50an km tapi naik turun gunung. Menuju hotel kami di kawasan pegunungan Dolomiti kawasan ski di San Martino, Castrozza untuk bermalam. Saat tiba di hotel sudah gelap dan langsung tidur.
Esoknya, saat bangun pagi, kami kagum dengan pemandangan di sekitar hotel. Luar biasa indah! Gunung batu sebagian ditutupi salju, di sela-sela ada pohon-pohon hiaju. Most beautiful place on earth!
Saking indahnya, saya bersyukur atas kesempatan bisa menikmati ini semua. Dalam hati saya berkata untung mata dan otak ini ciptaan Tuhan jadi tidak ada batasnya. Andai ini memory card pasti sudah full. Karena saking indahnya jadi ingin “menjepret terus”.
Gowes di pegunungan Dolomiti ini luar biasa indah. Hari itu kami naik turun 4 gunung! Passo Rolle, Passo Valles, Passo San Pellegrino dan terakhir terberat, Passo Giao.
Apalagi Mei itu mulai memasuki akhir musim dingin. Jadi salju masih ada tapi berangsur leleh. Dan kami gowes ditemani salju di kiri dan kanan!
Dingin? Ternyata tidak sedingin yang dibayangkan. Itu saat nanjak. Tapi jangan ditanya saat turun. Jari, pipi, bibir bisa mati rasa! Suhu bisa mencapai di bawah 10 derajat. Ditambah terpaan angin dingin saat turunan!
Tim Rapha sangat sigap dan pengalaman. Mereka memberi kita koran dan sobekan majalah. Diletakkan di dalam jaket menutupi dada dan perut. Lantas, tangan diberi sarung tangan karet. Dianjurkan juga pakai penutup leher (snood) dan shoe cover.
Alhasil kami meluncur turun gunung tidak terlalu menggigil dan mati rasa lagi. Tapi paha dan maaf, selangkangan tetap aja diiiingiiin bangeeettt!....
Akhirnya kami sampai ke Passo Pellegrino. Jalan sudah ditutup karena peloton Giro d”Italia etape 18 akan lewat. Kami kagum saat mereka melintas di depan kami, mereka tanpa jaket! Padahal suhu menunjukkan angkat belasan derajat!
Setelah peloton lewat, kami menuruni Passo Pellegrino dan makan siang di sebuah kafe lokal. Lagi-lagi menu lokal italia yang sangat otentik dan enak. Sebelum menuju hotel, kami disiksa dengan tanjakan Passo Giao yang panjangnya 20 km.
Paling istimewa adalah, sehari sebelum gowes menanjak ke gunung Monte Zoncolan, queen stage etape 20 Giro d’italia 2014.
Hari itu, kami gowes 100 km dari Cortina d’Ampezzo menuju kota kecil Ovaro. Seperti biasa naik turun gunung. Salah satunya menanjak ke Passo Tre Croci dan Sella Ciampigotto. Melawan dinginnya suhu ditemani putihnya salju di kiri dan kanan. Melewati perkotaan, pedesaan yang asri.
Lantas turun menuju kota Ovaro. Nah, saat melewati perkotaan saya melihat banyak penunjuk arah (signage) yang dipasang oleh panitia Giro d’Italia.
Dalam hati, andai saya bisa stop dan mengambil satu lalu saya bawa pulang untuk kenang-kenangan. Tapi ya sudahlah biarlah kenangan itu di hati dan memori saja.
Setiba di hotel kecil (mirip losmen) di kota Ovaro, kaki gunung Monte Zoncolan. Kami langsung mandi dan makan malam. Pelayan hotel itu hanya tiga orang. Rupanya mereka satu keluarga.
Saat makan malam itu, ada satu hal yang paling berkesan untuk saya pribadi seumur hidup. Dan tak mungkin terlupakan. Itu adalah hari ulang tahun saya.
Eh, tiba-tiba, usai makan malam, James Heraty, salah satu tim Rapha memberi kejutan hadiah ulang tahun. Sebuah signage asli yang dicabutnya dari pinggir jalan! Di baliknya ditandatangani oleh semua teman-teman yang mengikuti tur kami kali ini. Plus tanda tangan tim Rapha. OMG! Itu adalah hadiah terindah selama hidup! Terima kasih!
Hari berikutnya, inilah gowes menanjak paling spektakuler dalam “karier” gowes kami. Menanjak ke Monte Zoncolan ! Itulah queen stage etape 20 Giro d’Italia 2014. Kami gowes ke sana paginya, sebelum sorenya pembalap melewati sana.
Hari itu, tim Rapha spesial tidak mengajak kami gowes kemana-mana. Mereka ingin kaki kami fresh hanya untuk menanjak Zoncolan!
Bahkan, sengaja memberi hotel di kota Ovaro. Hanya 2 km dari Monte Zoncolan! Tujuannya? Lagi-lagi agar kaki kami cukup fresh untuk menanjak gunung sejauh 10 km itu.
Bukannya kami gembira. Kami makin bertanya-tanya. Seseram apakah sehingga persiapan tim Rapha “sebegitu” hebohnya? Bayangkan ya, nanjak 10 km dari 0 mencapai ketinggian 1.750 meter di atas permukaan laut. Dengan gradien rata-rata adalah lebih dari 12 persen!
Bahkan di bagian tengah, sekitar 6 km konstan gradien 15 persen! Beberapa bagiannya bahkan mencapai 22 persen! Repotnya, karena hari itu rute queen stage jadi banyak orang yang jalan kaki atau gowes atau pakai kursi roda di jalan sempit itu menuju ke puncak Zoncolan.
Sayang, saya hanya bisa sampai di kilometer 7 saja karena jalan sudah ditutup untuk umum untuk naik lagi. Polisi sudah mulai menghalau orang-orang untuk clear area persiapan pembalap lewat. Beberapa teman berhasil mencapai puncak Zoncolan.
Kami pun turun dan secepat mungkin balik hotel ganti baju lalu kembali lagi ke kaki Zoncolan. Di sana ada festival sepeda. Sekaligus kami mencari spot duduk paling nyaman di depan layar raksasa untuk melihat siaran live peloton melewati Zoncolan sore hari itu.
“Saya berhenti di situ”. “Saya nuntun di sini”. ”Saya tidak kuat lagi dan duduk di bawah pohon itu”. “Setiap tikungan saya stop dan pegangan tembok sebelum jalan lagi.” “Gila ya kuat banget mereka bisa secepat itu!”
Berbagai macam celetukan-celetukan semacam itu terdengar riuh ketika kami semua menyaksikan pembalap menanjak Monte Zoncolan.
Cerita serunya gowes menanjak ke Zoncolan ini mengalahkan cerita gowes selama satu minggu melahap 400 km dan nanjak lebih dari 10 ribu meter di Italia.
Malam itu, kami semua bisa tidur dengan nyenyak dan memimpikan banyak rute-rute indah nan cantik selama seminggu kami di Italia.
Esoknya, perjalanan darat naik bis ke kota Trieste tempat finis berakhirnya Giro d’Italia. Dan kami menjadi saksi sejarah kemenangan Nairo Quintana (Movistar). Hari itu, kami semua menggunakan atasan hem batik agar berbeda!
Terima kasih Tuhan! Terima kasih Azrul Ananda! Terima kasih teman-teman dan tim Rapha! Benar-benar ride of a lifetime! Amore infinito!