Hadapi Pilkada 2024, Mendikdasmen: Lembaga Pendidikan Jangan Dijadikan Alat Politik
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengingatkan kepada para guru agar menggunakan hak pilihnya pada Pilkada serentak 27 November 2024.
"Saya minta para guru menggunakan hak pilihnya, jangan ada yang golput, hemat saya golput sikap yang kurang bujak," pesan Menteri Mu'ti usai menghadiri Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) delapan kajian kebijakan pendidikan di Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Meskipun ia menyerukan para guru menggunakan hak pilihnya, Mukti melarang lembaga pendidikan digunakan untuk kegiatan politik praktis serta untuk dukung mendukung calon tertentu.
"Netraliras lembaga pendidikan harus tetap dijaga sebaik-baiknya oleh semua pihak, termasuk para calon gubernur, bupat dan walikota," ujar Mu'ti.
Mendasmen juga mengatakan saat ini belum mengambil kebijakan apapun terkait dengan berbagai isu yang sekarang berkembang di masyarakat dan mengharapkan melalui DKT mendapatkan masukan yang komprehensif dari para peserta diskusi.
“Kami mohon kepada masyarakat untuk bersabar agar kami dapat mengambil kebijakan yang sebaik-baiknya dengan mendapatkan masukan dari berbagai kalangan. Kami akan analisis berbagai argumen yang disampaikan dan tentu kebijakan yang akan kami ambil adalah kebijakan yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara,” imbuhnya.
Salah satu peserta diskusi, Widiyaprada Ahli Madya, BBPMP Provinsi Jawa Timur, Kusuma Santi menyatakan persetujuannya bahwa suatu kebijakan yang baik tidak dilakukan secara terburu-buru.
“Arahan Pak Menteri sudah tepat, terbuka untuk belanja masalah terlebih dulu. Artinya kebijakan nantinya diambil merupakan hasil identifikasi dan evaluasi. Harapannya kebijakan yang diambil menjadi kebijakan yang lebih sempurna dari sebelumnya,” ujar Santi.
Kusuma juga menyampaikan pemerintah sudah memfasilitasi pelaksanaan kebijakan yang fleksibel, akomodatif untuk menyelenggarakan PPDB yang transparan, objektif, akuntabel, dan berkeadilan. Namun, setiap kebijakan perlu dikawal implementasinya agar tepat dan sesuai tujuan.
“Kebijakan tahun ini, lebih baik dari tahun sebelumnya, contohnya cut-off Dapodik, tegas. Berharapnya tahun depan ada perbaikan- perbaikan dari tahun ini yang kurang optimal dan melalui DKT ini dapat menemukan solusi terbaik untuk menyempurnakan kebijakan yang sebelumnya,” jelas Kusuma.
Ia menambahkan bahwa kebijakan yang baik berasal dari aspirasi masyarakat dan bisa mengakomodir keobjektivitas, transpransi, akuntabel, dan berkeadilan untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Begitu pun dengan Ki Darmaningtyas, seorang aktivis pendidikan Tamansiswa mengatakan bahwa kedelapan isu pendidikan yang dibahas sejalan dengan aspirasinya.
“Kebetulan dari delapan isu yang dibahas, lima isu di antaranya (PPDB, Guru Penggerak, Kurikulum Merdeka, Guru P3K, dan sekolah unggulan) sudah saya sampaikan beberapa waktu lalu, sehingga itu sejalan dengan aspirasi saya. Isu-isu tersebut juga mencuat ke publik. Jadi, saya kira agenda pembahasannya sudah tepat,” kata Darmaningtyas.
Dalam diskusi, Darmaningtyas menyampaikan pendapatnya mengenai PPDB dan Zonasi. Ia mengatakan bahwa sistem zonasi yang sudah berjalan menimbulkan kehobahan karena siswa yang memiliki semangat belajar tinggi (anak pintar) tidak dapat diterima di skolah negeri hanya karena tempat tinggalnya jauh dari sekolah negeri.
Untuk itu, Ia menyampaikan bahwa untuk PPDB dan Zonasi lebih baik diganti dengan kebijakan afirmatif (affirmative action), yaitu anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah negeri (magersari) wajib diterima di sekolah negeri tersebut. Namun, untuk sistem penerimannya tidak hanya berdasarkan jarak dari sekolah saja.
