Haddad Alwi: Surga Diraih Mukmin Berhati Bersih
Pelantun Shalawat Nabi, Haddad Alwi, belum lama menerima perlakuan persekusi dari sekelompok orang. Ketika itu, terjadi di Sukabumi, Haddad Alwi justru sedang mengajak umat Islam para hadirin, dalam forum pengajian itu, untuk selalu melantunkan Shalawat Nabi.
Terlepas dari kasus ini sedang ditangani aparat kepolisian, Haddad Alwi mengalami banyak hal getir dalam perjalanan hidupnya. Juga perjalanan ia berdakwah melalui lantunan Shalawat Nabi dan Cinta Rasul. Ada yang pernah mengembuskan bahwa Haddad Alwi berbau Syiah.
Benarkah demikian? Benarkah Haddad Alwi Syiah?
Inilah yang hendak dijawab Haddad Alwi dalam testimoni yang dihadirkan bersambung ini. Berikut bagian keempat testimoni Haddad Alwi:
Dalam hal persatuan ini, tentu saja maksud saya bukan agar seluruh Muslimin lebur dalam satu mazhab tertentu. Sama sekali tidak, karena hal itu memang sesuatu yang mustahil terjadi sampai kapan pun. Tetapi saya mengharapkan setiap Muslim tidak menganggap Muslim lain yang berbeda mazhab atau aliran sebagai kafir, musuh, dan harus diperangi atau dibasmi.
Sebaliknya, jika sudah dalam satu iman, maka setiap Muslim seharusnya berhati legowo, menghormati, dan toleran terhadap Muslim lain yang berbeda mazhab atau aliran. Beda kendaraan aja kok ribut! Saya jadi teringat kalimat yang sering diucapankan Gus Dur (semoga Allah merahmati beliau): “Gitu aja kok repot!”
Dalam hal perbedaan mazhab, marilah kita melihat dan mencermati fakta yang ada dengan pikiran yang jernih dan hati yang bersih. Saya sarankan masing-masing kita mempelajari lebih dalam lagi apa itu Ahlussunnah (yang biasa dinisbatkan kepada Mazhab Maliki, Hanafi, Hambali, dan Syafi’i) dan apa itu Syi’ah ̶ tentunya dari sumbernya yang otentik dan tidak dilandasi rasa keberpihakan.
Dengan pengetahuan yang baik dan benar tentang semua mazhab tersebut, saya yakin kita pasti akan sampai pada kesimpulan yang lebih benar dan lebih adil, jauh dari prasangka dan kebencian. Menurut saya, orang yang bermazhab Ahlussunnah maupun yang bermazhab Syi’ah mempunyai kesempatan yang sama untuk memasuki surga-Nya Allah yang seluas langit dan bumi.
Saya juga percaya bahwa orang-orang yang baik dari kalangan NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, Salafi dan Wahabiy kelak akan saling bertemu di surga, insya Allah.
Syaratnya cuma satu, yaitu hati yang bersih, karena di akhirat nanti tidak berguna lagi harta-benda dan anak-anak kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan qolbun salim, hati yang bersih (QS Asy-Syu’aro’ 88-89), yaitu hati yang tawadhu’, yang tidak sombong, tidak merasa paling benar, dan tidak membenci siapa pun.
Memang harus diakui, bahwa dalam setiap mazhab ̶ baik dari kalangan Ahlussunnah maupun Syi’ah ̶ ada sebagian di antara mereka yang berbuat di luar prinsip mazhabnya sendiri. Terhadap oknum-oknum tersebut, jelas kita harus bertindak tegas. Saya tidak setuju dengan oknum Ahlussunnah yang gemar mengkafirkan Syi’ah, sebagaimana saya juga tidak setuju (bahkan tersinggung) dengan oknum Syi’ah yang suka menghina istri dan sahabat Nabi.
Pada dasarnya musuh kita bukanlah orang yang berbeda mazhab atau aliran, bahkan bukan pula orang yang berbeda agama. Kita tidak boleh membenci apa yang tidak kita ketahui dengan pasti. Musuh kita bukan orang Syiah atau Sunnah, bukan pula orang Nasrani, Hindu, Budha, ataupun Konghucu.
Musuh kita yang sebenarnya adalah mereka yang bertindak zalim. Siapa pun yang melakukan kezaliman, maka dia menjadi musuh kita, meskipun dia kerabat kita sendiri, atau dia seagama, sealiran, dan semazhab dengan kita. Sebaliknya, orang yang tidak berbuat kezaliman tidak boleh kita musuhi meskipun dia berbeda agama, berbeda mazhab, atau berbeda aliran dengan kita.
Bangsa Israel menjadi musuh kita lantaran mereka berbuat zalim terhadap orang-orang Palestina dan kaum Muslimin, bukan karena mereka adalah bangsaYahudi. Artinya, jika Israel menghentikan semua tindak kezalimannya, maka mereka tidak lagi menjadi musuh kita.
Sebagai penutup, saya ingin menjelaskan 2 poin yang kiranya akan mengakhiri tulisan saya ini.
Pertama, menyangkut lagu saya berjudul Ya Thoibah yang belakangan dikatakan oleh orang-orang tertentu sebagai lagunya Syi’ah karena liriknya bersifat ghuluw (berlebihan) dalam memuji Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Ya, saya katakan “oleh orang-orang tertentu” karena faktanya hanya sebagian kecil (bukan sebagian besar) orang yang berpendapat begitu.
Perlu saya luruskan di sini, bahwa lagu Ya Thoibah bukan ciptaan Haddad Alwi, liriknya pun bukan ciptaan Haddad Alwi. (Catatan: semua lirik lagu Haddad Alwi yang berbahasa Arab bukan ciptaannya sendiri).
Dalam bahasa Arab, Ya Thoibah bisa berarti “Wahai Sang Penawar”, tetapi istilah Thoibah juga digunakan untuk nama lain kota Madinah, sehingga Ya Thoibah bisa juga berarti “Wahai Madinah”. Memang ada beberapa versi lirik lagu Ya Thoibah, meskipun bagian reffainnya sama. Adapun lirik yang saya bawakan itu ciptaan orang Ahlussunnah asal Timur Tengah.
Saya hanya menyanyikan ulang lagu itu dengan aransemen musik yang baru agar lebih cocok dengan selera masyarakat Indonesia. Saya tidak mengubah lirik aslinya, melainkan hanya memotong 2 bait bagian depannya dengan alasan agar tidak terlalu panjang. (Bersambung)
Advertisement