Hadapi Perbedaan, Sikap Ini Solusi di Masyarakat
Membincang Indonesia tidak bisa dilepaskan membincangkan Islam. Mengingkari posisi umat Islam dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berarti sama saja melakukan penggingkaran dan pencitraan sejarah lahirnya Indonesia.
Faturrahman Kamal, Ketua Majelis Tabligh Pimpian Pusat (PP) Muhammadiyah mengungkapkan hal itu, dalam keterangan pada pers, termasuk diterima ngopibareng.id, Jumat 17 Oktober.
Fatur menambahkan, kata kunci untuk menyatukan bangsa Indonesia adalah umat Islam. Akan tetapi dewasa ini, umat Islam dengan keragamannya dicabik-cabik oleh kepentingan.
“Menyebabkan semakin tajam dan memperlebar perbedaan internal umat Islam,” tegasnya.
"Sehingga sikap proporsional menjadi solusi, Fathur beralasan sikap proporsional merupakan sikap whasatiyah yang tidak memandang secara ektrem adanya perbedaan. Pemilihan sikap proporsional diharapkan menjadi tameng penjaga kesatuan. Baik kesatuan bangsa Indonesia maupaun umat Islam."
Kepentingan tersebut kemudian berhilir pada tujuan pemecahan. Ia menambahkan mengenai sikap yang bisa diamalkan oleh generasi milenial dalam melewati masa ini adalah menerapkan sikap proporsional. Karena perbedaan tidak bisa dinafikkan, perbedaan juga bukan untuk dihindari.
Sehingga sikap proporsional menjadi solusi, Fathur beralasan sikap proporsional merupakan sikap whasatiyah yang tidak memandang secara ektrem adanya perbedaan. Pemilihan sikap proporsional diharapkan menjadi tameng penjaga kesatuan. Baik kesatuan bangsa Indonesia maupaun umat Islam.
Fathur juga mengajak generasi milenial untuk meneladani sikap pendahulu, ia mengambil contoh dari Djuanda Kartawidjaja, seorang Guru di salah satu sekolah SMA Muhammadiyah di Jakarta. Djuanda di mata Fathur merupakan sosok muslim teladan yang mampu menyeimbangkan posisi sebagai sebagai Muslim dan seorang bangsa Indonesia.
Generasi milenial, dengan penguasaan tekonologi informasi digengaman. Mempermudah dalam mempelajari ilmu-ilmu agama.
Akan tetapi dibalik itu, dengan kemudahan mengakses ilmu memunculkan generasi yang memiliki pengetahuan ‘banalitas’.
Faktor tersebut kemudian didukung dengan semakin melemahnya stamina umat Islam untuk saling memaafkan.
“Akhir-akhir ini kita semakin kehilangan stamina untuk saling memaafkan,” tegas Fathur.
Meski demikian, meneropong Indonesia berarti melihat kebhinekaan. Perbedaan yang dimiliki Indonesia menjadi modal besar dalam mebangun peradaban.
“Perbedaan bukan alasan bagi kita untuk tidak bisa berjalan saling beriringan,” tambahnya.
Maka, cita-cita membangun Indonesia lebih baik, tidak bisa dientaskan oleh satu unsur. Melainkan harus melibatkan berbagai unsur lainnya.(adi)
Advertisement