“Mayoritas murid baru diterima tidak berdasarkan pada jarak dari sekolah, melainkan berdasarkan hasil seleksi, entah melalui tes atau nilai ujian akhir. Kuota untuk golongan ekonomi tidak mampu dan perpindahan orang tua/walimurid masih tetap dapat dipertahankan. Sedangkan jalur prestasi perlu lebih diperlebar,” jelasnya.
Kemudian, Mendikdasmen mengatakan bahwa dalam penjaminan mutu pendidikan berdasarkan undang-undang, terdiri dari penjaminan internal dan ada penjaminan eksternal. Penjaminan mutu internal dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan. Termasuk di dalamnya adalah menyangkut evaluasi belajar peserta didik di masing-masing satuan pendidikan itu. Sedangkan penjaminan eksternal dilakukan oleh institusi-institusi penjaminan mutu.
“Misalnya akreditasi itu kan penjaminan mutu eksternal. Nah, soal ujian apakah itu bernama Ujian Nasional ataukah bernama Asesmen Nasional ataukah dulu ada Ebtanas itu semuanya, kan, bagian dari alat ukur mutu pendidikan. Sehingga, semangat dari penyusunan berbagai macam kebijakan itu untuk penjaminan mutu pendidikan baik eksternal maupun internal,” jelasnya.
Menyambung hal tersebut, Widiyaprada Ahli Utama, Direktorat SMK, Yaya Jakari menyampaikan bahwa perlu adanya respon dari delapan isu tersebut, termasuk UN dan AN.
“Oleh karena itu, kami ditugaskan untuk mencari data dan informasi mengenai Ujian Nasional dan Asesmen Nasional berdasarkan dari penelitian, evaluasi, maupun praktik baik kepala dinas pendidikan dan berupa data dukungnya,” tambahnya.
Ia menyampaikan bahwa berdarkan data terdapat pro-kontra dalam pelaksanaan UN, salah satunya adanya “pilih kasih” mata pelajaran yang diujikan dan turunnya semangat pelajar jika tidak ada UN. Selain itu, tolok ukur bagi Asesmen Nasional, pengukuran secara internasional, yaitu hasil dari PISA juga memiliki pro-kontra.
“Dalam pelaksanaan PISA pun, masih menjadi pro-kontra, katanya itu hanya contoh saja, karena yang diambil hanya 35--40 anak dari kelas 5, 8, dan 11 saja. Sehingga infonya kurang representatif. Nah,melalui DKT hari ini, kami harapkan ada masukan dari pelaksanaan AN ini dan hasilnya dapat digunakan untuk peta mutu secara komprehensif dan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, kami akan tampung semua aspirasi untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu,” jelas Yaya.
Dalam kesempatan yang sama, Widiyaprada Ahli Utama, Direktorat SMK, Ade Erlangga dalam kelompok SMK Masa Depan mengatakan lulusan SMK harus bisa menjawab tantangan terhadap masalah tentang pengangguran.
Ade mengatakan terdapat tiga cara dalam menjawab hal tersebut. “Yang pertama dijawab bahwa lulusan SMK harus bisa bekerja. Yang kedua, kalau nggak bisa bekerja harus bisa berwirausaha. Yang ketiga, kita memberikan alternatif untuk punya kompetensi sehingga bisa bekerja di luar negeri, karena tren sekarang di beberapa negara maju terjadi penurunan jumlah angkatan kerja dan terjadi minus. Sehingga bisa kita isi,” jelasnya.
Ade juga menegaskan selain ketiga hal di atas, perlu adanya strategi dalam akselerasi dan standardisasi. Standardisasi dilakukan melalui kurikulum/ program yang menunjang dan sesuai dengan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI), sehingga mengahasilkan lulusan dengan kompetensi yang dibutuhkan DUDI.
Selain itu, pemerataan guru di sekolah SMK perlu diperhatikan, karena saat ini, masih terdapat kekurangan guru di SMK. “Hal ini bisa ditangani dengan melibatkan para ahli yang sudah tidak muda namun mempunyai pengalaman,” tambahnya.