Habiskan Energi, Sudahi Polemik Penundaan Pemilu 2024
Para elite politik diminta menyudahi gaduh polemik usulan penundaan pemilihan umum (pemilu) 2024 sambil melihat kondisi langsung di masyarakat, bukan cuma membaca hasil survei.
"Sebaiknya wacana menunda Pemilu yang berimplikasi pada perpanjangan masa bakti presiden-wakil presiden, menteri, DPD, DPR, dan DPRD serta jabatan terkait lainnya diakhiri. Mari berpikir jernih dan jangka panjang," kata Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti secara tertulis Senin 28 Februari 2022
Dia juga mewanti-wanti para elite bersikap bijaksana serta mementingkan masa depan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok.
"Sebaiknya para elit itu melihat langsung keadaan di masyarakat. Pahami keadaan dan perasaan mereka. Jangan hanya membaca hasil survei yang mungkin saja tidak akurat," kata dia.
Diketahui, survei Litbang Kompas mencatat kepuasan terhadap Jokowi-Ma'ruf mencapai 73,9 persen pada akhir Januari 2022. Angka itu meningkat dari survei serupa pada Oktober 2021 yang mencapai 66,4 persen.
Peningkatan kepuasan publik pada survei terbaru itu disumbang oleh empat sektor, yakni politik serta keamanan, penegakan hukum, ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan godaan untuk memperpanjang masa jabatan menjadi lebih dari dua periode, pun pernah dialami presiden pertama dan kedua Soekarno dan Soeharto.
Soekarno, kata dia, melalui MPRS memperpanjang masa jabatannya sehingga dapat menjadi presiden seumur hidup.
"Dengan itu dia sudah bisa memimpin 21 tahun. Lama sekali, kalau di format UUD, Bung Besar berakhir di 1955, Presiden Soeharto juga alami yang sama, godaan itu, terbawa kepada bujuk rayu partai politik, kepentingan politik tertentu, termasuk keinginan dia sendiri," ujar Feri.
Pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq mengatakan usulan penundaan Pemilu 2024 mengakibatkan erosi demokrasi.
"Usulan penundaan pemilu tanpa alasan kedaruratan dikhawatirkan dapat menggerus demokrasi meskipun terlihat legal dan konstitusional serta dengan dalih untuk kepentingan publik," katanya, dikutip dari Antara.
"Meskipun konstitusi bisa diamandemenkan namun saya kira itu dikhawatirkan mengakibatkan erosi demokrasi," kara Mu'ti.
Pengamat sosial politik Universitas Indonesia, Rocky Gerung mengatakan, pemerintah sengaja menciptakan kegaduhan untuk pengalihan isu serta menutupi kegagalan pemerintah. Gerung menyebut dari terbongkarnya bisnis di balik pandemi Covid-19, soal aturan JHT, IKN, BPJS dijadikan syarat administrasi bagi masyarakat.
"Gaduh soal pengaturan pengeras suara di rumah ibadah yang menciptakan pemerintah sendiri yakni Menteri Agama. Contoh lain gaduh soal pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang menciptakan juga dari koalisi Presiden Jokowi.
"Yang diumpankan elit partai yang haus kekuasaan, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, diikuti Ketua Umum Zulkifli Hasan dan disusul Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto," kata Rocky kepada Ngopibareng.id Senin 28 Februari 2022.
Advertisement