Hadapi Dua Jalan Terjal Moderasi, Ini Tawaran Solusinya
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan, Indonesia menghadapi jalan terjal dunia ekstrem. Dua kecenderungan antagonistik dalam relasi agama dan negara mengemuka di negeri ini.
Pertama, ekstremitas atau kesekstreman dalam memandang radikalisme hanya tertuju pada radikalisme agama khususnya Islam.
"Akibatnya, negara dan kalangan tertentu terjebak pada kesalahan pandangan dalam menentukan posisi agama dan negara. Pancasila dan Indonesia pun dikonstruksi dengan paradigma liberal-sekular," tutur Haedar Nashir, dalam keterangan dikutip Minggu 23 Februari 2020.
Kedua, menurut Haedar, pola pikir keagamaan yang ekstrem, yang memandang kehidupan bernegara serbasalah, thaghut, dan sesat. Pandangan ini beriringan dengan kebangkitan agama era abad tengah yang teosentrisme, millenari, dan hitam-putih.
Paham ekstrem keagaamaan ini sering didukung diam-diam oleh mereka yang kecewa terhadap keadaan —dalam istilah Taspinar ekstrem karena deprivasi relatif— sehingga lahir revitalisasi paham ekstrem keagamaan.
Bagaimana solusinya?
Kembangkan moderasi atau wasathiyyah, baik dalam kehidupan keagamaan maupun kebangsaan. Masalah moderasi telah dipilih banyak pihak untuk melawan masalah mendesak saat ini, yaitu ekstremisme (Haslina, 2018).
Jika ingin terbangun kehidupan beragama, berbangsa, dan bersemesta yang moderat maka jalan utamanya niscaya moderasi, bukan deradikalisasi.
Paradigma deradikalisme menimbulkan benturan karena ekstrem dilawan ekstrem dalam oposisi biner yang sama-sama monolitik. Membenturkan agama versus Pancasila maupun ide mengganti salam agama dengan salam Pancasila secara sadar atau tidak merupakan buah dari alam pikiran deradikalisme yang esktrem.
"Jika paradigma ini terus dipertahankan maka akan muncul lagi kontroversi serupa yang menghadap-hadapkan secara diametral agama dan kebangsaan, yang sejatinya terintegrasi," kata Haedar Nashir.
Mayoritas umat beragama di negeri ini sejatinya moderat, termasuk umat Islam sebagai mayoritas. Masyarakat Indonesia pun dalam keragaman suku, keturunan, dan kedaerahan sama moderat. Hidup di negeri kepulauan dengan angin tropis dan keindahan alamnya membuat masyarakat Indonesia berkepribadian ramah, lembut, toleran, dan saling berinteraksi dengan cair sehingga lahir bhineka tunggal ika.
Pancasila dan negara-bangsa telah diterima sebagai kesepakatan nasional yang dalam paradigma Muhammdiyah disebut Darul Ahdi Wasyahadah.
Pancasila sejatinya mengandung nilai-nilai dasar dan ideologi moderat. Sekali Pancasila dan Indonesia dibawa ke paradigma ekstrem, maka berlawanan dengan hakikat Pancasila dan Keindonesiaan yang diletakkan oleh para pendiri negara.
Siapapun yang membenturkan Pancasila dengan agama dan elemen penting keindonesiaan lainnya pasti ahistoris dan melawan ideologi dasar dan nilai fundamental yang hidup di bumi Indonesia.
"Jika ingin Indonesia moderat maka jangan biarkan kehidupan keagamaan dan kebangsaan disandera oleh sangkar-besi paradigma dunia ekstrem!," kata Haedar, seperti dilansir di muhammadiyah.or.id.