Hadapi Embargo, Pemerintah Didesak Peduli Vaksin Dalam Negeri
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, (F PAN), Saleh Partaonan Daulay minta pemerintah segera memikirkan alternatif pengadaan vaksin, sehubungan dengan rencana embargo dari beberapa negara produsen vaksin.
Dengan adanya embargo tersebut, dikhawatirkan akan mengganggu kelanjutan dan kelancaran pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di Indonesia.
"Vaksin ini adalah kebutuhan mendesak. Selain penerapan protokol kesehatan, vaksinasi dinilai sebagai salah satu solusi dalam memutus mata rantai penyebaran virus covid-19. Karena itu, pemerintah wajib menyediakan vaksin bagi 70 persen masyarakat yang menjadi target sasaran," katanya.
Lanjut Saleh, kalau memakai skema vaksinasi yang ada, Indonesia butuh 420 juta dosis vaksin. Itu untuk memenuhi kebutuhan 181,5 juta warga. "Jumlah ini sangat besar. Tidak cukup hanya mengandalkan satu produsen saja," kata Saleh.
Karena itu, pemerintah didesak untuk memprioritaskan pengadaan vaksin di dalam negeri, seperti vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara. Karena vaksin dalam negeri ini dinilai tidak kalah dengan vaksin impor.
Bahkan menurut para peneliti, untuk hal-hal tertentu, vaksin nusantara lebih baik dari vaksin impor. Namun anehnya, tambah Saleh, vaksin nusantara sampai hari ini belum mendapat izin untuk melanjutkan uji klinis tahap kedua. Padahal, jika diberi ijin, diperkirakan sudah bisa produksi pada bulan Juli yang akan datang.
"Vaksin Nusantara lebih maju dari vaksin merah putih. Sebab, vaksin nusantara sudah memasuki uji klinis tahap kedua. Sementara, vaksin Merah Putih diperkirakan baru bisa uji klinis pada akhir tahun 2022," katanya.
Saleh berharap, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), peneliti, sponsor, dan pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian vaksin nusantara diharapkan dapat duduk bersama.
Saleh menyatakan, harus dicarikan formulasi yang tepat untuk menyamakan perbedaan persepsi dan pandangan terkait penelitian yang dilaksanakan. Dengan begitu, penelitian ini bisa segera dilanjutkan.
"Pemerintah tidak bisa tinggal diam. Di tengah isu embargo saat ini, campur tangan pemerintah menjadi faktor penentu. Jangan biarkan negara lain mendahului kita dalam penelitian vaksin seperti ini. Indonesia harus mandiri dan berdaulat dalam rangka melindungi kesehatan warga masyarakat," katanya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, jumlah vaksin Covid-19 yang ada saat ini terbatas karena ditundanya pengiriman vaksin AstraZeneca.
"Kita paling besar di bulan April, kita hanya ada 7,6 juta (dosis vaksin) karena yang ini (vaksin AstraZeneca) jadi hilang," ujarnya dalam konferensi pers virtual.
Budi menjelaskan tertundanya pengiriman vaksin AstraZeneca karena pemerintah India melarang vaksin tersebut didistribusikan sementara waktu. Hal ini karena angka positif virus Corona di negara tersebut melonjak tajam.
"Saat ini, jadwalnya dapat vaksin gratis dari COVAX/GAVI, AstraZeneca gratis sebanyak 1,1 juta, rencananya dapat 2,5 juta pada 22 Maret, kemudian bulan April 7,8 juta. Tetapi pending karena ada isu India embargo," kata Budi.
Dia menjelaskan, vaksin AstraZeneca paling besar dibuat di India. Dengan adanya embargo ini, COVAX/GAVI kemudian merealokasi lagi pembagian vaksin. "Mereka baru bisa bilang vaksin ini dikirim ke Mei," ujar Menkes.
Budi menyebutkan, sejauh ini dari 21 juta dosis vaksin Sinovac yang dikirim, 20 juta sudah didistribusikan ke seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Kemudian dari provinsi mendistribusikan lagi 13 juta ke daerah.
Advertisement